Jumat, 31 Desember 2010

Apakah Hidup Anda Lebih Bermakna?

Dulu, waktu aku masih kuliah (bisa dibilang masih ABG), setiap tahun selalu (benar-benar selalu) merayakan pergantian tahun bersama teman-teman. Kami selalu merayakannya di rumah salah seorang teman yang memang selalu menyediakan rumahnya untuk acara itu. Acara diawali dengan memasak ayam bakar beramai-ramai. Setelah ayam masak, lalu kami memakannya bersama-sama. Setelah perut kenyang, kami menunggu jam 12 malam sambil sesekali mencuri lihat ke acara tahun baruan di TV untuk mengecek apakah sudah saatnya membunyikan terompet. Tepat jam 12 malam, seiring dengan kehebohan yang terjadi di TV dan di jalanan, kami pun meniupkan terompet tahun baru yang dibeli di pinggiran jalan, baru tadi sorenya. Sorak-sorai kami pun terdengar menyambut datangnya tahun baru, walaupun toh esoknya tidak ada yang berubah dari diri kami, tidak juga lebih baik. Kegembiraan satu malam itu hanya menyisakan rasa lelah, ngantuk, dan buntut-buntutnya masuk angin!
Malam tahun baru terakhir yang aku rayakan adalah malam tahun baru 2004, dimana keesokan harinya, hari pertama tahun 2004, 1 Januari 2004, aku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai dan hormati dalam hidupku, Bapak. Sejak itu aku tidak pernah merayakan malam tahun baru lagi dalam hidupku. Karena aku menganggap, kalau aku merayakan malam tahun baru, berarti aku merayakan kepergian Bapak yang tidak pernah kembali itu. Dan aku tidak mau seperti itu. Bukan karena anggapan orang lain, tapi itu hanya persepsi pribadiku, yang kalau aku langgar aku jadi malu pada diri sendiri.
Setelah tidak pernah merayakan malam tahun baru lagi, aku justru malah lebih merasakan makna hidup. Aku jadi lebih merasa pergantian tahun itu adalah sesuatu yang seharusnya memang tidak untuk di-hip-hip-hura-kan. Terkadang sekarang aku jadi malu pernah merayakan malam tahun baru seperti dulu, walaupun kini aku punya satu pembelaan diri yang lumayan masuk akal, “namanya juga ABG”. Makanya kalau sekarang aku masih merayakan juga, aku justru akan bertanya pada diri sendiri, “Gunanya apa? Apa bisa bikin hidup lebih bermakna?” Yang lebih menggelikan lagi kalau yang ikut merayakan itu orang-orang tua yang justru dengan bangganya tersenyum melihat anaknya yang masih ABG bersorak-sorai sambil meniup terompet tahun baru pada malam pergantian tahun itu. Mereka seolah merasa sudah menjadi orang tua teladan karena membiarkan anaknya meluapkan kegembiraan “ga penting” itu justru di depan mata mereka sendiri.
Tapi aku tidak berniat menyalahkan siapapun yang merayakan malam pergantian tahun. Itu hak pribadi masing-masing, hak asasi manusia istilah kerennya di negara kita “tercinta” ini. Dan orang-orang yang ingin merayakan malam tahun baru dengan hura-hura itu lebih memiliki hak asasi manusia daripada para korban bencana alam seperti banjir, tanah longsor, angin puting beliung, yang seharusnya mendapat hak asasi manusia mereka berupa bantuan atau setidaknya empati dari rekan sebangsanya dengan tidak merayakan alam tahun baru karena mentolerir perasaan sedih yang mereka alami. Definisi hak asasi manusia di negeri ini memang terbatas hanya untuk yang “enak-enak” saja.
Jadi kesimpulannya, bagaimanapun cara kita merayakan malam tahun baru, bukanlah esensi dari datangnya tahun baru itu sendiri. Yang lebih perlu kita persiapkan seharusnya bukannya bagaimana membuat pesta tahun baru yang meriah, atau makanan apa yang akan disajikan, berapa banyak kembang api yang kita siapkan, seberapa menggelegar petasan yang kita ledakkan, melainkan bagaimana kita menyikapi tahun yang baru dengan perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk mengubah hati kita menjadi lebih sensitif, lebih peduli, dengan rekan-rekan kita yang tidak seberuntung kita dalam hidupnya. Tidak harus menyalurkan bantuan jika kita tidak mampu (atau tidak memampukan diri), tapi setidaknya, tidak membuat mereka bertambah sedih dengan ketidaktoleransian yang kita lakukan.

