Kamis, 28 Juli 2011

Menyambut Bulan Ramadhan, Hati-Hati Ritual Anehnya

Tiba saatnya kaum muslimim menyambut tamu agung bulan Ramadhan, tamu yang dinanti-nanti dan dirindukan kedatangannya. Sebentar lagi tamu itu akan bertemu dengan kita. Tamu yang membawa berkah yang berlimpah ruah. Tamu bulan Ramadhan adalah tamu agung, yang semestinya kita bergembira dengan kedatangannya dan merpersiapkan untuk menyambutnya.

Sebagai rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pula hendaklah kita hidupkan bulan yang penuh barakah itu dengan amalan-amalan shalih, amalan-amalan yang ikhlash dan mencocoki sunnah Rasulullah. Kita menjauhkan dari amalan-amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah berwasiat :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang membuat-buat amalan baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Para ‘ulama berkata : “Bahwa hadits merupakan kaidah agung di antara kaidah-kaidah Islam. Ini merupakan salah satu bentuk jawami’ kalim (kalimat singkat namun bermakna luas) yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini sangat jelas dalam membatalkan semua bentuk bid’ah dan hal-hal baru yang dibuat dalam agama. Lafazh kedua lebih bersifat umum, karena mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah, walaupun pembuatnya orang lain.”

Termasuk perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan dengan amalan atau ritual tertentu, di antaranya :

1. Padusan atau Balimau Kasai, yaitu mandi bersama-sama dengan masih mengenakan busana, terkadang ada yang memimpin di suatu sungai, atau sumber air, atau telaga. Dengan niat mandi besar, dalam rangka membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Sampai-sampai ada di antara muslimin yang berkeyakinan kalau sekali saja terlewat dari ritual ini, rasanya ada yang kurang meski sudah menjalankan puasa. Jelas perbuatan ini tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga para shahabat, para salafus shalih, dan para ‘ulama yang mulia tidak ada yang mengamalkan atau menganjurkan amaliah tersebut. Sehingga kaum muslimin tidak boleh melakukan ritual ini. Belum lagi, dalam ritual Padusan ini, banyak terjadi kemungkaran. Ya, jelas-jelas mandi bersama antara laki-laki dan perempuan. Jelas ini merupakan kemungkaran yang sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam.

2. Nyekar di kuburan leluhur.
Tak jarang dari kaum muslimin, menjelang Ramadhan tiba datang ke pemakaman. Dalam Islam ada tuntunan ziarah kubur, yang disyari’atkan agar kaum muslimin ingat bahwa dirinya juga akan mati menyusul saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga dia pun harus mempersiapkan dirinya dengan iman dan amal shalih. Namun ziarah kubur, yang diistilahkan oleh orang jawa dengan nyekar, yang dikhususkan untuk menyambut Ramadhan tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam. Apalagi mengkhusukan nyekar di kuburan leluhur. Ini adalah perkara baru dalam agama. Tak jarang dalam ziarah kubur tercampur dengan kemungkaran. Yaitu sang peziarah malah berdoa kepada penghuni kubur, meminta-minta pada orang yang sudah mati, atau ngalap berkah dari tanah kuburan! Ini merupakan perbuatan syirik!

3. Minta maaf kepada sesama menjelang datangnya Ramadhan.
Dengan alasan agar menghadapi bulan Ramadhan dengan hati yang bersih, sudah terhapus beban dosa terhadap sesama. Bahkan di sebagian kalangan diyakini sebagai syarat agar puasanya sempurna. Tidak diragukan, bahwa meminta maaf kepada sesama adalah sesuatu yang dituntunkan dalam agama, meningat manusia adalah tempat salah dan lupa. Meminta ma’af di sini umum sifatnya, bahkan setiap saat harus kita lakukan jika kita berbuat salah kepada sesama, tidak terkait dengan waktu atau acara tertentu. Mengkaitkan permintaan ma’af dengan Ramadhan, atau dijadikan termasuk cara untuk menyambut Ramadhan, maka jelas ini membuat hal baru dalam agama. Amaliah ini bukan bagian dari tuntunan syari’at Islam.

