Senin, 24 Oktober 2011

Cerpen Terjemahan di Riau Pos Edisi Ahad, 23 Oktober 2011

JENDELA YANG TERBUKA

“Bibi saya akan segera turun, Tuan Nuttel,” ujar seorang remaja lima belas tahun yang sangat tenang. “Sementara menunggu, Anda akan saya temani.”

Framton Nuttel berusaha keras untuk mengungkapkan pujian kepada sang keponakan itu tanpa terlalu mengabaikan bibinya yang hampir tiba. Secara pribadi dia meragukan lebih dari apapun apakah kunjungan formal sebagai orang asing ini dapat sedikit berguna untuk membantu pengobatan syaraf yang sedang dijalaninya.

“Aku tahu apa yang akan terjadi,” kakaknya pernah mengatakan ini saat dia bersiap untuk pindah ke tempat pengasingannya di desa. “Kau akan menimbun dirimu sendiri di sana dan tidak bisa berbicara pada jiwa-jiwa yang hidup, dan syarafmu akan lebih parah dari sebelumnya karena selalu muram. Aku hanya bisa mengirimkan surat perkenalan atas dirimu kepada orang-orang yang kukenal di sana. Beberapa dari mereka, seingatku, cukup baik.”

Framton bertanya-tanya apakah Nyonya Sappleton, salah satu wanita yang juga dikirimi surat perkenalan atas dirinya, termasuk yang baik juga.

“Apakah anda mengenal banyak orang di sekitar sini?” tanya gadis itu lagi, setelah beberapa lama mereka berdiam diri.

“Sangat sedikit,” jawab Framton. “Kakakku pernah tinggal di sini, di rumah pendeta, kau tahu kan… sekitar empat tahun yang lalu, dan dia mengirimkan surat perkenalan atas diriku pada beberapa orang di sini.”

Dia mengucapkan kalimat terakhir dengan tekanan yang agak mengandung penyesalan.

“Dan Anda tidak mengenal bibi saya dengan baik ya?” desak gadis yang tenang itu.

“Hanya nama dan alamatnya,” akunya. Dia bertanya-tanya apakah Nyonya Sappleton ini berstatus menikah atau janda. Ada sesuatu yang tak dapat dijelaskan mengenai ruangan yang lebih memiliki sentuhan maskulin ini.

“Tragedi terbesarnya terjadi di sini tiga tahun yang lalu,” ujar gadis itu, “Waktu kakak Anda di sini.”

“Tragedinya?” tanya Framton, bagaimanapun di desa yang tenang seperti ini sebuah tragedi tampak tak mungkin terjadi.

“Anda mungkin heran mengapa kami tetap membiarkan jendela terbuka pada sore bulan Oktober,” jawab ponakan itu sambil menunjuk sebuah jendela Prancis yang terbuka lebar menghadap halaman rumput.

“Mungkin karena ini waktu yang sedikit hangat sepanjang tahun,” balas Framton. “Tapi apakah ada hubungannya dengan tragedi itu?”

“Di luar jendela itu, di suatu hari pada tiga tahun yang lalu, suami dan dua adik laki-lakinya pergi berburu. Mereka tak pernah kembali. Saat mencari-cari tempat yang tepat sebagai persembunyian dalam perburuan mereka saat itu, mereka bertiga tertelan lumpur hisap. Saat itu sudah memasuki musim panas yang mengerikan, Anda tahu, dan tempat-tempat yang biasanya aman pada waktu lain di sepanjang tahun, saat itu menjadi sangat berbahaya tanpa ada tanda-tanda. Tubuh mereka tak pernah ditemukan kembali. Itu hal yang paling mengerikan.”

Pada saat itu, suara gadis itu kehilangan ketenangannya dan menjadi tergagap-gagap. “Bibi yang malang selalu berharap mereka akan kembali suatu hari nanti. Mereka, dan seekor anjing spaniel kecil mereka yang berwarna coklat yang juga ikut hilang bersama mereka. Dan berjalan memasuki jendela itu sebagaimana biasa mereka lakukan. Itulah mengapa jendela itu tetap dibiarkan terbuka setiap hari hingga menjelang malam. Bibi sayang yang malang… Dia masih sering menceritakan padaku bagaimana mereka keluar. Suaminya mengenakan mantel hujannya yang berwarna putih, dan Ronnie, adik laki-lakinya yang paling kecil, menyanyikan ‘Bertie, why do you bound?’ seperti yang sering dilakukannya jika sedang menggoda Bibi, dan karena cerita-cerita itu Bibi mendapatkan penyakit syarafnya ini.
Tahukah Anda, kadang dalam kesunyian, malam-malam tenang seperti ini, aku mendapat perasaan aneh bahwa mereka akan berjalan memasuki jendela itu…”

Dia terdiam sambil bergidik. Framton lega saat sang bibi bergegas memasuki ruangan dengan penuh penyesalan karena terlambat tiba.

