Sabtu, 14 September 2013

Cerpen Terjemahan: "Jembalang dan Penggali Kubur" (Charles Dickens) - (Dimuat di Riau Pos, 2012)



Penggali kubur itu bernama Gabriel Grub, bekerja di halaman gereja. Dia kesepian dan selalu lapar. Temannya hanya satu orang, dirinya sendiri. Dia memandang setiap orang dengan pandangan horor yang, tentu saja, menakutkan siapapun yang melihatnya dan membuat mereka mengurungkan niat untuk mendekatinya.
Di suatu malam Natal, sesaat sebelum gelap, Gabriel meletakkan sekop di pundaknya, menyalakan lampu, dan bersiap-siap menuju halaman gereja. Dia harus selesai menggali kubur sebelum besok pagi, dan dia merasa tidak senang. Pikirnya jika dia bisa menyelesaikannya, dia akan merasa lebih baik. Saat berjalan diatas jalanan bersalju, terdengar suara suka ria dari jendela-jendela yang dilewatinya. Semua orang menikmati malam Natal dengan penuh suka cita. Dia bisa melihat asap menguap dari teko-teko mereka, dan mencium aroma masakan lezat. Gabriel menjadi merasa lebih marah. Dan saat anak-anak berlarian keluar dari rumah dan bergembira di halaman rumah mereka, dia memandang anak-anak itu dengan pandangan horor. Genggamannya pada gagang sekopnya menjadi lebih kuat. Dia memikirkan campak, demam jengkering, batuk rejan, dan penyakit-penyakit berbahaya lainnya yang bisa menyerang anak-anak itu.
Pikiran keji itu membuatnya merasa lebih baik, dan dia melanjutkan perjalanan dengan hati gembira. Dia sudah mencapai jalan setapak. Dia suka melewati jalan ini karena sepi. Tidak ada orang yang berani melewatinya kecuali siang hari. Karenanya, dia kaget dan marah saat mendengar suara orang menyanyikan lagu Natal dengan nyaring. Suara itu semakin jelas. Ternyata seorang anak laki-laki. Anak itu sedang berlari menuju acara malam Natal. Dia bernyanyi untuk mempersiapkan diri sekaligus menghilangkan ketakutannya di jalan sepi itu. Gabriel menunggu anak itu tiba di dekatnya, kemudian mendorongnya ke sudut, memukul kepalanya dengan lampu lima atau enam kali untuk mengajarkannya lebih tenang. Dan saat anak laki-laki itu berlari menjauh sambil memegangi kepalanya, bernyanyi dengan suara berbeda, Gabriel tertawa senang, memasuki halaman gereja, dan mengunci pagar di belakangnya. Dia melepas mantelnya, meletakkan lampunya, dan menyelesaikan galiannya. Selama sekitar satu jam, dia bekerja dengan gembira, walau kadang tanahnya keras, susah digali dan diangkat. Bulan pun tidak cukup terang untuk menyinari malam itu. Di saat lain seperti ini, mungkin dia akan marah dan sengsara, namun tidak malam mini, karena dia telah menghentikan anak itu bernyanyi.
“Ho, ho...” tawa Gabriel saat duduk di tempat kesukaannya, diatas sebuah nisan datar.
“Ho, ho...” ulang sebuah suara, tepat di belakangnya.
Gabriel berhenti tertawa, dan melihat sekeliling. Halaman gereja masih sepi dan sunyi di malam bulan pucat. Salju jatuh satu-satu diatas tanah. Tak satu suarapun memecahkan keheningan di tempat sepi itu. Sepertinya itu adalah suara kebekuan.
“Hanya gema,” ujar Gabriel.
“Bukan gema,” sahut sebuah suara.
            Gabriel melompat, dan berdiri kaku membelalak, saat memandang sesuatu yang sangat, amat sangat menakutkannya. Dekat sekali dengannya, duduk sebuah makhluk sangat tak biasa diatas sebuah nisan. Kakinya, yang sangat panjang, disilangkannya. Tangan kurusnya gundul, dan bertumpu di lututnya. Tubuhnya yang bulat gemuk dibalut jubah pendek dengan desain warna yang aneh. Kerah jubah itu dipotong-potong tak beraturan dan tegak-tegak disekeliling lehernya. Sepatunya panjang dan keriting di ujungnya. Kepalanya ditutup topi lebar yang dalam dengan ujung meruncing, dihiasi dengan bulu besar di ujungnya. Topinya tertutup salju putih. Jembalang itu duduk diatas nisan dengan tenang dan nyaman, seolah-olah sudah ada disana selama dua atau tiga ratus tahun lamanya. Dia duduk diam, tersenyum lebar ke Gabriel dengan senyum yang hanya dapat dilakukan oleh jembalang.
“Itu bukan gema,” katanya lagi.
Gabriel Grub begitu ketakutan hingga tak dapat berkata apa-apa.
“Apa yang kau lakukan disini di malam Natal?” tanya jembalang dengan kejam.
“Aku datang untuk menggali kubur, Tuan.”
“Apa yang dicari orang di kuburan dan halaman gereja di malam seperti ini?” teriak jembalang.
“Gabriel Grub! Gabriel Grub!” teriakan sebuah paduan suara yang seolah memenuhi seluruh halaman gereja. Gabriel memandang sekeliling dengan penuh ketakutan, tapi dia tidak melihat apa-apa.
Siapa yang paling adil dan berharga?” teriak jembalang itu lagi.
“Gabriel Grub! Gabriel Grub!” sahut paduan suara liar yang tak terlihat itu.
Jembalang tersenyum lebih lebar seolah pipinya tak bertepi, dan bertanya, “Nah, bagaimana menurut pendapatmu?”
