Sabtu, 10 Mei 2014

Antara "Keras Kepala" dan "Egois"


Menurutku "keras kepala" dan "egois" itu berbeda. Orang yg keras kepala biasanya memang "agak susah" diberitahu. Dia berpegang teguh pada prinsipnya dan pada apa yg dia anggap benar (meski seringkali ekstrim di mata orang lain). Tapi dia tidak memaksakan orang lain utk memegang hal yg sama. Tapi orang egois cenderung memaksakan apa yg dia kehendaki, baik yg dia kehendaki ingin dilakukannya kepada orang lain maupun yg dia kehendaki orang lain lakukan padanya. Orang egois otomatis keras kepala, tapi orang keras kepala belum tentu egois.

Rabu, 26 Maret 2014

A “Nekad” Travel To Singapore (Day 2)

Aku terbangun sedikit terperanjat. Aku mendengar suara “dahsyat” yang sangat mengganggu telingaku dan tidurku. Suara dengkuran yang lebih mirip dengkuran sapi. Aku mendengar dengan seksama, mencoba mencari tahu asal suara itu. Sepertinya dari bawah, tapi kok rasanya tidak mungkin Imel mendengkur sedahsyat itu. Sejenak suara itu hilang, tapi saat aku sudah mulai hampir tertidur lagi, suara itu terdengar lagi. Ingin rasanya aku turun ke bawah untuk mengetahui dengan pasti asal suara itu, tapi mataku begitu berat untuk dibawa kompromi. Akhirnya aku menutup telingaku dengan bantal dan menekannya kuat-kuat agar suara berisik itu tidak mengganggu tidurku. Aku masih berniat melanjutkan tidur karena hari masih menunjukkan pukul 4 kurang.
Aku terbangun lagi karena getar alarm di ponselku. Jam menunjukkan pukul 4.30 waktu setempat. Sengaja aku mengaturnya sesuai dengan masuknya waktu subuh di sana. Padahal rasanya mata ini masih mengantuk karena tidur yang terganggu beberapa jam sebelumnya. Namun karena harus sholat, segera aku bangunkan Imel. Kami langsung menyiapkan pakaian untuk mandi, langsung mandi sesubuh itu karena takut tidak kebagian kamar mandi mengingat ramainya penghuni hostel yang sama seperti kita menghuni kos-kosan. Siapa cepat dia dapat, yang tidak dapat tidak boleh ‘ngumpat’..
Setelah mandi seadanya dengan kamar mandi seadanya (hanya ada shower, tanpa bathtub dan kloset), aku kembali ke kamar, hamper bersamaan dengan Imel, lalu kami sholat subuh di kamar. Sebelumnya kami sudah diberitahu oleh Si ‘Seksi’ Cerewet tentang arah kiblat. Untung saja dia tahu dan mau memberi tahu. Selesai sholat, aku berbincang-bincang dengan Imel, karena kalau mau langsung mencari sarapan di luar tentu tidak bisa mengingat hari masih subuh, belum ada restoran yang buka. Aku bilang ke Imel, aku sudah dapat hostel terdekat yang bisa kami lacak apakah masih ada kamar kosong atau tidak. Karena aku katakana pada Imel, aku memang sangat tidak nyaman di sini, sejak awal kedatangan, ditambah dengan rekan sekamar yang tidak kooperatif.
Sedang asyik-asyik ngobrol dengan Imel (padahal setengah berbisik), tiba-tiba menyembul kepala dari balik ‘tirai’ yang menutupi tempat tidur Si Cerewet. Ternyata dia sudah pulang entah jam berapa. Dia berkata dengan ketusnya, “Can’t you keep silent and stop talking..?! I want to sleep..!” Lalu dia menutup kembali tirainya. Aku dan Imel terperangah. Imel masih sempat menjawab, “I’m sorry, Sis..” lalu menunduk. Aku tahu dia ketakutan. Aku memandangnya tanpa bersuara, lalu segera naik ke tempat tidurku. Hal pertama yang aku lakukan adalah menenangkan diri karena sebenarnya darahku sudah mencapai ubun-ubun. Aku ingin balas ‘menyemburnya’ tapi masih berpikir realistis untuk tidak mencari masalah di negeri orang.
Aku berbaring di atas sambil telungkup dan browsing di internet untuk menghilangkan kemarahan. Sejak sampai di sini, aku memanfaatkan wifi yang ada di hampir semua tempat terutama di fasilitas umum seperti ini, untuk bisa meng-update status, baik itu BBM maupun Facebook. Aku juga menggunakannya untuk berkomunikasi dengan keluargaku di rumah melalui BBM, karena menggunakan SMS atau telepon tentunya sangat mahal dan kena roaming.
Sekitar jam 7-an, aku dan Imel memutuskan untuk keluar dari kamar. Entah restoran sudah buka atau belum, yang penting kami keluar dulu supaya bisa berbincang-bincang, berhubung kamar ini “zona terlarang” untuk berbicara. Di luar, langsung aku muncratkan kekesalanku atas Si Cerewet itu pada Imel.
“Pokoknya kita memang harus pindah hostel, Mel.. Ndak ada cerita.., kakak sama sekali nggak nyaman lagi di situ. Daripada tertinju pula lama-lama perempuan tu..!” ujarku berapi-api.
“Astaghfirullahal’azhiim…, sabar kaak.. Iya nanti kita pindah, Imel juga pengen pindah kok..”
“Iya, sekalian aja kita cari sekarang, kakak dah dapat lokasinya. Kita tanya ada kamar apa nggak, kalau ada kita langsung pindah sesudah sarapan,” sambungku makin semangat.
“Oke kak..,” balas Imel.
Berbekal petunjuk dari Google Maps, ditambah peta Singapura yang kami dapat di Front Office ABC Backpackers Hostel kemarin, kami mencari hostel lain yang bernama “Feel At Home”. Letaknya di Jalan Pinang, menurut peta sekitar tiga blok dari ABC Backpackers Hostel. Karena memang tidak jauh, kami bisa menemukannya dengan cukup mudah. Ternyata hostel ini malah lebih dekat dengan Masjid Sultan, hanya tinggal menyeberang, dan berada di jalan yang di simpangnya terletak restoran “Al-Tasneem” tempat kami makan tadi malam.