“Kuharap Vera telah menghiburmu,” ujarnya.

“Dia sangat menarik,” balas Framton.

“Kuharap Anda tidak keberatan jendelanya tetap terbuka,” ujar Nyonya Sappleton segera, “Suami dan adik-adikku akan segera pulang dari berburu, dan mereka selalu masuk dari sini. Mereka pergi berburu, jadi mereka akan membuat karpet saya sangat kotor. Namanya juga pria, ya kan?”

Dia mengoceh dengan riang tentang perburuan dan kelangkaan burung, dan prospek bagi bebek-bebek di musim dingin. Bagi Framton, ini sangat mengerikan. Dia putus asa dan hanya sedikit sekali mampu berusaha untuk memotong pembicaraan Nyonya Sappleton yang terdengar horor. Dia sadar bahwa nyonya rumah itu tidak terlalu memperhatikannya, dan matanya tak pernah lepas dari memandang jendela dan lapangan rumput yang terbuka di belakang Framton. Sungguh ketidaksengajaan yang tidak menyenangkan bahwa dia harus membayar kunjungan ini pada sebuah peringatan tragis.

“Para dokter setuju untuk memberikanku istirahat total, menjauhi rangsangan kejiwaaan, dan mencegah apapun yang bersifat kekerasan fisik,” ungkap Framton, yang bersusah-payah berbicara atas delusi panjang bahwa keterasingan total dan kesempatan berkenalan sesungguhnya membutuhkan detil yang paling minim atas penyakit dan kelemahan seseorang, baik penyebab maupun obatnya. “Tentang masalah diet, mereka tidak terlalu sepakat,” lanjutnya.

“Tidak?” tanya Nyonya Sappleton setelah menguap lebar. Lalu dia mendadak sangat perhatian, namun tidak pada apa yang Framton katakan.

“Akhirnya mereka datang!” teriaknya. “Tepat pada saat minum teh, dan mereka tidak tampak seperti sudah tenggelam dalam lumpur hingga ke mata!”

Framton sedikit gemetar dan berpaling pada gadis keponakan Nyonya Sappleton dengan pandangan yang ingin menunjukkan pemahaman simpati yang dalam. Gadis itu menatap jendela yang terbuka dengan mata terbelalak. Dengan kengerian yang tak terungkapkan, Framton membalikkan badannya dan memandang ke arah yang sama.

Dalam temaram yang pekat, tiga sosok berjalan melintasi halaman rumput memasuki jendela. Mereka masing-masing membawa senapan, dan salah satu dari mereka tenggelam dalam mantel putih panjangnya. Seekor anjing spaniel coklat yang tampak sangat lelah berjalan di dekat kakinya. Tanpa suara mereka mendekati rumah, dan suara serak seorang pemuda memecah kelam, “Aku bilang, ‘Bertie, why do you bound?’”

Framton merampas tongkat dan topinya serabutan, meraih gagang pintu dengan kasar, menghantam jalanan kerikil, membuka paksa gerbang depan dan kabur dengan tergesa-gesa. Dia memacu sepeda menghantam tanaman untuk menghindari tabrakan yang nyaris terjadi.

“Kami datang, Sayang,” ujar pemburu dengan mantel putih, memasuki jendela. “Agak berlumpur, tapi masih kering. Siapa yang meloncat keluar saat kami datang?”
“Pria paling aneh, Tuan Nuttel namanya,” jawab Nyonya Sappleton, “yang hanya bisa berbicara tentang penyakitnya, dan tergagap-gagap tanpa mengucapkan selamat tinggal atau minta maaf karena pergi saat kau tiba. Orang akan mengira dia telah melihat hantu.”

“Kuharap yang dimaksudnya anjing ini,” ujar gadis kecil keponakan itu dengan tenang. “Dia mengatakan dia takut pada anjing. Dia pernah dikejar segerombolan anjing liar sampai ke kuburan di suatu tempat di pinggiran Ganges, dan harus melewati malam itu di sebuah lubang kuburan yang baru digali dengan makhluk-makhluk itu menggonggong dan menyeringai dengan mulut berbusa diatasnya. Cukup untuk membuat siapa saja terganggu syarafnya.”

