Minggu, 08 Desember 2013

Ulasan Novel "East of Eden" Karya John Steinbeck



John Ernst Steinbeck (lahir di Salinas, California27 Februari 1902, meninggal dunia di New York City20 Desember 1968) adalah salah satu penulisAmerika Serikat terkenal di abad ke-20 yang memenangkan Penghargaan Nobel Sastra pada 1962. Karya-karyanya yang menjadikannya terkenal adalah Tortilla Flat (1935; difilmkan 1942), Of Mice And Men (1937; difilmkan 1939 dan 1999), The Red Pony (1937; difilmkan 1949). The Grapes of Wrath (1939, memenangkan Hadiah Pulitzer; difilmkan 1940), The Moon Is Down (1942; difilmkan 1943), Cannery Row (1945; difilman 1982), The Pearl (1947; difilmkan 1948), The Wayward Bus (1947, difilmkan1957), serta East of Eden (1952; difilmkan 1955). Pada tahun 1962, Steinbeck memenangkan Hadiah Nobel atas karya-karya sastranya yang “realistis dan imajinatif, menggabungkan humor simpatik dan persepsi sosial yang tajam.”
Novel ini bercerita tentang dua keluarga yang baru saja pindah ke Salinas Valley, California, AS. Kedua keluarga ini memiliki karakter yang berbeda. Keluarga Hamilton berasal dari Irlandia Utara. Keluarga Hamilton bisa dikatakan sebagai one big happy family (keluarga besar yang harmonis), nyaris tidak ada konflik berarti dalam keluarga ini. Dikepalai oleh Samuel Hamilton yang ramah, hangat, penolong, bersahaja dan relijius, keluarga ini tumbuh dalam kasih sayang yang cukup. Samuel adalah seorang pandai besi yang disukai dan disegani di lingkungannya.
Sedangkan keluarga Trask bisa dikatakan keluarga broken home (berantakan) walau hanya beranakkan dua (Adam dan Charles). Cyrus Trask adalah seorang pembual besar yang seringkali bercerita kepada semua orang seolah-olah dia kenal dekat dengan semua orang penting, termasuk Presiden AS, Abraham Lincoln. Dia meninggal dengan mewarisi uang $100.000 kepada kedua anaknya yang bingung darimana ayahnya bisa mendapatkan uang sebanyak itu dan menduga ayah mereka penipu ulung.
Keadaan keluarga Trask semakin parah dengan kehadiran seorang wanita cantik berwajah innocent namun berhati iblis bernama Cathy Ames. Cathy adalah seorang pelacur kelas kakap yang nyaris mati dibunuh oleh Edwards, seorang pengusaha rumah bordil yang menjadikan Cathy simpanannya. Cathy ditemukan di belakang rumah Trask bersaudara dalam keadaan sekarat dan kemudian dirawat oleh kedua bersaudara itu. Charles dapat menangkap gelagat tidak baik dari Cathy, namun Adam terlanjur jatuh hati pada wanita itu hingga menikahinya. Pernikahan mereka dikaruniai dua anak lelaki kembar yang diberi nama Aron dan Caleb, pelesetan dari Cain dan Abel (Kain dan Habel dalam Book of Genesis atau Kitab Kejadian, dalam Islam Qabil dan Habil), dua anak lelaki Nabi Adam dengan kisah pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia. Ironisnya kedua anak lelaki ini sesungguhnya anak Cathy dan Charles, bukan Cathy dan Adam. Karena merasa hidupnya terikat oleh Adam, baru dua minggu setelah melahirkan, Cathy berniat pergi namun ditahan oleh Adam. Cathy menembak Adam dan meninggalkannya dan kedua anaknya yang masih bayi. Beruntung ada Lee, pembantu keluarga Trask yang kemudian merawat kedua anak lelaki ini hingga tumbuh remaja.
