Minggu, 18 Maret 2012

MABUK (Cerpen Febby Fortinella Rusmoyo, dimuat di Pekanbaru Pos Edisi Sabtu, 17 Maret 2012)

“Kemana kita lagi?” tanya Abang.

“Mmm..., terserah abang lah... Kan abang tuan rumah...” Aku nyengir. Abang tertawa miring. Dia memang selalu begitu.

Kunjunganku ke kotanya kali ini sama seperti sebelum-sebelumnya, atas permintaannya. Dan kali ini dia beralasan sedang kurang enak badan, ingin merasakan pijatanku.

“Teman abang main jam 11 ini di XY Pub...” Halus sekali caranya mengajakku dugem. Aku memang belum pernah dugem dan dia sangat tahu itu. Sementara dunianya adalah malam dan lampu disko. Tapi terus terang aku penasaran juga ingin merasakan bagaimana hiruk-pikuknya diskotik.

“Sekarang masih jam 10 kurang. Masih lama,” balasku.

“Memangnya kamu mau?”

“Mmm..., yaa..., sekali-sekali nyoba...” Aku ragu, tapi mau.

“Yakin? Nggak nyesal nanti?”

“Yang nanti tu nantilah...”

Abang senyum penuh kemenangan.

“Kita muter-muter dulu lah ya,” ajaknya.

“Boleh.”

Kami meninggalkan rumah makan di tepi laut yang sangat eksotis, tempat favorit kami makan malam setiap kali aku datang mengunjungi Abang di kotanya yang terletak di pinggir laut. Abang memang pencinta pantai, laut, dan ombak. Saat melihat para remaja bersenda-gurau di pinggir pantai, atau bernyanyi-nyanyi sambil bermain gitar, dia selalu teringat Pantai Kuta, ketika dia mengikuti nude party bersama bule yang dipandunya. Bule wanita itu, yang ingin menikahinya ketika dia masih berusia 24 tahun. Padahal wanita itu sudah berusia 30 tahun. Wanita Skotlandia itu pun berjanji akan mengikuti keyakinan Abang jika Abang mau menikahinya. Tapi Abang menolak karena belum siap menikah. Cerita yang selalu membuat darahku menggelegak tertahan membayangkannya.

Kami berputar-putar mengelilingi kota pantai ini, walaupun tetap saja tidak jauh dari tempat semula, tidak jauh dari pantai, karena yang dia inginkan adalah mendengar suara ombak. Selama perjalanan, kami tak banyak bicara. Seperti biasa, karena Abang memang terlalu pendiam dan aku terlalu bodoh untuk memulai percakapan. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul sebelas lewat.

“Kita langsung ke XY saja?” tanya Abang.

“Boleh...”

Aku tahu, ini bukan yang pertama kalinya bagi Abang ke XY Pub. Tak mungkin dia sehafal ini dengan jalannya jika belum pernah kesana. Memasuki XY Pub, jantungku mulai berdebar. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di diskotik, pub, atau apapunlah namanya. Bedanya saja aku tidak tahu. Yang aku tahu semua tempat itu hanya menawarkan kenikmatan sesaat. Tapi toh aku penasaran juga dan pada akhirnya sampai juga di tempat itu.

Pusing. Itu hal pertama yang aku rasakan karena kelap-kelip lampu disko yang menyilaukan. Abang membimbingku mencari tempat duduk yang nyaman, agak di pojok tapi di depan, dekat dengan panggung, agar dia mudah didatangi temannya yang sedang tampil malam itu.

“Minum apa, Han?”

“Hani ikut Abang aja...”

“Long Island dua ya...” ujar Abang pada waiter yang juga temannya. Aku pernah mendengar nama minuman beralkohol yang satu ini, tapi aku tak tahu rasanya. Dan sebentar lagi aku akan merasakannya.

Abang menatapku. Mungkin dia bisa melihat kecanggunganku dengan dunia yang sama sekali baru dan sangat asing bagiku. “Santai aja ya, Sayang...” Dia menggenggam tanganku. Aku tersenyum, walau entah bagaimana bentuk senyumku itu.

Musik mulai menghentak. Band ini terdiri dari tujuh personil, tiga diantaranya wanita, yang kesemuanya vokalis, dan seksi-seksi. Mata Abang tak lepas dari vokalis utama. Bagaimana tidak, dia menari diatas meja penonton. Aku rasa dia sudah sedikit mabuk. Dia menyanyikan lagu Rihanna, Don’t Stop The Music.