Kami masuk ke bagian front office-nya yang dijaga oleh seorang wanita 40-an berparas India. Imel yang bertanya tentang kamar. Hanya ada sebuah kamar “mixed room” yang tersisa, “female room”-nya sudah penuh. Selain itu, kamar itu baru bisa diisi jam 2 siang nanti karena baru akan kosong jam segitu. Berhubung aku benar-benar sangat niat untuk pindah, ditambah kesan yang terasa dari hostel ini juga baik, maka kami pun langsung memesan kamar “mixed room” itu. Lagipula kamar itu sisanya hanya diisi oleh 2 orang dari 8 tempat tidur yang ada, dan mereka kebetulan wanita keduanya. Kami katakan pada petugas front office itu bahwa kami akan memindahkan tas setelah sarapan. Harga tempat tidur itu, 23 dolar Singapura per malam. Kami langsung memesan untuk 2 malam.
Selesai urusan pindah hostel, kami pun pergi sarapan. Aku memesan “Beef Murtabak” atau martabak isi daging sapi. Aku menyangka ukurannya kurang lebih sama saja dengan martabak mesir di Indonesia, ternyata jumbo..! Tapi meskipun begitu, entah kenapa aku sanggup menghabiskannya, hanya tersisa sedikit sekali. Untuk minuman di pagi hari, aku memesan segelas kopi panas, ditemani segelas air putih hangat. Nikmat sekali sarapan pagi pertama di Singapura.
Selesai sarapan, kami kembali ke ABC Backpackers Hostel dan langsung check out. Si “Sapi” masih ngorok.. Petugas front office kali ini seorang perempuan muda beretnis Tionghoa. Cukup ramah, dan dia berharap kami kembali lagi suatu saat nanti. No way..! batinku. Kami langsung menuju Feel At Home Hostel dan menitipkan tas sementara kami pergi jalan-jalan dulu pagi ini dan nanti sepulangnya baru masuk kamar.
Kami langsung menuju stasiun MRT (Mass Rapid Transportation) dan mencari stasiun terdekat dari Merlion Park, karena tujuan pertama kami memang berfoto di patung Merlion sebagai “bukti sah” telah ke Singapura. Stasiun MRT yang paling dekat dari Feel At Home Hostel adalah stasiun Bugis. Dari situ kami menaiki rute menuju stasiun Green Line, lanjut ke stasiun Marina Bay dan turun di stasiun Raffles Place. Sesampai di stasiun Raffles Place, kami keluar stasiun melalui Exit B dan tiba di kompleks perkantoran Chevron House.



Kami tiba di Chevron House pas tengah hari, saat semua karyawan perkantoran sedang istirahat makan siang. Hari itu hari Jum’at, dan tentu saja tidak ada aktivitas pergi Jum’atan ke masjid. Meskipun hari sudah siang, tapi kami memang belum terlalu lapar. Mungkin karena porsi sarapan kami tadi begitu jumbo. Karenanya kami hanya mengganjal perut dengan mencari makanan yang tidak terlalu berat. Karena kami sedang berada di kawasan non muslim, agak waswas mencari makanan. Karenanya kami mencari makanan yang “netral” saja. Akhirnya kami membeli sejenis kue bolu mangkuk yang ukurannya lebih besar daripada yang biasa ada di Indonesia. Sebagai minuman, aku membeli kopi susu, sedangkan Melgis membeli teh susu. Kami mencari tempat di taman perkantoran, di sebuah ayunan duduk. Sambil makan dan bercerita, kami memperhatikan karyawan yang lalu lalang. Beberapa orang juga tampak makan sambil duduk-duduk di meja dan bangku kayu yang ada.
Selesai makan dan istirahat, kami melanjutkan perjalanan menyeberangi jembatan penyeberangan menuju Singapore River. Jembatan penyeberangan itu menghubungkan kompleks perkantoran Chevron House dengan kompleks Hotel Fullerton. Jembatan penyeberangan itu bukan seperti jembatan penyeberangan biasa. Bentuknya lorong tertutup yang di dalamnya juga terdapat pertokoan dan kafe. Jadi sambil menyeberang kita bisa berbelanja, atau nongkrong di kafe. Tapi aku dan Melgis tidak mampir, karena harga-harga di toko dan kafe itu bukan ukuran kantong kami. Selain itu, kami juga ingin langsung sampai di seberang, menuju Merlion Park. Sesampai di seberang, kami beristirahat sejenak sambil berfoto di depan Fullerton Bay Hotel.