Beranjak remaja, Cal tumbuh lebih liar daripada Aron. Aron yang relijius sangat disayangi ayahnya, sedangkan Cal sering disalahkan oleh ayahnya. Hal ini membuat Cal iri. Cal juga tidak percaya bahwa ibunya sudah meninggal dan mencarinya hingga akhirnya menemukannya. Adam pun akhirnya diberitahu oleh Samuel Hamilton tentang keberadaan Cathy. Dia mencarinya, menemukannya, dan mengetahui dari Cathy sendiri bahwa Aron dan Cal bukan anaknya, melainkan anak Charles. Namun hal itu justru membuat Adam merasa jauh lebih baik dan menyadari bahwa dia tidak mencintai Cathy lagi. 
Karena iri pada Aron, Cal sengaja membawa Aron ke ibunya yang menjadi seorang pengusaha rumah bordil. Hal ini membuat Aron terluka sehingga dia memutuskan untuk pergi jauh untuk melupakan semua kejadian tidak menyenangkan dalam hidupnya. Dia bergabung sebagai tentara tanpa sepengetahuan ayahnya dan tewas di medan perang. Mengetahui hal ini, Adam kembali depresi hingga wafat. Sementara itu, lelah dengan paranoidnya terhadap dunia, Cathy mengakhiri hidupnya di sebuah ruang pribadi dalam rumah bordil miliknya. 
Sebagai sebuah cerita yang terinspirasi dari kisah nyata, novel ini memang agak ‘berat sebelah’ dan menampakkan sisi hitam dan putih manusia. Keluarga Hamilton – yang notabene kakek Steinbeck sendiri – digambarkan sebagai keluarga baik dan kurang tereksplorasi. Sementara itu, keluarga Trask sangat kacau balau dan cenderung tragis, yang sepertinya mewarisi keburukan turun-temurun. Penggambaran Cathy Ames juga terlalu iblis, sepertinya dia tidak mempunyai sejumput sisi baik pun pada dirinya. Kurang jelas juga mengapa dia mempunyai sifat-sifat iblis yang begitu besar sejak masih anak-anak. Sebagai seorang anak kecil, dia terlalu cerdik untuk bersandiwara di depan orang tuanya dengan berpura-pura menyesal karena telah bolos sekolah, dan terlalu sadis untuk membakar kedua orang tuanya sendiri dan menghilangkan jejaknya sehingga juga dikira ikut tewas. 
Namun secara umum, deskripsi dan narasi Steinbeck tak dapat dipungkiri sangat baik. Penceritaan dari sudut pandang narator dengan penceritaan tokoh yang berpindah-pindah tidak membuat ceritanya melompat-lompat. Kedua keluarga yang sangat berbeda karakter ini hanya dihubungkan oleh seorang Samuel Hamilton yang bijaksana, namun peran Samuel tidak bisa dibilang kecil. Namun, peran ini membuat Samuel menjadi seperti malaikat dalam cerita ini. Jika dibandingkan dengan “Of Mice and Men”, East of Eden kurang greget dan akhir cerita pun cenderung biasa saja, tidak seperti “Of Mice and Men” yang memang unpredictable dan mendebarkan. Tapi Steinbeck tetaplah Steinbeck, toh Nobel-nya tidak bisa ditarik juga...