“Yang berarti dalam hidup ini bukan berapa banyak tahun dalam hidup, tapi berapa banyak hidup dalam tahun-tahun yang kita lewati” (NN).

Minggu, 31 Oktober 2010

Sebungkus Rindu

Maukah kau kukirimi sebungkus rindu
Yang kuanyam dari daun cinta
Kupetik dari pohon hati
Walau pernah kau tebang
Namun dia tumbuh lagi
Karena kuberi pupuk ketulusan
Yang takkan mati walau tak disirami

(01062010)

Sudah lama aku mengharapkan sebuah pertemuan. Sejak lebih dari satu tahun kita bahkan tak saling melihat foto. Namun aku tak perlu tahu bagaimana rupamu saat ini karena sosokmu selalu hadir dalam hatiku. Sejauh apapun engkau telah berubah, namun artimu dalam hatiku tidak – atau setidak-tidaknya belum – berubah. Hatiku agak mendua ketika menetapkan ingin merancang pertemuan yang belum sempat terjadi itu. Aku tahu berita dan ramalan di banyak media mengatakan akan ada bencana besar di tempatmu berada. Aku ragu, antara percaya dengan tidak. Kalaupun aku tak percaya, jika aku nekad menemuimu, dan ternyata sesuatu terjadi padaku, ya sudahlah...., berarti itu takdir. Namun sesuatu yang lain menghentikan keinginan itu. Teman yang sedianya akan menjadi teman seperjalanan, ternyata membatalkan niatnya untuk menemui keluarga di kota yang sama denganmu. Aku sedikit kecewa, namun juga lega. Di satu sisi keraguanku terjawab, namun di sisi lain rasa rindu yang sudah membuncah ini tetap tak dapat kubendung.

Aku tahu – bahkan yakin seyakin-yakinnya – bahwa jauh di lubuk hatimu, engkau juga mengharapkan hal yang sama denganku. Itu tak dapat disembunyikan ketika aku sempat menanyakan tentang suatu tempat yang ada di kotamu, engkau bukannya menjawab pertanyaanku, malah bertanya apakah aku akan berkunjung kesana, yang artinya ke kotamu, dan itu juga berarti akan ada kesempatan bertemu. Aku tertawa mendengar antusiasme yang engkau tunjukkan, sesuatu yang sangat jarang kelihatan di dirimu yang begitu ‘dingin’ dan ‘datar’, yang nyaris tanpa emosi selama ini.

Tapi kemungkinan, keinginanku untuk segera bertemu denganmu akan terwujud sebentar lagi. Aku mendapat kesempatan kedua, dan itu takkan ku sia-siakan. Apapun yang terjadi, aku harus pergi... Meski disana kita hanya bisa saling bertatap muka tanpa ada satu kata pun yang terucap, yang selama ini mengganjal di hati kita, yang membuat kita berpisah walau sejujurnya bukan itu yang kita inginkan. Kuharap semua ketakutan dan beban yang selama ini mengganjal kita, akan terbang bersamaan dengan pertemuan kita. Walau mungkin itu takkan mengubah apa yang sudah terjadi diantara kita, dan aku pun tak berharap ada sesuatu yang terjadi sesudahnya. Biarlah waktu yang menjawab, seperti yang selalu engkau ucapkan padaku...

Selasa, 26 Oktober 2010

Tuhan Sedang Marah..???

“Tuhan sedang marah…!” Banyak yang berkata begitu jika musibah, bencana dan kerugian-kerugian lainnya telah menimpa suatu kaum. Benarkah Tuhan “marah”…? Tuhan tidak pernah marah, Dia-lah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Lalu jika ada bencana bertubi-tubi yang datang, lalu apakah itu berarti bukan berarti Tuhan ”kehabisan kesabaran” menghadapi tingkah laku manusia yang sudah sangat jauh dari segala perintahnya...?

Tuhan tidak pernah lelah. Dia tidak memiliki batas sabar. Tak ada batas atas segala sifat yang melekat pada-Nya. Segala sesuatu di dunia ini adalah kecil di hadapannya. Jadi untuk apa Dia ”kehabisan kesabaran” menghadapi manusia yang seringkali tidak mensyukuri nikmat. Kita syukuri atau tidak pun nikmat itu, tidak akan ada bedanya bagi-Nya. Lalu apa sebenarnya maksud Tuhan memberikan semua musibah itu? Bertubi-tubi pula...