Itulah beberapa contoh amalan yang tidak ada tuntunan dalam syari’at yang dijadikan acara dalam menyambut bulan ramadhan. Sayangnya, amaliah tersebut banyak tersebar di kalangan kaum muslimin.

Semestinya dalam menyambut Ramadhan Mubarak ini kita mempersiapkan iman dan niat ikhlas kita. Hendaknya kita berniat untuk benar-benar mengisi Ramadhan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih. Baik puasa itu sendiri, memperbaiki kualitas ibadah shalat kita, berjama’ah di masjid, qiyamul lail (shalat tarawih), tilawatul qur’an, memperbanyak dzikir, shadaqah, dan berbagai amal shalih lainnya.

Tentunya itu semua butuh iman dan niat yang ikhlas, disamping butuh ilmu tentang bagaimana tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam melaksanakan berbagai amal shalih tersebut. agar amal kita menjadi amal yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga perlu adanya kesiapan fisik, agar tubuh kita benar-benar sehat sehingga bisa menjalankan berbagai ibadah dan amal shalih pada bulan Ramadhan dengan lancar.

Puncak dari itu semua adalah semoga puasa dan semua amal ibadah kita pada bulan Ramadhan ini benar-benar bisa mengantarkan kita pada derajat taqwa di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang gagal dalam Ramadhan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر
“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar saja. Dan berapa banyak orang menegakkan ibadah malam hari, namun tidak ada yang ia dapatkan kecuali hanya begadang saja.” (HR. Ibu Majah)

Semoga kita termasuk orang yang mendapat keutamaan dan fadhilah dalam bulan Ramadhan ini. Semoga Allah menyatukan hati-hati kita di atas Islam dan Iman. Dan semoga Allah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai jembatan menuju keridhaan Allah ‘Azza wa Jallah dan meraih ketaqwaan kepada-Nya.

Wallähu a’lam..


Disarikan dari: Redaksi Assalafy.org (http://www.assalafy.org/mahad/?p=340&print=1)

Minggu, 17 Juli 2011

DI SEBUAH KOTA ASING (Cerpen Terjemahan - dimuat di Riau Pos Ahad, 17 Juli 2011)

