Jumat, 10 September 2010

Kebahagiaanmu Bukan Kebahagiaanku


Waktu itu aku dalam perjalanan pulang dari luar kota bersama seorang sabahabatku dan suaminya. Entah apa yang mengawali cerita kami, tahu-tahu Vera, nama sahabatku itu, bercerita tentang seorang rekannya sesama pengajar yang kebetulan juga teman satu sekolahku di SLTP dulu, Irma namanya.
            Dengan semangat dia bercerita, “Irma itu emang orang paling beruntung lah. Bapaknya pegawai negeri, ibunya pegawai negeri, dia pegawai negeri, dapat calon pun pegawai negeri. Wah..., emang bener-bener udah tenang hidupnya... Apalagi yang dia cari kan...”
            Aku manggut-manggut saja mendengar ceritanya, karena aku tahu Vera kalau sudah semangat Y2K begitu (baca: wai tu ke, year two kilo maksudnya, alias dua ribu), dia tidak bisa diganggu gugat. Aku mau membantah pun juga percuma. Padahal dadaku bergemuruh mendengar dia mengklaim kebahagiaan orang dari apa yang menurutnya sudah jaminan kebahagiaan orang itu, padahal siapa yang bisa menjamin hal itu seratus persen.
Ada sebuah fenomena yang aku perhatikan pada masyarakat kita umumnya. Mereka sepertinya sangat haus akan menjadi pegawai negeri sipil atau PNS. Setiap kali ada penerimaan lowongan PNS, ribuan orang berbondong-bondong mengikutinya, padahal mereka tahu kalau jumlah yang dibutuhkan sangatlah tidak seimbang dengan jumlah pesaingnya, tapi itu bukan masalah. Bagi mereka tidak apa, yang penting mencoba. Mencoba tes CPNS lebih baik daripada mencoba membuka usaha sendiri.
            Aku termasuk orang yang tidak pernah punya keinginan untuk menjadi PNS. Pernah suatu kali aku mencoba mendaftar menjadi CPNS waktu ada penerimaan besar-besaran di kotaku. Aku ikut, bukan karena aku memang ingin ikut, tapi karena ingin mencoba, seperti apa sih sebenarnya yang dikejar-kejar orang selama ini. Aku juga mencoba karena sudah berkali-kali teman-temanku ikut dan sekalipun aku belum pernah ikut. Makanya aku hanya ingin menjawab pertanyaan mereka kalau suatu kali nanti mereka bertanya apakah aku sudah pernah mencoba atau belum. Dan hasilnya... Aku kapok dan berjanji seumur hidup takkan pernah mencobanya lagi...
            Kembali ke “kebahagiaan” versi Vera temanku. Dia bukanlah orang pertama yang aku dengar punya pendapat seperti itu. Dulu, waktu aku masih bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah institusi pendidikan berbasis agama milik pemerintah, aku juga sering mendengar orang-orang di lingkungan kerjaku mengatakan hal serupa. Mereka rela terkatung-katung menjadi honorer bertahun-tahun di institusi itu dengan gaji hanya sepas-pas UMR, tanpa tunjangan apa-apa, bahkan uang makan dan transportasi pun tak jelas, demi kesempatan diangkat menjadi PNS yang entah kapan akan terwujud. Sungguh luar biasa mental ‘sabar’ mereka...
            Dan memang mereka itu mempunyai prinsip seperti itu. Lebih baik menunggu bertahun-tahun, dengan sedikit jilat sana cari muka sini agar pengangkatan lebih cepat. Dan yang pasti, kalau kita sudah menjadi “ininya si anu”, alamat pengangkatan akan lebih cepat. Sebuah prinsip kekeluargaan yang patut ‘diacungi jempol’…
            Jadi, bagi mereka yang punya prinsip seperti ini, kebahagiaan atau bahkan sukses versi mereka terletak pada faktor eksternal, yaitu pekerjaan yang mereka miliki, dan bukannya faktor internal yang berasal dari diri sendiri. Padahal seharusnya kebahagiaan berasal dari dalam diri kita sendiri. Karena jika kita menggantungkan kebahagiaan kepada faktor diluar diri kita seperti pekerjaan, uang, kekayaan, penilaian bagus dari lingkungan, dan sebagainya, maka jika kita tidak mendapatkan itu, kita akan menjadi orang yang kufur nikmat (tidak mensyukuri). Semoga Tuhan menjauhkan kita dari sifat itu...
            Tidak ada yang salah dengan memiliki keinginan mempunyai pekerjaan tertentu. Tapi adalah lebih bijak jika kita tidak menggantungkan kebahagiaan atau sukses kepada sesuatu, agar kita tidak menjadi orang yang tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan sampai detik ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang pandai bersyukur...

Kebahagiaan bukanlah tergantung berapa banyak yang anda miliki, melainkan berapa banyak yang anda nikmati dari yang anda miliki (Spurgeon).