Long Island pesanan kami sudah datang. Abang menyuruhku mencicipinya sedikit. Pelan-pelan aku menyeruputnya. Aku bergidik. Pahit! Abang tertawa melihat tampang kecutku. Untung saja ada kacang goreng diatas meja, yang memang sengaja disuguhkan waiter untuk menyiasati rasa pahit minuman alkohol. Sementara itu, Abang berjoget dengan si vokalis wanita yang sangat genit itu. Sesekali Abang ikut bernyanyi jika microphone disodorkan padanya. Ingin rasanya aku melempar gelas Long Island itu ke arah mereka, tapi sayang rasanya, karena aku mulai menikmati minuman setan ini. Pandanganku mulai terbelah dua, kepalaku mulai ikut bergoyang tanpa kusadari. Kurasa aku sudah mulai mabuk.

Abang mendekatiku, menarik tanganku, dan mendekatkan mulutnya ke telingaku, “Goyang sama Abang, Sayang.” Aku tersenyum, dan mulai meliuk-liukkan badan. Aku tak tahu dan tak peduli bagaimana goyanganku, yang penting aku sangat menikmatinya. Senyum Abang semakin lebar melihatku bergoyang. Rayuan setannya berhasil membuatku keluar dari dunia putih yang selama ini kujalani. Dia mulai menodainya dengan bercak hitam.
Entah berapa lama kami berada di diskotik itu. Long Island-ku yang segelas itu tak sanggup aku habiskan, hanya setengahnya saja. Pandanganku sudah sangat kabur. Bicaraku pun sudah mulai tak karuan. Saat semua pengunjung sudah mulai berkurang, Abang masih berbincang-bincang dengan teman-temannya yang kesemuanya personil band itu. Aku sudah setengah sadar, duduk di pangkuan Abang sambil merebahkan kepalaku yang sudah sangat berat di bahunya. Ruangan ini sudah berubah menjadi lima di mataku.

Tak sanggup berjalan, Abang menggendongku menuju hard-top merahnya dan segera kembali ke rumahnya. Sesampai di rumahnya pun, Abang menggendongku ke dalam, sampai diatas tempat tidur. Aku masih tahu setelah itu Abang melucutiku dan menikmatiku sepuasnya.
Setelah itu, aku sama sekali tak sadar lagi.

Aku terbangun keesokan paginya dengan kepala masih agak berat. Abang masih tidur di sampingku, dengan keadaan tubuh seperti bayi baru lahir, sama seperti keadaanku. Aku bergegas berpakaian seadanya, dan menuju kamar mandi, mengguyur tubuhku mulai dari kepala agar aku benar-benar ‘sadar’. Aku habiskan pagi dengan menonton televisi sambil menunggu Abang bangun. Aku tak berani membangunkannya.

“Sudah sarapan?” tanya Abang setelah akhirnya dia rapi sepertiku.

“Belum.”

“Yuk, keluar.”

Seperti biasa kami menghabiskan perjalanan tanpa suara. Kami tidak langsung sarapan, tapi Abang mengisi bahan bakar mobilnya terlebih dulu. Sambil mengantri, Abang menatapku. “Tadi malam ‘masuk’ atau tidak..?”

Aku terperanjat. Kutatap matanya. “Nggak tahu... Hani bener-bener nggak sadar tadi malam... Memangnya Abang ‘nembak’ dimana?”

“Dalam sepertinya, abang pun lupa... Abang juga tak pakai ‘pengaman’...” Seperti ada palu godam yang menghantam kepala dan hatiku.

“Bang..., nanti kita ke apotik dulu ya...” pintaku.

“Cari apa?”

“Test pack...”

(13 Mei – 23 November 2010)

* * *

Febby Fortinella Rusmoyo, lahir di Pekanbaru, 14 Februari 1982; alumnus UIN Suska Riau, bekerja di UIN Suska Riau, dan pernah belajar di Sekolah Menulis Paragraf, domisili Pekanbaru. Karya-karyanya pernah dimuat di Riau Pos, Padang Ekspres, Haluan Riau, Sumut Pos; dan puisinya termuat dalam buku “Rahasia Hati: Antologi Penyair Muda Riau 2010” yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.