Tak ada satupun yang dilakukan Tuhan kepada hamba-Nya melainkan atas dasar kasih sayang. Sesungguhnya semua musibah itu pun adalah bukti kasih sayang Tuhan kepada kita. Mengapa? Coba kalau tidak ada musibah, tidak ada bencana, akankah kita mengingat-Nya? Akankah kita saling membantu sesama? Dalam kehidupan yang serba individualistis ini, segala sesuatu dihitung dengan materi. Tidak semua memang, namun secara umum begitu. Nah, jika kehidupan kita lancar-lancar saja, lurus-lurus saja, akankah kita mengingat saudara-saudara kita yang masih sangat kekurangan..? Jarang.., jika pun ada, persentasenya hanya sebagian, separuhlah anggap saja...

Tuhan ingin “mengingatkan” kita, wahai manusia, kita hidup di dunia ini tidak untuk diri kita sendiri. Tidak untuk keluarga kita sendiri, tidak untuk kelompok kita sendiri. Kita mempunyai begitu banyak “saudara” yang harus kita bantu, tolong, paling tidak sedikit perhatian saja. Kita sudah begitu cueknya dengan keadaan di sekitar kita, dengan alam tempat kita tinggal, sehingga Tuhan merasa sudah saatnya bagi kita diberi peringatan agar perbuatan kita tidak jauh melebihi batas lagi, yang akan berakibat lebih buruk lagi. Tidakkah kita sadari juga itu...?

Sekarang, dengan adanya musibah dan bencana dimana-mana, di sekeliling kita, di negeri kita, tidakkah hati kita tergerak untuk membantu..? Pasti tergerak... Itulah hikmah dari musibah dan bencana.., untuk menyentuh hati manusia yang sesungguhnya halus namun sering bersembunyi di balik tuntutan zaman yang katanya “keras”...

Ya Allah Azza Wa Jalla, Allah Yang Maha Pengasih, Penyayang, Pengampun dan segala Maha.., takkan kami sesali semua bencana ini, karena sesungguhnya Engkau melakukan semua ini atas dasar kasih sayang-Mu pada kami... Berilah kami kesanggupan untuk mengambil hikmah yang sengaja Engkau tunjukkan pada kami....

* * *

“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia), sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. As Sajdah, 32:21)

"Adakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja oleh Allah untuk menyatakan, "aamannaa" (kami telah beriman) padahal Kami belum lagi memberikan ujian kepada mereka. Sungguh telah Kami uji umat sebelum mereka, dengan ujian itu jelaslah oleh Kami siapa yang benar pengakuan keimanannya itu dan siapa pula yang dusta" (Al Ankabuut, 29 : 2-3)

"Boleh jadi kamu sangat tidak menyukai peristiwa yang menimpa diri kamu, padahal itu sangat baik sekali bagimu. Boleh jadi sesuatu itu yang sangat kamu sukai, padahal sesuatu itu yang sangat tidak baik bagi kamu. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui, kalian tidak tahu apa-apa" (Al Baqarah, 2 : 216)

Senin, 11 Oktober 2010

Bangkit dari Rasa Kehilangan

1 Januari 2004 adalah titik tolak hidupku. Pada hari itu aku kehilangan orang yang paling kucintai dan kukagumi di dunia ini, Bapak. Bapak meninggalkan kami semua setelah berbulan-bulan mencoba melawan kanker prostat yang menggerogoti tubuh beliau.
Bagiku kematian adalah satu hal yang pasti akan datang pada kita, entah pada diri kita sendiri atau pada orang-orang terdekat kita, dan itu adalah sesuatu yang harus kita persiapkan kapan saja harus dihadapi. Tapi aku juga tidak munafik bahwa kehilangan itu sangat menampar kehidupanku.
Yang jadi masalah utama adalah waktu kehilangan itu. Aku kehilangan Bapak justru saat aku sangat membutuhkan kehadiran beliau, pada tahun terakhir kuliahku, saat aku sangat membutuhkan dukungan dan bantuan beliau untuk menyelesaikan skripsiku, karena kebetulan bidang kami sama. Aku sempat ingin marah, tapi tidak tahu pada siapa. Aku ingin marah, kenapa Bapak tidak menungguku selesai kuliah? Kenapa Bapak tidak ingin melihatku memakai pakaian kebesaran itu, toga itu, dan menyandang gelar yang sama dengan beliau? Kenapa aku diharuskan berjuang sendiri menghadapi saat-saat paling sulit dan paling menentukan masa depanku? Terus terang aku sempat putus asa dan berpikir tidak ada gunanya menyelesaikan kuliah, toh Bapak tidak akan bisa melihat. Tapi syukur aku langsung sadar bahwa aku masih punya Ibu, yang tidak kalah berharganya dalam hidupku, bahkan sangat-sangat berharga. Aku jadi sadar, bahwa sekaranglah saatnya aku membahagiakan Ibu, membesarkan hati Ibu yang pastinya sangat ‘jatuh’ setelah kehilangan Bapak. Karenanya, dengan keringat dan air mata, aku mencoba bangkit dari rasa kehilangan itu, dan mencoba mengejar masa depanku dari puing-puing kesedihan dan khilangan itu.
Kehilangan orang yang kita cintai adalah sesuatu yang sangat tidak kita inginkan dalam hidup ini tapi justru adalah sesuatu yang pasti kita alami. Tak pernah ada satu orang pun yang menginginkan hal ini terjadi pada dirinya. Namun juga kita tidak punya kuasa untuk mencegah hal tersebut jika terlanjur terjadi pada kita.
Ingatlah bahwa semua yang terjadi dalam hidup ini sudah ada yang mengaturnya, tinggal bagaimana kita mengambil hikmah dalam setiap kejadian yang kita alami. Karena di balik keburukan pasti ada kebaikan, sebaliknya di balik kebaikan juga ada keburukan. Satu hal lagi, jangan pernah berburuk sangka pada Tuhan dengan mengatakan bahwa semua ini terjadi karena Tuhan tidak menyayangi kita. Tapi yakinlah bahwa justru Tuhan memberi ujian dan cobaan yang berat pada umat yang dicintai-Nya agar dapat mengambil hikmah dan menjadi insan yang lebih baik.

