Lelaki Bavaria itu mengangkat trofi piala yang
terbuat dari emas dengan sumringah setelah menciumnya layaknya mencium istrinya
sendiri. Kejadian itu diputar berulang-ulang di televisi menjelang even
sepakbola dunia World Cup 1994. Itulah cinta pertama dan sejatiku pada
sepakbola, Lothar Mattheus dan tim nasional Jerman. Sekalipun terjengkal oleh
Spanyol di babak semifinal dalam World Cup 2010 kali ini, namun ’rasa’ itu tak
bisa pudar. Layaknya cinta yang sesungguhnya, tanpa pamrih, tanpa berpikir,
hanya merasa, begitu pula ‘cinta’ku pada sepakbola dan tim nasional Jerman.
Meski kebanyakan orang berpindah arus – jika tim jagoan utamanya tidak lolos,
mereka beralih ke tim jagoan lain yang masih bertahan – namun aku tak pernah
berpikir
untuk ‘ke lain hati’. Sampai dimana
batas akhir Jerman bermain, disitulah “final” bagiku.
Jika ditanya mengapa aku bisa begitu fanatik pada
Jerman, aku tak bisa menjawab mengapa. Tak ada alasan, semuanya hanya karna
“cinta”. Sama halnya jika kita mencintai seseorang. Ketika ditanya mengapa kita
mencintainya, jika kita benar-benar mencintainya dari lubuk hati yang terdalam,
maka kita tidak akan tahu alasannya. “Ya cinta saja...” Dan ternyata hal ini
juga berlaku dalam sepakbola. Ketika kita menyukai sebuah tim, walau kita tidak
tahu mengapa kita menyukainya. “Saya suka Jerman dan suka saja...”
Maka jika ditanya, dengan keadaan Jerman yang
hanya mampu mencapai tempat ketiga di Piala Dunia 2010, apakah aku masih tetap
mencintainya, jawabannya adalah YA dan tidak akan berubah. “Meine Liebe wird
nicht verblassen, Deutschland...” Cintaku takkan luntur, Jerman...