Keramaian di alun-alun Jam
Gadang sudah mulai menyesak. Suara tiupan terompet, balon anak-anak, riuh
rendah percakapan para pengunjung, dan cekakakan remaja, terdengar
bercampur-aduk. Memekakkan telinga dan memusingkan kepalaku yang sesungguhnya
kurang suka keramaian. Tapi disinilah aku saat ini. Dengan kedua temanku,
pasangan suami istri Delfi dan Delon yang dengan nyentriknya sudah memasang bando berbentuk tanduk setan di atas
kepala mereka masing-masing.
Ponselku bernyanyi, dari Bang
Remon. “Ya, Bang?”
“Kamu dimana, Dek?”
“Di dekat Jam Gadang,
Bang. Abang sudah sampai?”
“Sudah. Kamu kesini lah.
Abang malas melewati kerumunan di tengah itu.”
“Abang dimana?”
“Di depan Rumah Makan Simpang
Raya, yang arah pasar.”
Aku kurang hafal dengan
daerah ini. Tapi Delfi yang sudah lebih sering kesini, mengetahui lokasi yang
dimaksud. Kami segera menuju kesana. Tidak terlalu susah menemukan Bang Remon
di tengah keramaian, mengingat tubuhnya yang tinggi, besar, hitam seperti Mike
Tyson. Aku segera mendekatinya.
“Abang naik apa?”
“Sepeda motor.”
“Dimana parkirnya?”
“Tuh…” Dia menunjuk tak
jauh dari tempat kami berdiri. Aku hanya mengangguk.
“Sudah ada atraksi apa
saja?” tanya Bang Remon tentang acara malam Tahun Baru yang mungkin terlewati
olehnya.
“Belum ada, jamnya masih
ditutup kain.”
“Hmm, mungkin nanti
menjelang jam 12.” Abang melihat ke arlojinya. Memang baru pukul 10 malam.
“Kita nunggu disini aja?”
tanyaku.
“Adek maunya kemana?”
“Nggak tahu juga.”
“Delfi, di dekat sini ada
kafe nggak?” tanya Bang Remon.
“Kayaknya ada, Bang. Di
sebelah sana,” tunjuk Delfi.
“Kita ke kafe ajalah ya. Abang haus.”
“Oke,” jawabku.
Kami bertiga berjalan kaki saja menuju kafe itu.
Kebetulan tidak terlalu jauh. Lagipula cukup sulit berkendara dengan kerapatan
pengunjung seperti sekarang ini.
Kafe itu
terbuat dari kayu artistik, dengan penerangan remang-remang yang mendukung
suasana bagi pasangan yang ingin menghabiskan malam. Topeng Kepala Suku Indian
dengan bulu panjang di kepalanya yang digantung di pintu kafe seolah menyambut
pengunjung dengan nuansa eksotis. Kami memilih tempat duduk lesehan. Aku
berdampingan dengan Bang Remon, di depan kami Delfi dan Delon. Seorang pelayan
pria menghampiri kami sambil membawa menu dan catatan kecil untuk menulis
pesanan.
“Pesan apa, Dek?” tanya Bang Remon padaku.
“Kopi ginseng hangat, makannya Beef Burger aja.”
“Kalian?” Bang Remon beralih ke Delfi dan Delon.
“Aku Coca Cola aja,
sama Tuna Sandwich. Ayang apa?” Delfi bertanya pada Delon.
“Sama aja
deh dengan Ayang,” jawab Delon.
“Beef Burger dan Guinness, sebotol ya.” Itu
pesanan Bang Remon. Aku menggeleng-gelengkan kepala, Delon dan Delfi hanya
tersenyum. Tapi aku cukup maklum. Dengan cuaca yang dingin ini, cukup wajar
jika dia ingin sedikit menghangatkan tubuh dengan minuman ‘panas’ itu. Tapi
sebotol, agak keterlaluan menurutku.
“Nanti kan
bagi-bagi, kalian nyobain juga dong,” ujar Bang Remon seolah mengetahui
isi kepalaku.
“Pahit!” celetuk Delfi.
“Enak kok!”
balas Delon.
“Jadi Ayang mau nyoba juga nih
ceritanya?!” Delfi melotot ke suaminya.
Delon hanya terbahak. Bang Remon tersenyum lebar
sambil berkata, “Cuekin aja, Lon.
Nanti kalau sudah merasakan efeknya di ranjang, dia bakal menyuruh kamu sering-sering minum itu.”
Kedua keturunan Adam itu terbahak. Mereka tahu
bahwa Hawa-Hawa mereka takkan sanggup menolak dan melarang mereka menenggak
minuman haram itu. Toh mereka akan
menikmati ‘hasilnya’ nanti.
Tak lama pesanan datang. Satu botol Guinness itu
habis oleh mereka berdua, para Adam, walau porsi Bang Remon tetap lebih banyak.
“Acaranya belum mulai, Bang. Nanti Abang keburu teler,” ujarku mengingatkan.
“Ah, cuma segini mana bakal teler…” tangkis Bang Remon.
Aku hanya menghela nafas. Terserah dialah, asal
tidak membuat keributan atau mempermalukan aku saja nantinya.
Sekitar satu jam kami nongkrong di kafe itu,
ditemani alunan musik hip hop dari sound
system-nya. Setelah puas, kami kembali ke dekat alun-alun. Menunggu
acara-acara pergantian tahun yang tak lama lagi akan dimulai.