Dari kejauhan kami, sudah bisa melihat patung Merlion, tapi masih ragu jalan mana yang akan kami tempuh untuk menuju ke sana. Akhirnya kami berjalan ke arah selatan, tapi ternyata kami salah jalan karena penampakan Patung Merlion semakin jauh dari pandangan kami. Di papan petunjuk arah, kami malah membaca tulisan Marina Boulevard, arah yang sepertinya malah menuju Marina Bay Sands. Tentu saja kami tidak akan ke sana, karena sekali lagi biayanya tidak sesuai dengan isi kantong kami. Karena ternyata salah arah, kami istirahat saja sambil duduk-duduk di bangku-bangku yang tersedia di sepanjang Marina Boulevard. Setelah terkumpul sedikit tenaga lagi, kami berputar arah ke utara, kembali ke arah Fullerton Bay Hotel. Ternyata Merlion Park berada di utara hotel itu, karenanya kami menyusuri trotoar di sisi sungai itu, melewati kompleks gedung One Fullerton hingga mencapai Merlion Park. Jarak yang cukup lumayan jika ditempuh dengan berjalan kaki. Namun kami tidak merasa lelah karena antusiasme yang memenuhi hati kami.
Sebelum mencapai Patung Merlion, kami berfoto dengan latar Marina Bay Sands. Meski tak sanggup ke sana, setidaknya berfoto dengan latar hotel super mahal itu. Kami melanjutkan perjalanan menyusuri sisi sungai. Akhirnya tibalah kami di Patung Merlion. Cukup ramai juga, padahal bukan masa liburan, tapi tetap ramai juga. Tapi untungnya tetap bisa berfoto di sisi patung meskipun sedang tidak mengeluarkan air dari muncungnya.


 Selesai foto di patung besar, kami foto di patung kecil. Karena kami berdua hanya bisa bergantian foto sendiri-sendiri. Tapi kemudian ada seorang pemuda Cina yang minta tolong difotokan oleh Melgis. Kesempatan ini tidak kami sia-siakan untuk balas minta tolong difotokan berdua oleh si cowok Cina, jadi kami punya foto bareng. Selesai puas fotoan, kami menyusuri kembali sisi sungai menuju arah kompleks perkantoran Chevron House kembali. Kami langsung kembali ke daerah hostel tempat kami bermalam, daerah Kampung Bugis. kami langsung menuju Masjid Sultan untuk menjamak sholat Zuhur dan Ashar. Setelah itu, kami menghabiskan sisa sore dengan berjalan-jalan di sekitaran Masjid Sultan saja, hingga masuknya waktu Magrib. Begitu azan Magrib berkumandang, kami langsung ikut sholat Magrib berjamaah, sekaligus menjamak sholat Isya, agar nanti ketika pulang ke hostel tinggal tidur saja.


Setelah menjamak sholat Isya, kami pergi ke restoran tempat kami sarapan tadi pagi, restoran halal “Al-Tasneem”. Kali ini aku memesan nasi buryani yang terkenal dari India itu, segelas air putih hangat, dan segelas kopi panas. Selesai makan, kami keliling-keliling di sekitaran blok. Puas keliling, kami kembali ke kamar untuk mandi dan istirahat. (Bersambung ke “Day 3”)


Makan malam di Restoran Al-Tasneem
Nasi Buryani, menu makan malamku



Selasa, 25 Maret 2014

A “Nekad” Travel To Singapore (Day 1)

Sesungguhnya tidak pernah terlintas di benakku akan mengadakan perjalanan liburan ke Singapura tanpa keluarga. Semua ini berawal dari keinginan untuk refreshing bersama dengan beberapa teman kuliahku, setelah selama 3 semester dicecar dengan materi perkuliahan S2 yang memusingkan kepala, menyesakkan dada, dan membengkakkan mata (karena sering kurang tidur). Maka aku, Melgis, Elfi, dan Ike, merancang acara jalan-jalan itu dengan detail, mulai dari jenis transportasi yang akan digunakan, rute keberangkatan, penginapan, estimasi biaya, dan sebagainya.

Hampir sebulan setelah pemmbicaraan itu, barulah aku mengkonfirmasi ulang kepada teman-teman tentang jadi atau tidaknya rencana kepergian itu. Semua itu tertunda karena kami fokus untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan kantor terlebih dahulu. Tapi sayang, Elfi dan Ike pada akhirnya tidak bisa ikut bergabung karena mereka bekerja sebagai pengajar di sekolah, sementara saat ini adalah musim ulangan dan ujian yang tidak memungkinkan mereka untuk meminta izin dari kepala sekolah masing-masing. Maka dengan penuh tekad bulat dan sedikit “nekad” (karena tidak satupun dari kami – aku dan Melgis – yang mengenal Singapura, aku dulu pernah dengan keluarga saat berusia DUA TAHUN..).

