Kamis, 15 Juli 2010

Sepakbola, Fanatisme dan “Cinta Buta”


Lelaki Bavaria itu mengangkat trofi piala yang terbuat dari emas dengan sumringah setelah menciumnya layaknya mencium istrinya sendiri. Kejadian itu diputar berulang-ulang di televisi menjelang even sepakbola dunia World Cup 1994. Itulah cinta pertama dan sejatiku pada sepakbola, Lothar Mattheus dan tim nasional Jerman. Sekalipun terjengkal oleh Spanyol di babak semifinal dalam World Cup 2010 kali ini, namun ’rasa’ itu tak bisa pudar. Layaknya cinta yang sesungguhnya, tanpa pamrih, tanpa berpikir, hanya merasa, begitu pula ‘cinta’ku pada sepakbola dan tim nasional Jerman. Meski kebanyakan orang berpindah arus – jika tim jagoan utamanya tidak lolos, mereka beralih ke tim jagoan lain yang masih bertahan – namun aku tak pernah berpikir untuk ‘ke lain hati’. Sampai dimana batas akhir Jerman bermain, disitulah “final” bagiku.
Jika ditanya mengapa aku bisa begitu fanatik pada Jerman, aku tak bisa menjawab mengapa. Tak ada alasan, semuanya hanya karna “cinta”. Sama halnya jika kita mencintai seseorang. Ketika ditanya mengapa kita mencintainya, jika kita benar-benar mencintainya dari lubuk hati yang terdalam, maka kita tidak akan tahu alasannya. “Ya cinta saja...” Dan ternyata hal ini juga berlaku dalam sepakbola. Ketika kita menyukai sebuah tim, walau kita tidak tahu mengapa kita menyukainya. “Saya suka Jerman dan suka saja...”
Maka jika ditanya, dengan keadaan Jerman yang hanya mampu mencapai tempat ketiga di Piala Dunia 2010, apakah aku masih tetap mencintainya, jawabannya adalah YA dan tidak akan berubah. “Meine Liebe wird nicht verblassen, Deutschland...” Cintaku takkan luntur, Jerman...