Mulanya kami berempat berdiri di depan Rumah Makan
Simpang Raya, tempatku menemui Bang Remon waktu baru datang. Lalu Delfi dan
Delon ingin duduk, sehingga mereka memilih di emperan toko-toko yang sudah
tutup sejak senja. Aku dan Bang Remon tetap bertahan di depan rumah makan itu,
tapi tak lama kemudian bergeser ke arah yang lebih dekat dengan alun-alun.
Acara sudah mulai berlangsung. Tapi ternyata tidak
ada pertunjukan musik. Jam besar itu pun ternyata juga tidak dibuka kain penutupnya.
Yang ada hanya letusan-letusan kembang api yang ditembakkan masing-masing
pemiliknya. Sedikit kecewa, tapi aku dan Bang Remon tetap menikmati acara itu.
Kembang apinya beraneka bentuk, sehingga cukup menyenangkan juga melihatnya.
Kami masih berdiri berdampingan, agak rapat. Bang Remon
merangkul bahuku dari belakang. Pose yang tak vulgar menurutku, dan cukup wajar
untuk kondisi malam hari dengan cuaca dingin seperti ini. Kami berdiri di dekat
sebuah mobil polisi yang berjaga. Entah karena tertutup mobil polisi itu atau
karena kami terlalu asyik memandangi kembang api yang meletus-letus di langit,
kami tidak menyadari ketika serombongan pria dengan pakaian jubah dan sorban
berjalan tergesa-gesa mendekati kami. Ada yang pakaiannya putih dengan sorban
yang juga putih, ada juga yang berwarna serba gelap. Mereka semakin mendekati
aku dan Bang Remon, dan ternyata mereka memang berniat menghampiri kami.
“Maaf, Pak, Bu. Anda suami istri?” tanya salah
seorang dari mereka – yang kemungkinan pemimpin pasukannya – pada Bang Remon.
Jantungku mulai berdebar. Ada apa ini? Aku tidak
merasa melakukan kesalahan apa-apa. Sementara itu mataku silau karena seorang
yang lainnya membidikkan kamera ke wajahku, wajah kami berdua, seolah-olah kami
pezina yang tertangkap basah. Jantungku semakin berdentum, antara jengkel dan
malu.
“Tidak,” jawab Bang Remon tenang sambil
pelan-pelan melepaskan rangkulannya di pundakku. Sepertinya dia tahu arah
pertanyaan ini.
“Muslim kan?”
tanya pria berjubah dan bersorban putih itu lagi.
“Ya.”
“Mohon maaf, Pak. Bapak tahu kan bahwa memegang yang bukan muhrim itu dosa?” Dia memberi gestur
rangkulan Bang Remon di pundakku tadi. Bang Remon mengangguk.
“Baik, Pak. Kali ini kami maafkan. Tapi
besok-besok jangan diulang lagi ya, Pak,” nasihatnya pada kami, seolah-olah
dosa kami adalah tanggung jawabnya dan dialah yang berhak menentukan hukuman.
Sekali lagi Bang Remon mengangguk. Agaknya dia
tidak ingin mencari gara-gara. Aku cukup bersyukur karena dengan kondisinya
yang sudah dipengaruhi alkohol, dia masih bisa bersikap tenang. Aku sudah
sempat khawatir, takut kalau dia kehilangan kesadaran dan menantang mereka
semua. Dan yang juga kusyukuri, sepertinya mereka tidak mencium aroma alkohol
dari mulut Bang Remon, karena mereka tidak mempertanyakan itu.
Selepas mereka pergi, aku dan Bang Remon hanya
saling menatap. Ada senyum mengejek di bibirnya. Kami masih melanjutkan
menikmati sisa malam tahun baru ini hingga semua kembang api ludes ditembakkan.
Setelah itu kami kembali ke hotel, namun tak segera tidur. Di masing-masing
ranjang, para Hawa menikmati efek dari minuman setan yang telah ditenggak para
Adam.
* * *
Kami melewati pagi hingga siang di hotel, nyaris di
kamar saja, selain keluar untuk sarapan dan makan siang. Sorenya, aku dan Bang Remon
duduk-duduk di lobi hotel, sekedar bersantai sambil memikirkan akan kemana sore
hingga malam nanti. Iseng, aku mengambil koran sore yang baru datang dan
diletakkan di rak koran. Aku membolak-balik koran itu. Nyaris semua isinya
tentang acara pergantian tahun tadi malam, di kota ini dan sekitarnya. Juga
beberapa liputan nasional.
Saat membuka lembaran berita foto, leherku serasa
dicekik. Di bawah salah satu foto tertulis, “Pasangan non-muhrim yang tertangkap
Laskar Suci ketika sedang
berpelukan”, dan foto diatasnya terpampang seorang wanita muda dengan rambut
bergelombang melewati bahu, dan di sebelahnya seorang pria berperawakan ala
Mike Tyson. “Ternyata aku cantik juga kalau difoto. Pantas saja fotografer sok
suci itu nafsu banget menjepretku!” batinku.
Bang Remon yang sedari tadi hanya menonton
televisi, ternyata juga sedang memandang foto yang sedang kulihat itu. Kami
berdua berpandangan tanpa suara. Seketika Bang Remon berdiri dan bergegas
menuju kamar. Aku mengikutinya dari belakang. Segera kami mengemasi semua
barang.
(Ruang Semedi, 8 Desember 2010)
* * *
Febby Fortinella Rusmoyo, lahir di Pekanbaru, 14 Februari 1982; alumnus
UIN Suska Riau, bekerja di UIN Suska Riau, dan pernah belajar di Sekolah
Menulis Paragraf, domisili Pekanbaru. Karya-karyanya pernah dimuat di Riau Pos
dan puisinya termuat dalam buku “Rahasia
Hati: Antologi Penyair Muda Riau 2010” yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Riau.