Setelah mencoba mencari tiket pesawat Pekanbaru-Batam (PP) di internet dan tidak menemukan harga yang pas, aku bertanya kepada seorang teman, Eva. Beruntung, ternyata dia punya saudara, Afgan, yang bekerja di sebuah biro perjalanan di Batam, sehingga akhirnya aku memesan tiket pesawat Pekanbaru-Batam kepada saudaranya itu. Dan kami beruntung mendapat tiket promo seharga Rp. 730.000 PP. Rencananya dari Batam menuju Singapura, kami akan naik speedboat. Tiket speedboat bisa kami beli sesampainya di Batam saja.

Untuk mengetahui seluk-beluk perjalanan di Singapura nantinya, aku telah browsing di internet untuk mencari referensi yang kemudian aku buat seperti buku. Selain itu, aku juga banyak bertanya kepada Afgan tentang apa saja yang perlu kami persiapkan dan kira-kira apa saja yang diperlukan nantinya. Tidak puas hanya dari satu sumber, aku bertanya kepada seorang teman yang juga dosen di salah satu Fakultas di UIN Suska Riau, yang kebetulan juga seorang backpacker. Dari Jully, namanya, aku juga mendapat lebih banyak informasi tentang “tata cara” bepergian ala backpacker. Berapa duit yang harus dipersiapkan, dimana harus menginap, dimana bisa makan (yang halal tentunya), dan sebagainya. Dan berkat dukungannya juga, meski aku sempat agak khawatir dengan tidak berpengalamannya kami berdua untuk masalah jalan-jalan, aku menjadi lebih berani dan percaya diri untuk pergi meski kami sama-sama masih “nol”. Yang jelas modal utama kami hanyalah penguasaan Bahasa Inggris yang tentunya sangat diperlukan untuk berkomunikasi di sana nantinya.

Akhirnya tibalah hari keberangkatan. Kamis, 20 Maret 2014, aku dan Melgis terbang dengan pesawat Lion Air menuju Batam. Diatas pesawat, kami bahkan belum tahu akan menginap dimana. Kami pun menghabiskan perjalanan dengan membaca referensi yang sudah aku siapkan dan mencari tahu dimana daerah yang kira-kira aman, nyaman, dan “ramah kantong” bagi kami untuk menginap. Semula aku berencana untuk menginap di daerah Geylang. Tapi dari Afgan dan seorang kakak laki-lakiku, aku mendengar bahwa daerah itu kurang “aman”, cenderung lebih terkenal sebagai “daerah malam”. Setelah membaca kembali referensi, mendadak hatiku langsung yakin untuk menginap di daerah Kampung Bugis. Daerah itu juga dekat dengan Kampung Arab (Arab Street), dan ada sebuah masjid besar dan bersejarah di sana. Lingkungannya juga lebih Islami daripada daerah lain, dan lebih mudah mencari tempat makan halal tentunya. Maka akhirnya kami sepakat untuk menginap di daerah Kampung Bugis.

Aku & Imel dalam kapal
Sekitar 45 menit berada di atas awan, akhirnya pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Hang Nadim Batam. Disana, Afgan sudah menunggu dengan mobilnya dan siap mengantar kami ke makan siang, lalu menukar uang di money changer, dan membelikan kami tiket speedboat, dan mengantarkan ke pelabuhan. Dia juga berjanji akan mengantar kami keliling Batam saat kembali nanti, dan berbelanja pakaian “second hand” yang terkenal di Batam.

Aku dalam kapal
Perjalanan laut menuju Singapura pun dimulai. Kami berangkat jam 14.40 dari Batam. Semula aku agak khawatir kalau-kalau aku akan mabuk laut, mengingat selama ini aku belum pernah melakukan perjalanan lewat laut. Tapi syukurlah ternyata tidak. Maka sudah bisa kusimpulkan aku memang bukan tipikal orang yang mabuk perjalanan karena baik lewat darat, udara, maupun laut, aku tidak pernah mabuk.
Laut yang kami lewati

Kami sampai di Harbour Front, Singapura sekitar jam 3. Dari pelabuhan, kami memberanikan diri menggunakan transportasi MRT (Mass Rapid Transportation), yaitu moda transportasi kereta cepat bawah tanah. Semula kami masih keliling-keliling terminal untuk mencari tahu bagaimana caranya bisa menggunakan kendaraan ini. Akhirnya kami menuju tiket dan membeli kartu Ez-Link, kartu tiket MRT yang bisa digunakan kapan saja dan kemana saja dengan syarat masih ada isi depositnya. Maka akhirnya kami naik MRT dengan kartu ini, bergabung dengan para penumpang lain yang tentu saja mayoritas warga Singapura sendiri. Karena saat itu jam sudah menunjukkan sekitar jam 4 sore, maka MRT sedang ramai-ramainya karena jam pulang kerja. Tapi meskipun ramai, tidak ada istilah berdesak-desakan dan dorong-dorongan sesama penumpang, karena semua naik dan turun dengan tertib dan teratur meski dengan langkah-langkah cepat.