"Kita baru akan menyadari arti kehadiran seseorang jika kita telah kehilangan dirinya." For my beloved Daddy - 1 Januari 2004

Jumat, 10 September 2010

Kebahagiaanmu Bukan Kebahagiaanku


Waktu itu aku dalam perjalanan pulang dari luar kota bersama seorang sabahabatku dan suaminya. Entah apa yang mengawali cerita kami, tahu-tahu Vera, nama sahabatku itu, bercerita tentang seorang rekannya sesama pengajar yang kebetulan juga teman satu sekolahku di SLTP dulu, Irma namanya.
            Dengan semangat dia bercerita, “Irma itu emang orang paling beruntung lah. Bapaknya pegawai negeri, ibunya pegawai negeri, dia pegawai negeri, dapat calon pun pegawai negeri. Wah..., emang bener-bener udah tenang hidupnya... Apalagi yang dia cari kan...”
            Aku manggut-manggut saja mendengar ceritanya, karena aku tahu Vera kalau sudah semangat Y2K begitu (baca: wai tu ke, year two kilo maksudnya, alias dua ribu), dia tidak bisa diganggu gugat. Aku mau membantah pun juga percuma. Padahal dadaku bergemuruh mendengar dia mengklaim kebahagiaan orang dari apa yang menurutnya sudah jaminan kebahagiaan orang itu, padahal siapa yang bisa menjamin hal itu seratus persen.
Ada sebuah fenomena yang aku perhatikan pada masyarakat kita umumnya. Mereka sepertinya sangat haus akan menjadi pegawai negeri sipil atau PNS. Setiap kali ada penerimaan lowongan PNS, ribuan orang berbondong-bondong mengikutinya, padahal mereka tahu kalau jumlah yang dibutuhkan sangatlah tidak seimbang dengan jumlah pesaingnya, tapi itu bukan masalah. Bagi mereka tidak apa, yang penting mencoba. Mencoba tes CPNS lebih baik daripada mencoba membuka usaha sendiri.
            Aku termasuk orang yang tidak pernah punya keinginan untuk menjadi PNS. Pernah suatu kali aku mencoba mendaftar menjadi CPNS waktu ada penerimaan besar-besaran di kotaku. Aku ikut, bukan karena aku memang ingin ikut, tapi karena ingin mencoba, seperti apa sih sebenarnya yang dikejar-kejar orang selama ini. Aku juga mencoba karena sudah berkali-kali teman-temanku ikut dan sekalipun aku belum pernah ikut. Makanya aku hanya ingin menjawab pertanyaan mereka kalau suatu kali nanti mereka bertanya apakah aku sudah pernah mencoba atau belum. Dan hasilnya... Aku kapok dan berjanji seumur hidup takkan pernah mencobanya lagi...
            Kembali ke “kebahagiaan” versi Vera temanku. Dia bukanlah orang pertama yang aku dengar punya pendapat seperti itu. Dulu, waktu aku masih bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah institusi pendidikan berbasis agama milik pemerintah, aku juga sering mendengar orang-orang di lingkungan kerjaku mengatakan hal serupa. Mereka rela terkatung-katung menjadi honorer bertahun-tahun di institusi itu dengan gaji hanya sepas-pas UMR, tanpa tunjangan apa-apa, bahkan uang makan dan transportasi pun tak jelas, demi kesempatan diangkat menjadi PNS yang entah kapan akan terwujud. Sungguh luar biasa mental ‘sabar’ mereka...
            Dan memang mereka itu mempunyai prinsip seperti itu. Lebih baik menunggu bertahun-tahun, dengan sedikit jilat sana cari muka sini agar pengangkatan lebih cepat. Dan yang pasti, kalau kita sudah menjadi “ininya si anu”, alamat pengangkatan akan lebih cepat. Sebuah prinsip kekeluargaan yang patut ‘diacungi jempol’…
            Jadi, bagi mereka yang punya prinsip seperti ini, kebahagiaan atau bahkan sukses versi mereka terletak pada faktor eksternal, yaitu pekerjaan yang mereka miliki, dan bukannya faktor internal yang berasal dari diri sendiri. Padahal seharusnya kebahagiaan berasal dari dalam diri kita sendiri. Karena jika kita menggantungkan kebahagiaan kepada faktor diluar diri kita seperti pekerjaan, uang, kekayaan, penilaian bagus dari lingkungan, dan sebagainya, maka jika kita tidak mendapatkan itu, kita akan menjadi orang yang kufur nikmat (tidak mensyukuri). Semoga Tuhan menjauhkan kita dari sifat itu...
            Tidak ada yang salah dengan memiliki keinginan mempunyai pekerjaan tertentu. Tapi adalah lebih bijak jika kita tidak menggantungkan kebahagiaan atau sukses kepada sesuatu, agar kita tidak menjadi orang yang tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan sampai detik ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang pandai bersyukur...