Sabtu, 14 September 2013

Cerpen Terjemahan: "Jembalang dan Penggali Kubur" (Charles Dickens) - (Dimuat di Riau Pos, 2012)



Penggali kubur itu bernama Gabriel Grub, bekerja di halaman gereja. Dia kesepian dan selalu lapar. Temannya hanya satu orang, dirinya sendiri. Dia memandang setiap orang dengan pandangan horor yang, tentu saja, menakutkan siapapun yang melihatnya dan membuat mereka mengurungkan niat untuk mendekatinya.
Di suatu malam Natal, sesaat sebelum gelap, Gabriel meletakkan sekop di pundaknya, menyalakan lampu, dan bersiap-siap menuju halaman gereja. Dia harus selesai menggali kubur sebelum besok pagi, dan dia merasa tidak senang. Pikirnya jika dia bisa menyelesaikannya, dia akan merasa lebih baik. Saat berjalan diatas jalanan bersalju, terdengar suara suka ria dari jendela-jendela yang dilewatinya. Semua orang menikmati malam Natal dengan penuh suka cita. Dia bisa melihat asap menguap dari teko-teko mereka, dan mencium aroma masakan lezat. Gabriel menjadi merasa lebih marah. Dan saat anak-anak berlarian keluar dari rumah dan bergembira di halaman rumah mereka, dia memandang anak-anak itu dengan pandangan horor. Genggamannya pada gagang sekopnya menjadi lebih kuat. Dia memikirkan campak, demam jengkering, batuk rejan, dan penyakit-penyakit berbahaya lainnya yang bisa menyerang anak-anak itu.
Pikiran keji itu membuatnya merasa lebih baik, dan dia melanjutkan perjalanan dengan hati gembira. Dia sudah mencapai jalan setapak. Dia suka melewati jalan ini karena sepi. Tidak ada orang yang berani melewatinya kecuali siang hari. Karenanya, dia kaget dan marah saat mendengar suara orang menyanyikan lagu Natal dengan nyaring. Suara itu semakin jelas. Ternyata seorang anak laki-laki. Anak itu sedang berlari menuju acara malam Natal. Dia bernyanyi untuk mempersiapkan diri sekaligus menghilangkan ketakutannya di jalan sepi itu. Gabriel menunggu anak itu tiba di dekatnya, kemudian mendorongnya ke sudut, memukul kepalanya dengan lampu lima atau enam kali untuk mengajarkannya lebih tenang. Dan saat anak laki-laki itu berlari menjauh sambil memegangi kepalanya, bernyanyi dengan suara berbeda, Gabriel tertawa senang, memasuki halaman gereja, dan mengunci pagar di belakangnya. Dia melepas mantelnya, meletakkan lampunya, dan menyelesaikan galiannya. Selama sekitar satu jam, dia bekerja dengan gembira, walau kadang tanahnya keras, susah digali dan diangkat. Bulan pun tidak cukup terang untuk menyinari malam itu. Di saat lain seperti ini, mungkin dia akan marah dan sengsara, namun tidak malam mini, karena dia telah menghentikan anak itu bernyanyi.
“Ho, ho...” tawa Gabriel saat duduk di tempat kesukaannya, diatas sebuah nisan datar.
“Ho, ho...” ulang sebuah suara, tepat di belakangnya.
Gabriel berhenti tertawa, dan melihat sekeliling. Halaman gereja masih sepi dan sunyi di malam bulan pucat. Salju jatuh satu-satu diatas tanah. Tak satu suarapun memecahkan keheningan di tempat sepi itu. Sepertinya itu adalah suara kebekuan.