Di Harbour Front, Singapore
Di MRT (Mass Rapid Transportation)
Satu hal yang tidak perlu kita khawatirkan jika berjalan-jalan ke Singapura adalah bahwa peta ada dimana-mana sehingga kita tidak perlu khawatir tersesat, yang penting adalah kita paham membaca peta. Dari pelabuhan, kami mengambil jurusan ke Kampung Bugis. Sesampai di terminal Bugis, kami sempat bingung lagi mau ke arah mana. Sekali lagi, kami tertolong dengan adanya peta di sudut terminal, sehingga kami tahu harus berjalan ke arah mana. Hal pertama yang ada di benak kami adalah mencari letak Masjid Sultan yang berada di daerah Kampung Bugis itu untuk melaksanakan sholar Zuhur dan Ashar yang belum sempat kami kerjakan di Batam. Alhamdulillah tidak terlalu sulit menemukannya karena masjid ini berada di tengah-tengah dan di dekat persimpangan jalan.
Masjid Sultan, Kampung Bugis, Singapura

Karena hari juga sudah hampir magrib, aku dan Melgis memutuskan untuk tetap saja di masjid hingga tiba waktu magrib, untuk kemudian mencari penginapan setelah selesai sholat magrib. Ternyata waktu sholat masuk lebih lambat kurang lebih 45 menit dari daerah Pekanbaru, Riau, Indonesia. Waktu magrib disini masuk sekitar jam 19.15 waktu setempat. Setelah sholat magrib berjamaah, aku langsung melanjutkan dengan sholat jamak Isya, agar setiba di penginapan nanti sudah tenang, sehingga bisa langsung istirahat.

Shophouse
The Social Hostel
Usai magrib, mulailah kami berkeliling mencari hostel. Kami menemukan sebuah hostel, “Shophouse The Social Hostel”, yang terletak di Arab Street, tapi tidak ada female dorm (kamar khusus wanita) yang masih tersedia, yang ada hanya mixed room (kamar campuran, laki-laki dan perempuan). Karenanya kami memutuskan untuk tidak mengambil tempat di sana. Kami melanjutkan perjalanan, entah ke arah mana, yang jelas kami hanya mencari-cari. Akhirnya kami menemukan sebuah hostel lagi, “ABC Backpackers Hostels”, terletak di Jalan Kubor.

ABC Backpackers Hostels
Kami masuk, namun meja resepsionisnya kosong. Seorang pria berparas Cina duduk di depan sebuah komputer yang terletak tak jauh dari meja resepsionis. “Excuse me..”, ujarku. Dia menoleh, lalu menunjuk ke bagian dalam, dan memberi isyarat “tunggu” dengan tangannya. Berarti dia bukan pemilik hostel, mungkin dia hanya tamu yang sedang memanfaatkan fasilitas komputer untuk tamu. Aku dan Melgis duduk menunggu datangnya resepsionis untuk melayani kami. Cukup lama kami menunggu, bahkan aku sempat mengumpulkan peta, brosur informasi untuk turis, brosur tour bus, dan beberapa brosur lagi yang mungkin akan bermanfaat bagi kami selama perjalanan kami di sini.

Setelah cukup lama menunggu (sejujurnya aku sudah mulai hampir kehilangan kesabaran dan nyaris mengajak Melgis untuk keluar dan mencari tempat lain), akhirnya sang resepsionis datang. Dia seorang keturunan India, tinggi, besar, hitam, dan seram, dan tidak ramah. Kami menanyakan female dorm, untungnya masih ada.
“How many nights will you stay?” dia bertanya dengan nada dingin dan tatapan tajam.
“Three nights..?” Melgis menjawab sambil bertanya ke arahku.
“No..no..no.., just one night..”, jawabku cepat ke si India seram. Segera aku beralih ke Melgis, “Satu aja dulu, Mel..” dengan tatapan yang kuharap menyiratkan ‘sesuatu’ pada Melgis. Melgis mengangguk. Untunglah kalau dia paham.
“Is it the first time you come here..?” tanya si India dengan datar kepada Melgis.
“Yes.., this is the first time..”, jawab Melgis mantap.
“You..?” tanya si India kepadaku dengan sedikit mengangkat dagunya, mata sedikit melebar dan alis yang juga sedikit terangkat, tapi tetap dengan nada dingin. Tatapan yang mengingatkanku pada seseorang dengan postur yang sama..
“Yap..”, jawabku ringan. Body language-nya agak meresahkan, tapi aku tepis saja.