            Si penggali kubur berusaha keras untuk mampu menjawab. “Sa..sang..sangat mengherankan, Tuan,” jawabnya, hampir mati ketakutan, “tapi aku akan kembali dan menyelesaikan pekerjaanku, jika kau tidak keberatan.”
“Oh, kuburan, ya? Siapa yang menggali kuburan pada malam Natal di saat orang lain bersuka ria menikmatinya?”
Lagi, suara misterius yang ramai itu berteriak, “Gabriel Grub! Gabriel Grub!”
“Maaf, tapi sepertinya teman-temanku menginginkanmu. Ya.., mereka menginginkanmu, Gabriel. Mereka tahu orang yang berwajah horor dan dengan beringas berjalan di malam hari, memandang anak-anak dengan mata iblis, memukul anak kecil karena iri. Iri karena anak itu bisa bergembira, sementara dia tidak. Mereka tahu dia, mereka tahu dia...”
            Jembalang itu tertawa keras, keras sekali, dan melempar kakinya ke udara dan berdiri dengan kepalanya, atau lebih tepatnya dengan ujung topinya. Dia berguling-guling, hingga dekat ke kaki penggali kubur, dan duduk disana bersilang kaki.
“Aku.., aku.., harus meninggalkanmu sekarang, Tuan...” ujar penggali kubur yang malang itu, berusaha untuk bergerak.
“Tinggalkan kami?” teriak jembalang. “Gabriel Grub meninggalkan kami? Ho, ho, ho...”
            Seketika ratusan jembalang berseliweran di sekitar kuburan, berlompatan, berguling-guling seperti bola. Gabriel berputar-putar memandangi mereka dengan ketakutan. Tiba-tiba raja jembalang melompat diatasnya, menarik kerah bajunya, dan menenggelamkan Gabriel bersamanya ke dalam tanah. Seketika Gabriel tiba di sebuah gua yang sangat besar. Ratusan jembalang mengelilinginya, jelek dan mengerikan. Jembalang yang ditemuinya ternyata raja para jembalang. Dia duduk di singgasananya.
“Malam yang dingin, sangat dingin... Mari kita minum untuk menghangatkan badan,” ujar raja jembalang. Setengah lusin jembalang membawakannya minuman api.
“Ah.., ini memang hangat sekali.. Berikan juga untuk Tuan Grub!”
            Sia-sia Gabriel menolak, karena seorang jembalang meminumkan air api itu dengan paksa ke dalam mulutnya. Seluruh jembalang terbahak-bahak saat Gabriel terbatuk, tercekik, dan menghapus air matanya yang seketika mengalir menahan gelegak air api di tenggorokannya. “Dan sekarang, tunjukkan padanya beberapa kesedihan dan kemarahan dari koleksi kita.”
            Di ujung gua, awan berkelebat. Lalu muncul sebuah adegan. Di sebuah rumah yang indah, sekelompok anak kecil sedang bermain di dekat kursi ibunya. Tak lama kemudian datanglah ayahnya. Mereka mengerumuni ayahnya dan bercanda-canda. Sungguh bahagia. Namun adegan berpindah ke sebuah kamar di bagian belakang rumah. Anak yang paling kecil dan paling cantik terbaring sekarat disana. Saudara-saudaranya mengelilinginya, menggenggam tangannya yang dingin dan kaku. Dia sudah meninggal. Gabriel terhanyut melihat semua itu.
“Bagaimana pendapatmu?” tanya raja jembalang. “Kau.., manusia kejam..”
Gabriel tak dapat berkata, dia tertunduk malu. Raja jembalang geram melihatnya. Ditendangnya Gabriel, para jembalang anak buahnya pun juga menendangi punggungnya, memberinya pelajaran keras. Semakin banyak adegan yang diperlihatkan pada Gabriel. Ada pria yang bekerja dengan penuh kegembiraan, keindahan alam yang bisa menjadi kebahagiaan tak berujung. Dia melihat bahwa lelaki sepertinya, yang merungut memandangi kebahagiaan orang lain, sesungguhnya adalah makhluk paling jahat di dunia. Seluruh adegan itu merasuk ke dalam pikirannya hingga dia tertidur.
Paginya saat terbangun, dia mendapati dirinya tertidur diatas nisan datar. Mantel, sekop, dan lampunya berserakan di tanah sekitarnya, tertutup salju yang baru turun. Dia tergeletak tak jauh dari tempat jembalang duduk saat pertama kali dia melihatnya. Awalnya dia bertanya apakah kejadian tadi malam itu nyata. Namun saat merasakan sakit di punggungnya ketika hendak berdiri, dia menyadari bahwa kejadian itu nyata. Dia mencoba berdiri semampunya, membersihkan salju di mantelnya, mengenakan mantel itu, dan berjalan menuju kota sebagai Gabriel Grub yang baru, yang tidak lagi merungut dan bertampang horor, yang tidak lagi menjahati anak-anak, yang mulai bisa tersenyum.


(Diambil dari buku “The Gifts and Other Stories”, Oxford University Press, 1974)

***

Tentang penulis:
Charles John Huffam Dickens (7 Februari 1812 - London, 9 Juni 1870) adalah seorang penulis roman atau novel ternama dari Inggris dari masa pemerintahan Ratu Victoria dari Britania Raya. Karya-karyanya yang lain diantaranya Oliver Twist (18371839), Nicholas Nickleby (18381839), A Christmas Carol (1843), David Copperfield (18491850), Great Expectations (18601861), dan banyak lagi.