“Hanya gema,” ujar Gabriel.
“Bukan gema,” sahut sebuah suara.
            Gabriel melompat, dan berdiri kaku membelalak, saat memandang sesuatu yang sangat, amat sangat menakutkannya. Dekat sekali dengannya, duduk sebuah makhluk sangat tak biasa diatas sebuah nisan. Kakinya, yang sangat panjang, disilangkannya. Tangan kurusnya gundul, dan bertumpu di lututnya. Tubuhnya yang bulat gemuk dibalut jubah pendek dengan desain warna yang aneh. Kerah jubah itu dipotong-potong tak beraturan dan tegak-tegak disekeliling lehernya. Sepatunya panjang dan keriting di ujungnya. Kepalanya ditutup topi lebar yang dalam dengan ujung meruncing, dihiasi dengan bulu besar di ujungnya. Topinya tertutup salju putih. Jembalang itu duduk diatas nisan dengan tenang dan nyaman, seolah-olah sudah ada disana selama dua atau tiga ratus tahun lamanya. Dia duduk diam, tersenyum lebar ke Gabriel dengan senyum yang hanya dapat dilakukan oleh jembalang.
“Itu bukan gema,” katanya lagi.
Gabriel Grub begitu ketakutan hingga tak dapat berkata apa-apa.
“Apa yang kau lakukan disini di malam Natal?” tanya jembalang dengan kejam.
“Aku datang untuk menggali kubur, Tuan.”
“Apa yang dicari orang di kuburan dan halaman gereja di malam seperti ini?” teriak jembalang.
“Gabriel Grub! Gabriel Grub!” teriakan sebuah paduan suara yang seolah memenuhi seluruh halaman gereja. Gabriel memandang sekeliling dengan penuh ketakutan, tapi dia tidak melihat apa-apa.
Siapa yang paling adil dan berharga?” teriak jembalang itu lagi.
“Gabriel Grub! Gabriel Grub!” sahut paduan suara liar yang tak terlihat itu.
Jembalang tersenyum lebih lebar seolah pipinya tak bertepi, dan bertanya, “Nah, bagaimana menurut pendapatmu?”
            Si penggali kubur berusaha keras untuk mampu menjawab. “Sa..sang..sangat mengherankan, Tuan,” jawabnya, hampir mati ketakutan, “tapi aku akan kembali dan menyelesaikan pekerjaanku, jika kau tidak keberatan.”
“Oh, kuburan, ya? Siapa yang menggali kuburan pada malam Natal di saat orang lain bersuka ria menikmatinya?”
Lagi, suara misterius yang ramai itu berteriak, “Gabriel Grub! Gabriel Grub!”
“Maaf, tapi sepertinya teman-temanku menginginkanmu. Ya.., mereka menginginkanmu, Gabriel. Mereka tahu orang yang berwajah horor dan dengan beringas berjalan di malam hari, memandang anak-anak dengan mata iblis, memukul anak kecil karena iri. Iri karena anak itu bisa bergembira, sementara dia tidak. Mereka tahu dia, mereka tahu dia...”
            Jembalang itu tertawa keras, keras sekali, dan melempar kakinya ke udara dan berdiri dengan kepalanya, atau lebih tepatnya dengan ujung topinya. Dia berguling-guling, hingga dekat ke kaki penggali kubur, dan duduk disana bersilang kaki.
“Aku.., aku.., harus meninggalkanmu sekarang, Tuan...” ujar penggali kubur yang malang itu, berusaha untuk bergerak.
“Tinggalkan kami?” teriak jembalang. “Gabriel Grub meninggalkan kami? Ho, ho, ho...”