Kamar dan tempat tidur kami di
ABC Backpackers Hostel
Setelah kami membayar deposit, akhirnya si India mengantarkan kami ke kamar yang dimaksud. Kamar itu berisi dua tempat tidur bertingkat, sehingga bisa memuat 4 orang. Kamar itu kecil sekali, memang secukup untuk memuat dua tempat tidur bertingkat itu, sedikit ruang diantara kedua tempat tidur yang berseberangan itu, sedikit ruang di pojokan, tempat sebuah kulkas dan sebuah koper besar telah bertengger disitu. Tempat tidur bertingkat yang kami tempati masih kosong. Tapi tempat tidur bertingkat satunya lagi sepertinya sudah diisi. Hanya saja aku heran, tempat tidur yang bagian bawah ditutupi oleh beberapa selimut yang sepertinya memang sengaja disusun begitu untuk menutupi tempat tidur itu. Di ujung tempat tidur, di tempat sepatu, berjejer beberapa pasang sepatu hak tinggi berbagai warna. Jelas sekali tempat tidur itu diisi seseorang, tapi kenapa si India tidak bilang apa-apa pada kami, tidak mengatakan bahwa kamar itu sudah terisi. Tidak masalah memang, karena memang begitu kondisinya di sebuah hostel, kita akan bercampur dengan tamu lain. Tapi setidaknya kalau dia memberi tahu, kami bisa lebih siap.
“Kakak takut ketinggian nggak..?” tanya Melgis padaku.
“Ngapa? Imel takut? Kk aja yg diatas kalo gitu..”, jawabku langsung paham maksud pertanyaannya. Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan tempat tidur bertingkat kok..

Maka jadilah aku tidur di tempat tidur bagian atas. Karena kami belum makan malam, maka setelah selesai membereskan seluruh barang-barang kami untuk diletakkan di tempatnya, kami pun pergi ke luar dari hostel untuk mencari restoran halal. Beruntung, kami memang sangat tidak sulit menemukannya karena ini memang daerah yang banyak muslimnya, maka restoran halal pun berjejer di sepenjang jalan di seberang masjid tempat kami sholat magrib tadi.

Al-Tasneem Halal Restaurant
Akhirnya kami makan malam di salah satu restoran yang bernama “Al-Tasneem”. Model masakan di situ adalah ala restoran India muslim, dan memang salah satu juru masaknya adalah lelaki dengan paras India. Selesai makan, kami duduk sebentar sambil mengobrol, barulah kembali ke hostel.
Sesampai di hostel, ternyata dugaan kami benar, kami tidak sendiri (berdua lebih tepatnya), karena memang ada seorang penghuni kamar di tempat tidur bertingkat di sebelah kami yang tempat tidurnya diselubungi selimut. Saat kami masuk, tempat tidur itu masih tertutup selimut, tapi terdengar suaranya sedang berbicara di telepon. Dia berbicara dengan Bahasa Inggris, tapi dengan dialek setengah Arab setengah India menurutku. Kami belum bisa melihat wajah dan bentuknya, karena dia masih ‘bersembunyi’ di balik tirai.

Aku langsung naik ke tempat tidur bagian atas. Aku masih mendengar dia berbicara di telepon dan kali ini dia memakai speaker sehingga suara orang yang sedang berbicara dengannya di telepon bisa kami dengar. Ternyata lawan bicaranya adalah seorang pria. Karena Bahasa yang digunakannya campur-campur (terkadang terdengar seperti Arab), maka ada bagian yang tidak aku mengerti. Namun pada satu bagian pembicaraannya, aku mendengar dia berkata pada pria itu, “I’m not expecting anybody in my room tonight..!”

WHAAAAATTTT…??? Jadi dia tidak suka ada orang lain yang ikut menghuni kamar itu bersamanya. Hatiku mulai panas.. Ya kalau hanya ingin sendiri kenapa dia tidak menyewa kamar hotel saja..?! Jelas-jelas ini hostel, wajar dong kalau isinya lebih dari satu orang.. Semprull!! Aku mengutuk-ngutuk dalam hati.

Karena dia tidak lagi menggunakan speaker, aku tidak lagi bisa mendengar apa tanggapan dari lelaki di seberang telepon tentang kehadiran kami di kamar ini. Pembicaraan mereka berlanjut ke hal-hal lain yang kadang tidak aku perhatikan karena dalam hati aku sudah bertekad dengan bukat untuk segera angkat kaki keesokan hari dari hostel ini. Sungguh hatiku tidak bisa terima dengan ucapannya. Aku tidak enak jika nanti atau besok aku malah lepas kendali dan bertengkar dengannya. Ini negeri orang soalnya. Maka sambil berbaring di tempat tidur, aku mencari-cari referensi di internet tentang hostel lain di sekitar tempat kami saat ini.

Tak lama dia selesai teleponan. Karena Imel (panggilan Melgis) yang di bawah, maka dia duluan menegur Imel. Tampaknya dia sudah keluar dari ‘gua’nya. Dia bertanya-tanya pada Imel tentang kami, dari mana dan lain-lain. Lalu dia bertanya,
“Is it your sister?”, mungkin dia menunjuk aku.
“Yes…”
“I think your sister is sleeping..”, katanya lagi.
Hah..?? Apa urusannya aku tidur atau tidak..?! Memang posisiku menelungkup dan tampak seperti tidur.

Lalu dia entah berbicara apa lagi ngalor-ngidul dengan Imel. Berhubung lampu di ruangan itu hanya lampu baca yang ada di setiap sisi tempat tidur, maka cahaya di dalam kamar itu tidak terlalu terang. Karenanya aku mencoba mengintip sedikit ke bawah, ingin melihat seperti apa tampang perempuan yang dari suara dan cara berbicaranya aku bisa menyimpulkan dia orang yang sangat cerewet dan arogan. Dan ternyata ‘penampakan’ yang kulihat sungguh membuatku terbelalak. Dia seorang wanita bertampang India, keling, namun dengan dandanan yang “na’uzubillah”.. Dia memakain terusan tanpa lengan dengan belahan dada SANGAT RENDAH! Maka dengan loyalnya ‘penampakan’ di dadanya mencuat. Langsung terbersit di kepalaku tentang pekerjaannya. Apalagi dengan pakaian dan sepatu-sepatu berhak tinggi berwarna-warni yang tadi kulihat. Rasa-rasanya, jelaskah bahwa dia seorang..., ahh…entahlah..

