Sabtu, 18 Mei 2013

Jangan Asal Menikah…


Banyak muslimin dan muslimat yang menyatakan kesiapannya menikah dengan alasan menikah itu ibadah, karenanya harus disegerakan. Pandangan itu tidaklah salah, namun agaknya mereka lupa bahwa ada banyak hal yang harus dipersiapkan terlebih dulu sebelum menikah. Adalah benar bahwa kesiapan materi itu perlu, namun kesiapan mental adalah hal yang jauh lebih penting untuk dipertimbangkan. Lalu apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum menikah? Apa sesungguhnya hak dan kewajiban suami dan istri? Benarkah suami mempunyai posisi ‘diatas’ istri dan istri harus tunduk patuh sepenuhnya pada suami? Apa itu sakinah, mawaddah dan rahmah? Bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga yang baik menurut Islam?
Perkawinan / keberpasangan adalah “sunatullah”, dalam arti “ketetapan Tuhan yang diberlakukan terhadap semua makhluk”. Sedangkan nikah itu sendiri secara harfiah berarti penyatuan. Namun, karena perkawinan adalah sunatullah, bukan berarti kita lantas dengan mudah dapat menjalaninya dengan sendirinya dan otomatis. Membangun rumah tangga tidak seperti membangun rumah, menyusun bata diatas bata. Hal ini dikarenakan perkawinan berhubungan dengan interaksi antar manusia. Karenanya diperlukan kecakapan berkomunikasi dan pengertian atas perbedaan yang dimiliki, dan itu memang tidak mudah apabila tidak ada niat dan usaha untuk mewujudkannya.
Pernikahan itu membutuhkan cinta. Jadi kuranglah tepat jika dikatakan bahwa cinta itu dapat tumbuh dengan sendirinya setelah menikah. Karena jika cinta yang dipaksakan tumbuh setelah pernikahan memiliki kadar ketulusan yang kurang, sehingga kehidupan rumah tangga akan terasa kurang menggairahkan. Namun, jika cinta sudah ada sejak awal, masing-masing pihak merasa tidak sampai hati menyakiti pasangannya, karena besar dan tulusnya rasa cinta yang dimiliki.
Namun, ungkapan “cinta saja tidak cukup” agaknya juga perlu direnungkan, mengingat sifat dasar manusia yang hatinya dapat berubah, begitu pula rasa cinta pun bisa sewaktu-waktu hilang. Karenya, dalam perkawinan, ada unsur-unsur lain yang perlu dipenuhi untuk mempererat perkawinan itu, yaitu mawaddah, rahmah, dan amanah. Mawaddah sesungguhnya adalah cinta kasih itu sendiri. Namun, mawaddah adalah cinta plus, karena mawaddah adalah cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan – serupa dengan tampaknya kepatuhan akibat rasa kagum dan hormat pada seseorang. Dan untuk mencapai mawaddah, diperlukan beberapa tahap yang tidak terjadi sekaligus. Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong usaha pemberdayaan. Rahmah inilah yang membendung atau mencegah keinginan yang berpotensi menyakitkan pasangan. Seorang suami yang pastinya mendambakan keturunan, sementara istrinya mandul, mungkin ia terdorong untuk berpoligami. Namun jika ia menyadari bahwa hal tersebut akan menyakitkan istrinya, maka rahmah yang menghiasi dirinya terhadap istrinya akan membendung keinginan tersebut. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai  dengan rasa aman dari pemberinya karena adanya kepercayaan kepada yang diberi amanah. Amanah dipelihara dengan dengan mengingat Allah, yaitu kebesaran, kekuasaan, dan kemurahan-Nya. Sebagian besar perkawinan yang gagal adalah karena hilangnya amanah, iman dan rasa aman itu.
            Dengan memahami esensi perkawinan dalam Islam, maka fenomena kaum muslimin jaman sekarang yang tampaknya bisa dengan mudah kawin cerai, dapat dikurangi. Karena sesungguhnya Islam tidaklah menggampangkan perceraian. Dan jika itu mayoritas terjadi pada kaum muslimin, maka yang harus dibenahi adalah pemahaman individu tentang perkawinan dalam Islam itu sendiri. Fenomena di sekeliling kita banyak menunjukkan bahwa kebanyakan umat muslim saat ini sudah sedikit menyimpangkan esensi perkawinan itu, dengan mengajukan syarat-syarat yang memberatkan, dan berusaha mengadakan pesta semegah-megahnya, untuk kemudian mengurus surat cerai tahun depannya. Sungguh fenomena yang sangat disayangkan. Karenanya tidaklah sesuatu yang bersifat ‘sok suci’ jika kita mencoba memahami perkawinan lebih ke tujuannya yang ditetapkan dalam ajaran Islam, dan bukan hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan, “Kapan kawin?”. Betapa sesungguhnya Allah memang Maha Pengasih atas nikmat kasih sayang yang ditanamkannya pada hati manusia.

Referensi
M. Quraish Shihab, 2007, Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-anakku, Jakarta: Lentera Hati