            Seketika ratusan jembalang berseliweran di sekitar kuburan, berlompatan, berguling-guling seperti bola. Gabriel berputar-putar memandangi mereka dengan ketakutan. Tiba-tiba raja jembalang melompat diatasnya, menarik kerah bajunya, dan menenggelamkan Gabriel bersamanya ke dalam tanah. Seketika Gabriel tiba di sebuah gua yang sangat besar. Ratusan jembalang mengelilinginya, jelek dan mengerikan. Jembalang yang ditemuinya ternyata raja para jembalang. Dia duduk di singgasananya.
“Malam yang dingin, sangat dingin... Mari kita minum untuk menghangatkan badan,” ujar raja jembalang. Setengah lusin jembalang membawakannya minuman api.
“Ah.., ini memang hangat sekali.. Berikan juga untuk Tuan Grub!”
            Sia-sia Gabriel menolak, karena seorang jembalang meminumkan air api itu dengan paksa ke dalam mulutnya. Seluruh jembalang terbahak-bahak saat Gabriel terbatuk, tercekik, dan menghapus air matanya yang seketika mengalir menahan gelegak air api di tenggorokannya. “Dan sekarang, tunjukkan padanya beberapa kesedihan dan kemarahan dari koleksi kita.”
            Di ujung gua, awan berkelebat. Lalu muncul sebuah adegan. Di sebuah rumah yang indah, sekelompok anak kecil sedang bermain di dekat kursi ibunya. Tak lama kemudian datanglah ayahnya. Mereka mengerumuni ayahnya dan bercanda-canda. Sungguh bahagia. Namun adegan berpindah ke sebuah kamar di bagian belakang rumah. Anak yang paling kecil dan paling cantik terbaring sekarat disana. Saudara-saudaranya mengelilinginya, menggenggam tangannya yang dingin dan kaku. Dia sudah meninggal. Gabriel terhanyut melihat semua itu.
“Bagaimana pendapatmu?” tanya raja jembalang. “Kau.., manusia kejam..”
Gabriel tak dapat berkata, dia tertunduk malu. Raja jembalang geram melihatnya. Ditendangnya Gabriel, para jembalang anak buahnya pun juga menendangi punggungnya, memberinya pelajaran keras. Semakin banyak adegan yang diperlihatkan pada Gabriel. Ada pria yang bekerja dengan penuh kegembiraan, keindahan alam yang bisa menjadi kebahagiaan tak berujung. Dia melihat bahwa lelaki sepertinya, yang merungut memandangi kebahagiaan orang lain, sesungguhnya adalah makhluk paling jahat di dunia. Seluruh adegan itu merasuk ke dalam pikirannya hingga dia tertidur.
Paginya saat terbangun, dia mendapati dirinya tertidur diatas nisan datar. Mantel, sekop, dan lampunya berserakan di tanah sekitarnya, tertutup salju yang baru turun. Dia tergeletak tak jauh dari tempat jembalang duduk saat pertama kali dia melihatnya. Awalnya dia bertanya apakah kejadian tadi malam itu nyata. Namun saat merasakan sakit di punggungnya ketika hendak berdiri, dia menyadari bahwa kejadian itu nyata. Dia mencoba berdiri semampunya, membersihkan salju di mantelnya, mengenakan mantel itu, dan berjalan menuju kota sebagai Gabriel Grub yang baru, yang tidak lagi merungut dan bertampang horor, yang tidak lagi menjahati anak-anak, yang mulai bisa tersenyum.