Nuansa romantis pun memenuhi ruangan itu.

***

Hector Hugh Munro (18 Desember 1870-13 November 1916), dikenal dengan nama pena Saki, dan juga sering disebut H H Munro, adalah seorang penulis berkebangsaan Inggris. Mengawali karir kepenulisan sebagai jurnalis di Westminster Gazette, Daily Express, Bystander, Morning Post, and Outlook. Buku pertamanya terbit di tahun 1900, The Rise of the Russian Empire, sebuah buku sejarah. Novel-novelnya antara lain The Unbearable Bassington, seri The Westminster Alice (sebuah parodi Alice in Wonderland), dan When William Came, subtitle dari A Story of London Under the Hohenzollerns, sebuah novel fantasi tentang masa depan invasi Jerman ke Inggris Raya. Cerpen ini diterjemahkan dari judul aslinya, “The Open Window”, yang termuat dalam situs www.classicshorts.com.

Febby Fortinella Rusmoyo, lahir di Pekanbaru, 14 Februari 1982; alumnus UIN Suska Riau, bekerja di UIN Suska Riau, dan pernah belajar di Sekolah Menulis Paragraf, domisili Pekanbaru. Karya-karyanya pernah dimuat di Riau Pos, Padang Ekspres, Haluan Riau, Sumut Pos; dan puisinya termuat dalam buku Rahasia Hati: Antologi Penyair Muda Riau 2010 yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.

Selasa, 18 Oktober 2011

The Interpreter



Ini bukan tentang film “The Interpreter” yang dibintangi Nicole Kidman dan Sean Penn. Tapi ini tentang satu pengalaman baruku menjadi interpreter dalam acara Diskusi Sastra Satellite Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 dengan tema “Sastra Multikultural”. Acara ini diselenggarakan pada hari Kamis tanggal 13 Oktober 2011, di Galeri Ibrahim Sattah, Kompleks Bandar Serai Pekanbaru. Yang hadir sebagai pembicara adalah penyair dari Australia bernama Sean M. Whelan, ditemani oleh Budy Utamy, penyair muda Riau dari Komunitas Paragraf Pekanbaru yang kebetulan juga turut serta dalam acara Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali tanggal 5-9 Oktober 2011. Sebagai pembawa acara kali ini adalah Refila Yusra (Komunitas Paragraf Pekanbaru). Aku berperan sebagai moderator sekaligus interpreter untuk Sean M. Whelan.
Awalnya tentu saja sedikit nervous, apalagi sudah cukup lama aku tidak pernah berbincang-bincang dengan orang dari luar negeri. Apalagi jika harus menjadi perantara antara sang pembicara yang notabene orang luar dengan para peserta yang orang kita. Mungkin beberapa dari peserta cukup paham sedikit-sedikit Bahasa Inggris, tapi untuk menyampaikan apa yang ingin mereka tanyakan mungkin yang agak berat. Satu hal lagi, Sean adalah orang Australia, yang dialeknya tentu saja berbeda dengan orang Amerika Serikat atau Inggris. Dan sejujurnya aku sebenarnya lebih familiar dengan dialek Amerika karena sejak kecil memang sudah “dijejali” dengan film-film Amerika atau lagu-lagu Amerika yang sengaja dibiasakan almarhum Bapak supaya kami tidak asing dengan Bahasa Inggris. Dan karena Bapak juga bekerja di lingkungan yang lebih banyak orang Amerikanya (PT. CPI Rumbai), dan kebetulan pembimbing skripsi Bapak jaman kuliah dulu juga orang Amerika, jadinya Bapak juga membiasakan kami dengan dialek Amerika. Waktu kelas 2 SD saja lagu favoritku “It’s Now or Never”-nya Elvis Presley.. 



