Waktu itu aku dalam perjalanan pulang
dari luar kota bersama seorang sabahabatku dan suaminya. Entah apa yang
mengawali cerita kami, tahu-tahu Vera, nama sahabatku itu, bercerita tentang
seorang rekannya sesama pengajar yang kebetulan juga teman satu sekolahku di
SLTP dulu, Irma namanya.
Dengan
semangat dia bercerita, “Irma itu emang orang paling beruntung lah. Bapaknya
pegawai negeri, ibunya pegawai negeri, dia pegawai negeri, dapat calon pun
pegawai negeri. Wah..., emang bener-bener udah tenang hidupnya... Apalagi yang
dia cari kan...”
Aku
manggut-manggut saja mendengar ceritanya, karena aku tahu Vera kalau sudah
semangat Y2K begitu (baca: wai tu ke, year
two kilo maksudnya, alias dua ribu), dia tidak bisa diganggu gugat. Aku mau
membantah pun juga percuma. Padahal dadaku bergemuruh mendengar dia mengklaim
kebahagiaan orang dari apa yang menurutnya sudah jaminan kebahagiaan orang itu,
padahal siapa yang bisa menjamin hal itu seratus persen.
Ada sebuah fenomena yang
aku perhatikan pada masyarakat kita umumnya. Mereka sepertinya sangat haus akan
menjadi pegawai negeri sipil atau PNS. Setiap kali ada penerimaan lowongan PNS,
ribuan orang berbondong-bondong mengikutinya, padahal mereka tahu kalau jumlah
yang dibutuhkan sangatlah tidak seimbang dengan jumlah pesaingnya, tapi itu
bukan masalah. Bagi mereka tidak apa, yang penting mencoba. Mencoba tes CPNS
lebih baik daripada mencoba membuka usaha sendiri.
Aku
termasuk orang yang tidak pernah punya keinginan untuk menjadi PNS. Pernah
suatu kali aku mencoba mendaftar menjadi CPNS waktu ada penerimaan
besar-besaran di kotaku. Aku ikut, bukan karena aku memang ingin ikut, tapi
karena ingin mencoba, seperti apa sih sebenarnya yang dikejar-kejar orang
selama ini. Aku juga mencoba karena sudah berkali-kali teman-temanku ikut dan
sekalipun aku belum pernah ikut. Makanya aku hanya ingin menjawab pertanyaan
mereka kalau suatu kali nanti mereka bertanya apakah aku sudah pernah mencoba
atau belum. Dan hasilnya... Aku kapok dan berjanji seumur hidup takkan pernah
mencobanya lagi...
Kembali
ke “kebahagiaan” versi Vera temanku. Dia bukanlah orang pertama yang aku dengar
punya pendapat seperti itu. Dulu, waktu aku masih bekerja sebagai tenaga
honorer di sebuah institusi pendidikan berbasis agama milik pemerintah, aku
juga sering mendengar orang-orang di lingkungan kerjaku mengatakan hal serupa. Mereka
rela terkatung-katung menjadi honorer bertahun-tahun di institusi itu dengan
gaji hanya sepas-pas UMR, tanpa tunjangan apa-apa, bahkan uang makan dan
transportasi pun tak jelas, demi kesempatan diangkat menjadi PNS yang entah
kapan akan terwujud. Sungguh luar biasa mental ‘sabar’ mereka...
Dan
memang mereka itu mempunyai prinsip seperti itu. Lebih baik menunggu
bertahun-tahun, dengan sedikit jilat sana cari muka sini agar pengangkatan
lebih cepat. Dan yang pasti, kalau kita sudah menjadi “ininya si anu”, alamat
pengangkatan akan lebih cepat. Sebuah prinsip kekeluargaan yang patut ‘diacungi
jempol’…
Jadi,
bagi mereka yang punya prinsip seperti ini, kebahagiaan atau bahkan sukses
versi mereka terletak pada faktor eksternal, yaitu pekerjaan yang mereka miliki,
dan bukannya faktor internal yang berasal dari diri sendiri. Padahal seharusnya
kebahagiaan berasal dari dalam diri kita sendiri. Karena jika kita
menggantungkan kebahagiaan kepada faktor diluar diri kita seperti pekerjaan,
uang, kekayaan, penilaian bagus dari lingkungan, dan sebagainya, maka jika kita
tidak mendapatkan itu, kita akan menjadi orang yang kufur nikmat (tidak mensyukuri). Semoga Tuhan menjauhkan kita dari sifat
itu...
Tidak
ada yang salah dengan memiliki keinginan mempunyai pekerjaan tertentu. Tapi
adalah lebih bijak jika kita tidak menggantungkan kebahagiaan atau sukses
kepada sesuatu, agar kita tidak menjadi orang yang tidak mensyukuri nikmat yang
telah diberikan Tuhan sampai detik ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang
pandai bersyukur...
Kebahagiaan bukanlah tergantung berapa
banyak yang anda miliki, melainkan berapa banyak yang anda nikmati dari yang
anda miliki
(Spurgeon).