(Diambil dari buku “The Gifts and Other Stories”, Oxford University Press, 1974)

***

Tentang penulis:
Charles John Huffam Dickens (7 Februari 1812 - London, 9 Juni 1870) adalah seorang penulis roman atau novel ternama dari Inggris dari masa pemerintahan Ratu Victoria dari Britania Raya. Karya-karyanya yang lain diantaranya Oliver Twist (18371839), Nicholas Nickleby (18381839), A Christmas Carol (1843), David Copperfield (18491850), Great Expectations (18601861), dan banyak lagi.

Sabtu, 18 Mei 2013

Jangan Asal Menikah…


Banyak muslimin dan muslimat yang menyatakan kesiapannya menikah dengan alasan menikah itu ibadah, karenanya harus disegerakan. Pandangan itu tidaklah salah, namun agaknya mereka lupa bahwa ada banyak hal yang harus dipersiapkan terlebih dulu sebelum menikah. Adalah benar bahwa kesiapan materi itu perlu, namun kesiapan mental adalah hal yang jauh lebih penting untuk dipertimbangkan. Lalu apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum menikah? Apa sesungguhnya hak dan kewajiban suami dan istri? Benarkah suami mempunyai posisi ‘diatas’ istri dan istri harus tunduk patuh sepenuhnya pada suami? Apa itu sakinah, mawaddah dan rahmah? Bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga yang baik menurut Islam?
Perkawinan / keberpasangan adalah “sunatullah”, dalam arti “ketetapan Tuhan yang diberlakukan terhadap semua makhluk”. Sedangkan nikah itu sendiri secara harfiah berarti penyatuan. Namun, karena perkawinan adalah sunatullah, bukan berarti kita lantas dengan mudah dapat menjalaninya dengan sendirinya dan otomatis. Membangun rumah tangga tidak seperti membangun rumah, menyusun bata diatas bata. Hal ini dikarenakan perkawinan berhubungan dengan interaksi antar manusia. Karenanya diperlukan kecakapan berkomunikasi dan pengertian atas perbedaan yang dimiliki, dan itu memang tidak mudah apabila tidak ada niat dan usaha untuk mewujudkannya.
Pernikahan itu membutuhkan cinta. Jadi kuranglah tepat jika dikatakan bahwa cinta itu dapat tumbuh dengan sendirinya setelah menikah. Karena jika cinta yang dipaksakan tumbuh setelah pernikahan memiliki kadar ketulusan yang kurang, sehingga kehidupan rumah tangga akan terasa kurang menggairahkan. Namun, jika cinta sudah ada sejak awal, masing-masing pihak merasa tidak sampai hati menyakiti pasangannya, karena besar dan tulusnya rasa cinta yang dimiliki.
Namun, ungkapan “cinta saja tidak cukup” agaknya juga perlu direnungkan, mengingat sifat dasar manusia yang hatinya dapat berubah, begitu pula rasa cinta pun bisa sewaktu-waktu hilang. Karenya, dalam perkawinan, ada unsur-unsur lain yang perlu dipenuhi untuk mempererat perkawinan itu, yaitu mawaddah, rahmah, dan amanah. Mawaddah sesungguhnya adalah cinta kasih itu sendiri. Namun, mawaddah adalah cinta plus, karena mawaddah adalah cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan – serupa dengan tampaknya kepatuhan akibat rasa kagum dan hormat pada seseorang. Dan untuk mencapai mawaddah, diperlukan beberapa tahap yang tidak terjadi sekaligus. Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong usaha pemberdayaan. Rahmah inilah yang membendung atau mencegah keinginan yang berpotensi menyakitkan pasangan. Seorang suami yang pastinya mendambakan keturunan, sementara istrinya mandul, mungkin ia terdorong untuk berpoligami. Namun jika ia menyadari bahwa hal tersebut akan menyakitkan istrinya, maka rahmah yang menghiasi dirinya terhadap istrinya akan membendung keinginan tersebut. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai  dengan rasa aman dari pemberinya karena adanya kepercayaan kepada yang diberi amanah. Amanah dipelihara dengan dengan mengingat Allah, yaitu kebesaran, kekuasaan, dan kemurahan-Nya. Sebagian besar perkawinan yang gagal adalah karena hilangnya amanah, iman dan rasa aman itu.
            Dengan memahami esensi perkawinan dalam Islam, maka fenomena kaum muslimin jaman sekarang yang tampaknya bisa dengan mudah kawin cerai, dapat dikurangi. Karena sesungguhnya Islam tidaklah menggampangkan perceraian. Dan jika itu mayoritas terjadi pada kaum muslimin, maka yang harus dibenahi adalah pemahaman individu tentang perkawinan dalam Islam itu sendiri. Fenomena di sekeliling kita banyak menunjukkan bahwa kebanyakan umat muslim saat ini sudah sedikit menyimpangkan esensi perkawinan itu, dengan mengajukan syarat-syarat yang memberatkan, dan berusaha mengadakan pesta semegah-megahnya, untuk kemudian mengurus surat cerai tahun depannya. Sungguh fenomena yang sangat disayangkan. Karenanya tidaklah sesuatu yang bersifat ‘sok suci’ jika kita mencoba memahami perkawinan lebih ke tujuannya yang ditetapkan dalam ajaran Islam, dan bukan hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan, “Kapan kawin?”. Betapa sesungguhnya Allah memang Maha Pengasih atas nikmat kasih sayang yang ditanamkannya pada hati manusia.

Referensi
M. Quraish Shihab, 2007, Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-anakku, Jakarta: Lentera Hati