Senin, 11 Oktober 2010

Bangkit dari Rasa Kehilangan

1 Januari 2004 adalah titik tolak hidupku. Pada hari itu aku kehilangan orang yang paling kucintai dan kukagumi di dunia ini, Bapak. Bapak meninggalkan kami semua setelah berbulan-bulan mencoba melawan kanker prostat yang menggerogoti tubuh beliau.
Bagiku kematian adalah satu hal yang pasti akan datang pada kita, entah pada diri kita sendiri atau pada orang-orang terdekat kita, dan itu adalah sesuatu yang harus kita persiapkan kapan saja harus dihadapi. Tapi aku juga tidak munafik bahwa kehilangan itu sangat menampar kehidupanku.
Yang jadi masalah utama adalah waktu kehilangan itu. Aku kehilangan Bapak justru saat aku sangat membutuhkan kehadiran beliau, pada tahun terakhir kuliahku, saat aku sangat membutuhkan dukungan dan bantuan beliau untuk menyelesaikan skripsiku, karena kebetulan bidang kami sama. Aku sempat ingin marah, tapi tidak tahu pada siapa. Aku ingin marah, kenapa Bapak tidak menungguku selesai kuliah? Kenapa Bapak tidak ingin melihatku memakai pakaian kebesaran itu, toga itu, dan menyandang gelar yang sama dengan beliau? Kenapa aku diharuskan berjuang sendiri menghadapi saat-saat paling sulit dan paling menentukan masa depanku? Terus terang aku sempat putus asa dan berpikir tidak ada gunanya menyelesaikan kuliah, toh Bapak tidak akan bisa melihat. Tapi syukur aku langsung sadar bahwa aku masih punya Ibu, yang tidak kalah berharganya dalam hidupku, bahkan sangat-sangat berharga. Aku jadi sadar, bahwa sekaranglah saatnya aku membahagiakan Ibu, membesarkan hati Ibu yang pastinya sangat ‘jatuh’ setelah kehilangan Bapak. Karenanya, dengan keringat dan air mata, aku mencoba bangkit dari rasa kehilangan itu, dan mencoba mengejar masa depanku dari puing-puing kesedihan dan khilangan itu.
Kehilangan orang yang kita cintai adalah sesuatu yang sangat tidak kita inginkan dalam hidup ini tapi justru adalah sesuatu yang pasti kita alami. Tak pernah ada satu orang pun yang menginginkan hal ini terjadi pada dirinya. Namun juga kita tidak punya kuasa untuk mencegah hal tersebut jika terlanjur terjadi pada kita.
Ingatlah bahwa semua yang terjadi dalam hidup ini sudah ada yang mengaturnya, tinggal bagaimana kita mengambil hikmah dalam setiap kejadian yang kita alami. Karena di balik keburukan pasti ada kebaikan, sebaliknya di balik kebaikan juga ada keburukan. Satu hal lagi, jangan pernah berburuk sangka pada Tuhan dengan mengatakan bahwa semua ini terjadi karena Tuhan tidak menyayangi kita. Tapi yakinlah bahwa justru Tuhan memberi ujian dan cobaan yang berat pada umat yang dicintai-Nya agar dapat mengambil hikmah dan menjadi insan yang lebih baik.

"Kita baru akan menyadari arti kehadiran seseorang jika kita telah kehilangan dirinya." For my beloved Daddy - 1 Januari 2004