Untungnya Sean adalah orang yang sangat kooperatif dan cukup ramah. Jadi walaupun awalnya aku agak canggung, tapi pada akhirnya semua berjalan dengan lancar. Semua pertanyaan para peserta dijawab dengan memuaskan oleh Sean dan sepertinya para peserta juga puas dengan hasil terjemahan lisanku. Sean M. Whelan adalah seorang penyair asal Melbourne, Australia, yang telah menelurkan dua buku kumpulan puisinya yaitu Love is the New Hate dan Tattooing the Surface of the Moon. Sean juga memiliki latar belakang yang cukup unik karena selain sebagai penyair, beliau juga seorang DJ (Disc Jockey), bekerja di perusahaan rekaman, menulis skenario drama, dan juga mempunyai sebuah kelompok band bernama The Interim Lovers yang telah menelurkan satu album yaitu Softly and Suddenly pada bulan Oktober 2010. Beliau juga mengajarkan sastra di sekolah-sekolah, sebagai pengabdiannya terhadap bidang yang dicintainya ini. Beliau juga mempunyai sebuah program bernama Babble dan koordinator dari Liner Notes, yang keduanya merupakan program musikalisasi puisi yang rutin diselenggarakannya di kafe-kafe di daerah asalnya.



Para peserta Diskusi Sastra Satellite Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 berasal dari berbagai kalangan seperti dari Balai Bahasa Riau, mahasiswa Universitas Riau, mahasiswa UIN Suska Riau, mahasiswa Universitas Abdurrab, perwakilan Forum Lingkar Pena (FLP) Pekanbaru, dan lain-lain, serta dari individu yang tertarik dengan bidang ini. Dalam diskusi ini, para peserta kebanyakan menanyakan tentang proses kreatif, bagaimana mengatasi kebuntuan dalam menulis, apa saja jenis-jenis puisi, bagaimana kesan-kesan para penulis dalam menghadiri acara Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Bali itu sendiri, dan khusus kepada Sean, mereka juga menanyakan bagaimana perkembangan sastra terutama puisi di negeri asalnya, Australia. Ternyata di Australia, keberadaan sastra tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, yaitu juga masih belum terlalu akrab bagi masyarakatnya, meski tidak semengenaskan sastra di Indonesia. Di sekolah-sekolah di Australia, pengajaran sastra di sekolah juga masih bersifat umum, namun murid-murid yang tertarik mendalaminya dapat mengambil pelajaran tambahan diluar jam sekolah dalam bidang ini. Selain itu, yang mungkin patut membuat kita sedikit “iri” terhadap mereka adalah adanya perhatian dari Pemerintah berupa bantuan dana bagi warganya untuk menerbitkan sebuah buku, menyelenggarakan even-even sastra, dan sebagainya. Kita tinggal mengajukan proposal permintaan dananya, dan Pemerintah akan bersedia memberikannnya, dengan catatan benar-benar dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Di negeri kita, mungkin sah-sah saja kita mengajukan permohonan bantuan dana, tapi mungkin persetujuannya ditangguhkan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Sebagai langkah untuk lebih memasyarakatkan sastra dan menyastrakan masyarakatnya, Sean dan komunitasnya disana juga intens mengadakan musikalisasi puisi di kafe-kafe, bahkan telah mengalbumkan musikalisasi puisi bersama dengan bandnya. Sebuah totalitas profesi yang pantas ditiru. Meski beliau sendiri mengaku bahwa pilihannya sebagai seorang penyair adalah karena baginya puisi merupakan bentuk tulisan yang paling murni. Kita tidak bisa kaya dengan menulis puisi. Mungkin kita bisa kaya dengan menulis novel, atau skenario, dan yang lainnya, tapi tidak jika hanya menulis buku kumpulan puisi. Butuh kolaborasi pekerjaan untuk itu dan itulah yang dijalaninya saat ini.



Di akhir acara ini tentu saja ada sesi potret-memotret dan tanda tangan oleh Sean. Selain itu, karena ada sedikit wawancara dari koran “Haluan Riau”, maka sekali lagi aku menjadi perantara bahasa antara Sean dan wartawan media tersebut. Setelah acara Diskusi Sastra, kami para anggota Komunitas Paragraf Pekanbaru sebagai pihak penyelenggara pergi makan bersama dengan Sean di Rumah Makan “Poho” di Jl. A. Yani, Pekanbaru. Sesi bebas ini dimanfaatkan oleh teman-teman untuk mempraktekkan Bahasa Inggris mereka. Dan sekali lagi kami berfoto bersama. Sungguh pengalaman luar biasa... Dan yang lebih menyenangkan lagi, di wall FB-ku, Sean mengucapkan terima kasihnya padaku dengan mengatakan: “...and thanks to Febby Fortinella Rusmoyo for her mad interpreter skill.” Wooow..., your welcome Sean.., you’re great too.. 