Banyak muslimin dan muslimat yang menyatakan kesiapannya
menikah dengan alasan menikah itu ibadah, karenanya harus disegerakan.
Pandangan itu tidaklah salah, namun agaknya mereka lupa bahwa ada banyak hal
yang harus dipersiapkan terlebih dulu sebelum menikah. Adalah benar bahwa
kesiapan materi itu perlu, namun kesiapan mental adalah hal yang jauh lebih
penting untuk dipertimbangkan. Lalu apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum
menikah? Apa sesungguhnya hak dan kewajiban suami dan istri? Benarkah suami
mempunyai posisi ‘diatas’ istri dan istri harus tunduk patuh sepenuhnya pada
suami? Apa itu sakinah,
mawaddah dan rahmah? Bagaimana
menjalani kehidupan rumah tangga yang baik menurut Islam?
Perkawinan / keberpasangan adalah “sunatullah”, dalam arti
“ketetapan Tuhan yang diberlakukan terhadap semua makhluk”. Sedangkan nikah itu sendiri
secara harfiah berarti penyatuan. Namun, karena perkawinan adalah sunatullah, bukan
berarti kita lantas dengan mudah dapat menjalaninya dengan sendirinya dan
otomatis. Membangun rumah tangga tidak seperti membangun rumah, menyusun bata
diatas bata. Hal ini dikarenakan perkawinan berhubungan dengan interaksi antar
manusia. Karenanya diperlukan kecakapan berkomunikasi dan pengertian atas
perbedaan yang dimiliki, dan itu memang tidak mudah apabila tidak ada niat dan
usaha untuk mewujudkannya.
Pernikahan itu membutuhkan cinta. Jadi kuranglah tepat jika
dikatakan bahwa cinta itu dapat tumbuh dengan sendirinya setelah menikah.
Karena jika cinta yang dipaksakan tumbuh setelah pernikahan memiliki kadar
ketulusan yang kurang, sehingga kehidupan rumah tangga akan terasa kurang
menggairahkan. Namun, jika cinta sudah ada sejak awal, masing-masing pihak
merasa tidak sampai hati menyakiti pasangannya, karena besar dan tulusnya rasa
cinta yang dimiliki.
Namun, ungkapan “cinta saja tidak cukup” agaknya juga perlu
direnungkan, mengingat sifat dasar manusia yang hatinya dapat berubah, begitu
pula rasa cinta pun bisa sewaktu-waktu hilang. Karenya, dalam perkawinan, ada
unsur-unsur lain yang perlu dipenuhi untuk mempererat perkawinan itu, yaitu mawaddah, rahmah, dan amanah. Mawaddah
sesungguhnya adalah cinta kasih itu sendiri. Namun, mawaddah adalah cinta plus,
karena mawaddah adalah cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan – serupa
dengan tampaknya kepatuhan akibat rasa kagum dan hormat pada seseorang. Dan
untuk mencapai mawaddah, diperlukan beberapa tahap yang tidak terjadi
sekaligus. Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat
menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong usaha pemberdayaan. Rahmah
inilah yang membendung atau mencegah keinginan yang berpotensi menyakitkan
pasangan. Seorang suami yang pastinya mendambakan keturunan, sementara istrinya
mandul, mungkin ia terdorong untuk berpoligami. Namun jika ia menyadari bahwa
hal tersebut akan menyakitkan istrinya, maka rahmah yang menghiasi dirinya
terhadap istrinya akan membendung keinginan tersebut. Amanah adalah sesuatu
yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari
pemberinya karena adanya kepercayaan kepada yang diberi amanah. Amanah
dipelihara dengan dengan mengingat Allah, yaitu kebesaran, kekuasaan, dan
kemurahan-Nya. Sebagian besar perkawinan yang gagal adalah karena hilangnya
amanah, iman dan rasa aman itu.
Dengan memahami esensi perkawinan dalam Islam, maka fenomena kaum muslimin
jaman sekarang yang tampaknya bisa dengan mudah kawin cerai, dapat dikurangi.
Karena sesungguhnya Islam tidaklah menggampangkan perceraian. Dan jika itu
mayoritas terjadi pada kaum muslimin, maka yang harus dibenahi adalah pemahaman
individu tentang perkawinan dalam Islam itu sendiri. Fenomena di sekeliling
kita banyak menunjukkan bahwa kebanyakan umat muslim saat ini sudah sedikit
menyimpangkan esensi perkawinan itu, dengan mengajukan syarat-syarat yang
memberatkan, dan berusaha mengadakan pesta semegah-megahnya, untuk kemudian
mengurus surat cerai tahun depannya. Sungguh fenomena yang sangat disayangkan.
Karenanya tidaklah sesuatu yang bersifat ‘sok suci’ jika kita mencoba memahami
perkawinan lebih ke tujuannya yang ditetapkan dalam ajaran Islam, dan bukan
hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan, “Kapan kawin?”. Betapa sesungguhnya
Allah memang Maha Pengasih atas nikmat kasih sayang yang ditanamkannya pada
hati manusia.
Referensi
M.
Quraish Shihab, 2007, Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-anakku,
Jakarta: Lentera Hati