Rabu, 14 Maret 2012

Telah terbit, KOPI HUJAN PAGI (Kumpulan Puisi dan Cerpen Sekolah Menulis Paragraf)


Telah terbit, KOPI HUJAN PAGI (Kumpulan Puisi dan Cerpen Sekolah Menulis Paragraf). Para penulisnya adalah: Afriyanti, Agus Yoni Pw, Azizah Masdar, Cahaya Buah Hati, Chamex, Cikie Wahab, Febby Fortinella Rusmoyo, Guri Ridola, Jeni Fitriasha, Nurhusni Kamil, Refila Yusra, Srikartini Widyaningsih (Puan Seruni), Wari Rahmawati, dan Zurnila Emhar Ch. Berikut komentar-komentar mengenai buku ini:

“Inilah buah dari kebun sastra Sekolah Menulis Paragraf yang khas dengan tema-tema terpilih. Catatan perih catatan bahagia dari Riau, menuju Indonesia. Puisi dan Cerpen dalam buku ini menjadi catatan penting bagi peta kesusastraan Indonesia, dan karenanyalah layak untuk diperhitungkan.” (JONI ARIADINATA, Redaktur Majalah Sastra Horison)

Sebuah komunitas kreatif—seperti Komunitas Paragraf ini—bagi saya ibarat sarang penetasan. Di situ suhu dan kelembaban dipertahankan pada tingkat ideal agar setiap telur tererami dengan baik. Harapannya adalah sebagian besar telur ‘bakat’ itu menetas, dan menjadi penulis yang mengembangkan keunggulan masing-masing. Sebuah buku karya bersama adalah tanda awal, seperti retak pada dinding cangkang masing-masing telur bakat itu. (HASAN ASPAHANI, sastrawan, Pemimpin Redaksi Batam Pos)

Suatu kali, saya pernah singgah di Sekolah Menulis Paragraf di gerai Ibrahim Sattah, berbincang-bincang tentang sastra dan dunia kepenulisan. Yang membanggakan, pesertanya dari berbagai kalangan, mulai dari perawat, dosen, pengusaha, siswa, sampai mahasiswa dan orang awam. Kehadiran Sekolah Menulis Paragraf yang diprakarsai oleh Marhalim Zaini dan kawan-kawannya ini terbukti mampu memupuk dan mengajuk resa kepenulisan di tanah Melayu. Dari sini, telah lahir beberapa penulis handal. Semangat ini seharusnya mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Semoga Sekolah Menulis Paragraf menjadi taman bagi para penulis. (MUSA ISMAIL, sastrawan, Komunitas Cahaya Pena Bengkalis)

Empat belas penulis cerpen dan puisi berusia belia dalam antologi Kopi Hujan Pagi, telah menyuguhkan secangkir kopi yang memuaskan. Para penulis yang tergabung dalam Sekolah Menulis Paragraf Riau ini, membuktikan bahwa sebuah komunitas sastra berdayaguna bagi pengenalan dan pengembangan seseorang kepada penulisan kreatif. Karya-karya yang terhimpun dalam Kopi Hujan Pagi menyuguhkan kehangatan, dan diharapkan menginspirasi remaja lain untuk bersama-sama “duduk (bersila)” menikmati secangkir puisi (bukan lagi kopi), demi mencerahkan. (ISBEDY STIAWAN ZS, sastrawan, Lampung)

Ada semangat lain ketika berada dalam sebuah komunitas. Gairah yang dengan sendirinya memicu keinginan untuk saling berpacu. Meski terkadang komunitas sering menjebak penghuninya dalam keseragaman, akan tetapi diskusi-diskusi dan keberbedaan pendapat pada akhirnya akan melepaskan seseorang untuk menuju gaya masing-masing. Dalam antologi “Kopi Hujan Pagi” para penghuni Sekolah Menulis Paragraf berhasil keluar dari jebakan keseragaman tersebut. Karya-karya mereka hadir mewakili diri sendiri. Sebagaimana baiknya, komunitas hanya menjadi payung. Tujuan paling akhir tetapn tergantung kepada masing-masing yang berada di dalamnya. Selamat! (IYUT FITRA, sastrawan, Komunitas Seni Intro Payakumbuh)

Kreativitas tak pernah mati di negeri Sahibul Kitab, Riau. Buku antologi “Kopi Hujan Pagi” yang memuat karya penulis generasi baru ini menjadi saksi dan bukti. Beragam tema dan pola dalam karya mereka, memperlihatkan upaya pencarian identitas sekaligus menggali kedalaman nilai yang mereka geluti masing-masing, terutama nilai ‘lokal’ yang dapat mengangkat kebesaran negeri ini yang telah mewariskan tradisi sastra yang kuat. (FAKHRUNNAS MA JABBAR, Sastrawan, Riau)