Aku memutuskan untuk tidur, dan saat aku terbangun, wanita itu sudah tidak ada lagi tapi Imel belum tidur. “Mana dia tadi, Mel?” tanyaku pada Imel.
“Katanya dia pergi kerja, Kak,” jawab Imel.
Haahhh…?? Aku lihat jam, dan tampaknya saat itu pukul satu dini hari. Jam segini baru pergi kerja..? Dugaanku semakin menguat. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa pada Imel, dan sebaliknya melanjutkan tidurku, namun hatiku sudah begitu bulat untuk pindah hostel besoknya.


**Bersambung ke “Day 2”

Sabtu, 15 Maret 2014

A Motivator for Me

Kasih sayang Allah Ta'ala kepada hamba-Nya tidak semata-mata ditunjukkan-Nya berupa rejeki dalam bentuk materi. Terkadang Dia menunjukkan kasih sayang-Nya dengan mengirimkan orang-orang baik kepada kita (baca: aku). Orang yg dari segi waktu, situasi dan kondisi sebenarnya tidak perlu memiliki kepedulian lagi padaku, yang senyatanya tidak ada pengaruh dan manfaat pada dirinya untuk peduli pada kondisiku, namun karena Allah Ta'ala menanamkan rasa sayang sesama saudara pada hatinya kepadaku, dia menyempatkan diri untuk menghubungi, menanyakan kabar (yang sebenarnya sudah dia ketahui selama ini) dan memberikan nasihat, dukungan, dan solusi atas permasalahan yg selama ini mungkin mesti kutanggung sendiri walau diri ini sebenarnya tak kuat lagi. Segala puji bagi Allah Ta'ala atas segala rencana indah-Nya, terima kasih tak terhingga kepadamu teman yg sudah mau berbagi dan mendengarkan isakku, hanya Allah Ta'ala yg dapat membalas kebaikanmu.. Thanks a lot of so much my dear bro.. Semoga Allah Ta'ala selalu melindungimu dan keluargamu, dan semoga aku dapat menemukan hikmah dan menjalankan apa-apa yang telah engkau nasihatkan kepadaku..

Sabtu, 22 Februari 2014

Rencana ke Singapura (semoga terwujud)

Entah bagaimana awalnya, tahu-tahu aku, Melgis, Elfi dan Ike (teman-teman satu kelas di lokal Pendidikan Bahasa Inggris Program Magister Pascasarjana UIN Suska Riau), merencanakan perjalanan ke Singapura. Di dalam kelas, saat dosen tidak ada di ruangan, kami berempat mempersiapkan segala sesuatu mulai dari waktu, moda transportasi, penginapan, dan tentu saja dana.
Entah bagaimana akhirnya, aahh...mudah-mudahan jadi.. :-)