Kebahagiaan bukanlah tergantung berapa banyak yang anda miliki, melainkan berapa banyak yang anda nikmati dari yang anda miliki (Spurgeon).

Kamis, 15 Juli 2010

Sepakbola, Fanatisme dan “Cinta Buta”


Lelaki Bavaria itu mengangkat trofi piala yang terbuat dari emas dengan sumringah setelah menciumnya layaknya mencium istrinya sendiri. Kejadian itu diputar berulang-ulang di televisi menjelang even sepakbola dunia World Cup 1994. Itulah cinta pertama dan sejatiku pada sepakbola, Lothar Mattheus dan tim nasional Jerman. Sekalipun terjengkal oleh Spanyol di babak semifinal dalam World Cup 2010 kali ini, namun ’rasa’ itu tak bisa pudar. Layaknya cinta yang sesungguhnya, tanpa pamrih, tanpa berpikir, hanya merasa, begitu pula ‘cinta’ku pada sepakbola dan tim nasional Jerman. Meski kebanyakan orang berpindah arus – jika tim jagoan utamanya tidak lolos, mereka beralih ke tim jagoan lain yang masih bertahan – namun aku tak pernah berpikir untuk ‘ke lain hati’. Sampai dimana batas akhir Jerman bermain, disitulah “final” bagiku.
Jika ditanya mengapa aku bisa begitu fanatik pada Jerman, aku tak bisa menjawab mengapa. Tak ada alasan, semuanya hanya karna “cinta”. Sama halnya jika kita mencintai seseorang. Ketika ditanya mengapa kita mencintainya, jika kita benar-benar mencintainya dari lubuk hati yang terdalam, maka kita tidak akan tahu alasannya. “Ya cinta saja...” Dan ternyata hal ini juga berlaku dalam sepakbola. Ketika kita menyukai sebuah tim, walau kita tidak tahu mengapa kita menyukainya. “Saya suka Jerman dan suka saja...”
Maka jika ditanya, dengan keadaan Jerman yang hanya mampu mencapai tempat ketiga di Piala Dunia 2010, apakah aku masih tetap mencintainya, jawabannya adalah YA dan tidak akan berubah. “Meine Liebe wird nicht verblassen, Deutschland...” Cintaku takkan luntur, Jerman...


Kamis, 22 April 2010

Ranjang Pilihanmu (sebuah puisi)



Aku ingin membaringkanmu diatas ranjang mawar
Namun kau memilih ranjang tanah
Seindah apapun mawar ini
Takkan berarti tanpamu
Akan kupilih ranjang tanah juga
Walau lembab dan bau
Namun tepat di sampingmu


(12042010)

Minggu, 04 April 2010

Warna (sebuah puisi)



Kau terlalu hitam untukku
Sedang aku abu-abu
Aku belum sanggup menjadi putih
Namun takut menjadi hitam
Aku ingin membuatmu sedikit luntur
Namun kau bertahan dengan kelammu
Aku tak sanggup
Warna kita terlalu berbeda


(30032010)