Minggu, 08 Desember 2013

Ulasan Novel "East of Eden" Karya John Steinbeck



John Ernst Steinbeck (lahir di Salinas, California27 Februari 1902, meninggal dunia di New York City20 Desember 1968) adalah salah satu penulisAmerika Serikat terkenal di abad ke-20 yang memenangkan Penghargaan Nobel Sastra pada 1962. Karya-karyanya yang menjadikannya terkenal adalah Tortilla Flat (1935; difilmkan 1942), Of Mice And Men (1937; difilmkan 1939 dan 1999), The Red Pony (1937; difilmkan 1949). The Grapes of Wrath (1939, memenangkan Hadiah Pulitzer; difilmkan 1940), The Moon Is Down (1942; difilmkan 1943), Cannery Row (1945; difilman 1982), The Pearl (1947; difilmkan 1948), The Wayward Bus (1947, difilmkan1957), serta East of Eden (1952; difilmkan 1955). Pada tahun 1962, Steinbeck memenangkan Hadiah Nobel atas karya-karya sastranya yang “realistis dan imajinatif, menggabungkan humor simpatik dan persepsi sosial yang tajam.”
Novel ini bercerita tentang dua keluarga yang baru saja pindah ke Salinas Valley, California, AS. Kedua keluarga ini memiliki karakter yang berbeda. Keluarga Hamilton berasal dari Irlandia Utara. Keluarga Hamilton bisa dikatakan sebagai one big happy family (keluarga besar yang harmonis), nyaris tidak ada konflik berarti dalam keluarga ini. Dikepalai oleh Samuel Hamilton yang ramah, hangat, penolong, bersahaja dan relijius, keluarga ini tumbuh dalam kasih sayang yang cukup. Samuel adalah seorang pandai besi yang disukai dan disegani di lingkungannya.
Sedangkan keluarga Trask bisa dikatakan keluarga broken home (berantakan) walau hanya beranakkan dua (Adam dan Charles). Cyrus Trask adalah seorang pembual besar yang seringkali bercerita kepada semua orang seolah-olah dia kenal dekat dengan semua orang penting, termasuk Presiden AS, Abraham Lincoln. Dia meninggal dengan mewarisi uang $100.000 kepada kedua anaknya yang bingung darimana ayahnya bisa mendapatkan uang sebanyak itu dan menduga ayah mereka penipu ulung.
Keadaan keluarga Trask semakin parah dengan kehadiran seorang wanita cantik berwajah innocent namun berhati iblis bernama Cathy Ames. Cathy adalah seorang pelacur kelas kakap yang nyaris mati dibunuh oleh Edwards, seorang pengusaha rumah bordil yang menjadikan Cathy simpanannya. Cathy ditemukan di belakang rumah Trask bersaudara dalam keadaan sekarat dan kemudian dirawat oleh kedua bersaudara itu. Charles dapat menangkap gelagat tidak baik dari Cathy, namun Adam terlanjur jatuh hati pada wanita itu hingga menikahinya. Pernikahan mereka dikaruniai dua anak lelaki kembar yang diberi nama Aron dan Caleb, pelesetan dari Cain dan Abel (Kain dan Habel dalam Book of Genesis atau Kitab Kejadian, dalam Islam Qabil dan Habil), dua anak lelaki Nabi Adam dengan kisah pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia. Ironisnya kedua anak lelaki ini sesungguhnya anak Cathy dan Charles, bukan Cathy dan Adam. Karena merasa hidupnya terikat oleh Adam, baru dua minggu setelah melahirkan, Cathy berniat pergi namun ditahan oleh Adam. Cathy menembak Adam dan meninggalkannya dan kedua anaknya yang masih bayi. Beruntung ada Lee, pembantu keluarga Trask yang kemudian merawat kedua anak lelaki ini hingga tumbuh remaja.
Beranjak remaja, Cal tumbuh lebih liar daripada Aron. Aron yang relijius sangat disayangi ayahnya, sedangkan Cal sering disalahkan oleh ayahnya. Hal ini membuat Cal iri. Cal juga tidak percaya bahwa ibunya sudah meninggal dan mencarinya hingga akhirnya menemukannya. Adam pun akhirnya diberitahu oleh Samuel Hamilton tentang keberadaan Cathy. Dia mencarinya, menemukannya, dan mengetahui dari Cathy sendiri bahwa Aron dan Cal bukan anaknya, melainkan anak Charles. Namun hal itu justru membuat Adam merasa jauh lebih baik dan menyadari bahwa dia tidak mencintai Cathy lagi. 
Karena iri pada Aron, Cal sengaja membawa Aron ke ibunya yang menjadi seorang pengusaha rumah bordil. Hal ini membuat Aron terluka sehingga dia memutuskan untuk pergi jauh untuk melupakan semua kejadian tidak menyenangkan dalam hidupnya. Dia bergabung sebagai tentara tanpa sepengetahuan ayahnya dan tewas di medan perang. Mengetahui hal ini, Adam kembali depresi hingga wafat. Sementara itu, lelah dengan paranoidnya terhadap dunia, Cathy mengakhiri hidupnya di sebuah ruang pribadi dalam rumah bordil miliknya. 
Sebagai sebuah cerita yang terinspirasi dari kisah nyata, novel ini memang agak ‘berat sebelah’ dan menampakkan sisi hitam dan putih manusia. Keluarga Hamilton – yang notabene kakek Steinbeck sendiri – digambarkan sebagai keluarga baik dan kurang tereksplorasi. Sementara itu, keluarga Trask sangat kacau balau dan cenderung tragis, yang sepertinya mewarisi keburukan turun-temurun. Penggambaran Cathy Ames juga terlalu iblis, sepertinya dia tidak mempunyai sejumput sisi baik pun pada dirinya. Kurang jelas juga mengapa dia mempunyai sifat-sifat iblis yang begitu besar sejak masih anak-anak. Sebagai seorang anak kecil, dia terlalu cerdik untuk bersandiwara di depan orang tuanya dengan berpura-pura menyesal karena telah bolos sekolah, dan terlalu sadis untuk membakar kedua orang tuanya sendiri dan menghilangkan jejaknya sehingga juga dikira ikut tewas. 
Namun secara umum, deskripsi dan narasi Steinbeck tak dapat dipungkiri sangat baik. Penceritaan dari sudut pandang narator dengan penceritaan tokoh yang berpindah-pindah tidak membuat ceritanya melompat-lompat. Kedua keluarga yang sangat berbeda karakter ini hanya dihubungkan oleh seorang Samuel Hamilton yang bijaksana, namun peran Samuel tidak bisa dibilang kecil. Namun, peran ini membuat Samuel menjadi seperti malaikat dalam cerita ini. Jika dibandingkan dengan “Of Mice and Men”, East of Eden kurang greget dan akhir cerita pun cenderung biasa saja, tidak seperti “Of Mice and Men” yang memang unpredictable dan mendebarkan. Tapi Steinbeck tetaplah Steinbeck, toh Nobel-nya tidak bisa ditarik juga...