Oleh : Tamim Ansary
Diterjemahkan oleh : Febby Fortinella Rusmoyo

Aku tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi di penjara, hanya bentuk dan perasaanku tentang tempat itu saja yang dapat kuingat. Langit-langit yang rendah, dengan bau lembab, mata-mata sendu para penghuni penjara yang perlahan-lahan menjadi buta karena terbiasa hidup di kegelapan. Aku juga ingat keributan di lorong-lorong: lima ratus percakapan terjadi dalam sekali waktu, denting sendok-sendok logam yang berbenturan dengan piring logam, racauan dan dentingan yang menyatu namun tak pernah berujung.
Dalam bilik sel, setiap siang dan malam, kau bisa mendengar suara dinding yang dikikis dengan sendok logam. Sebenarnya tembok kokoh itu tak bisa dilubangi dengan sendok aluminium, namun kami tetap saja berusaha mengikisnya. Cara itu sudah seperti ritual keagamaan bagi kami, cara untuk meyakini ada kehidupan setelah keluar dari penjara.
Para sipir tidak pernah menyita peralatan logam kami kecuali jika dapur kekurangan peralatan. Mereka hanya mondar-mandir di sepanjang lorong, menyeret-nyeret langkah mereka seperti bayi kurus.
Aku pasti telah ratusan kali membuat rencana melarikan diri dengan lusinan teman yang berbeda, dan aku tak ingat satu pun dari mereka. Suatu malam, aku sedang bersama dua pria yang tak kukenal ketika tiba-tiba satu dari sejuta tembakan itu terdengar, dan kami bertiga terlonjak kaget. Hal selanjutnya yang kami ketahui, kami berjalan terhuyung-huyung melintasi lapangan yang beku dibawah sinar purnama, sementara anjing-anjing polisi memimpin pengejaran di bagian jalan yang lain, mengikuti aroma yang salah sampai mereka melolong nyaring di kejauhan.
Untuk beberapa saat, kami berjalan terpincang-pincang bersisian, tak mendengar apapun selain dentingan rantai di kaki kami dan derak salju beku yang terinjak kaki kami. Aku ingat kemudian berhenti di sebuah rumah kosong dan menemukan peralatan toko di lantai bawah tanahnya, dan kami menangis tersedu-sedan setelah berhasil memecahkan rantai yang selama ini membelenggu kami. Kami mencuri beberapa pakaian, mengambil uang tunai yang tersimpan, dan melanjutkan perjalanan, berjalan hingga kami tersesat dan terus berjalan. Hari berganti menjadi malam dan setiap kota tampak serupa. Dari arah hutan, aku bisa mendengar gema derap kaki tiada henti saat sedang melarikan diri, dan mendengar detak jantung sendiri. Malam ketika kami tiba di kota ini, Joe bahkan tidak ingin berhenti untuk minum bir, tapi kami semua menginginkannya, sehingga dia tidak punya pilihan lain.
Di dalam bar, musik melantun dari kotak musik besar dari perak. Sekelompok koboi duduk di sebuah meja besar, minum dan tertawa. Kami tidak memilih duduk di pojok karena akan terlihat mencurigakan. Karenanya, kami tidak membuka kancing jaket dan duduk di sebelah meja para koboi, untuk menunjukkan bahwa kami tidak sedang menyembunyikan sesuatu. Ruangan itu beraroma bir yang menyengat dan pengap oleh asap rokok. Kotak musik itu mendentingkan, “Your cheating heart…”
Seorang wanita gemuk yang mengenakan pantalon nilon berwarna kuning mendatangi kami. Sebuah lampu gantung kuning merefleksikan bayangan setiap gumpalan pada wajahnya. “Pesan apa, anak-anak?”
“Beri mereka salah satu yang ada disini, Tillie,” teriak salah seorang koboi yang sudah mabuk, dan teman-temannya menyahut, “Yah!”
Wanita itu meletakkan gelas dengan kasar di meja kami, dan salah satu koboi meletakkan tangannya di pundak Joe yang kecil. “Tak seorang pun meninggalkan tempat ini tanpa mabuk, mengerti, teman?” Dia nyengir lebar.
“Harap…” Joe baru akan berbicara tapi Harry memelototinya. Kami tidak boleh menolak persahabatan dari orang lain disini, itu akan mencurigakan. Aku menahan Joe di tempat duduknya. “Minumlah, Joe, teman kita ini yang mentraktir!”
Joe tertawa dan menuang seluruh isi gelasnya ke tenggorokannya sementara para koboi berteriak-teriak, “Hajar! Hajar!” sambil memukul-mukul meja. Saat kami akan pergi, mereka berteriak,“Hei, pelayan. Kita biarkan saja anak-anak ini pergi? Gembok kunci itu!” Mabuk membuat mereka sejinak anak anjing. Hal terakhir yang kuingat pada malam itu adalah kami berdansa diatas meja dengan gelas di tangan masing-masing sambil bernyanyi,“Sonuva gun, gonna’ have some fun, in the bayou.” Sementara di dalam kepalaku, aku bisa mendengar suara anjing polisi datang.
Keesokan paginya mereka memberi kami sarapan bubur jagung dan melimpahi kami dengan keramahtamahan. Sial, mereka benar-benar menyukai kami! Tanpa kami ketahui, ternyata kami sudah dipesankan kamar hotel. Ketika beberapa penduduk kota ingin mengundang kami makan malam, Harry ingin menolaknya tapi Joe memberinya pengertian. “Memangnya kenapa?”
“Mereka tahu siapa kita,” gerutu Harry. “Mereka sedang mempermainkan kita.”
“Penahanan ini memang sangat buruk,” sahut Joe.
“Jika mereka tahu siapa kita,” sahutku, “lebih baik kita tidak membiarkan mereka tahu bahwa kita tahu akan hal itu.”
Karenanya kini kami tak ingin ambil pusing tentang masalah ini. Kami pergi ke alun-alun tempat berdansa setiap Jumat malam. Harry bahkan kini mulai diminta berdansa di depan. Kami sendiri tak sadar bahwa kami memiliki bakat ini. Keluarga Brown mengundang Harry untuk makan malam Thanksgiving. Lalu kami semua mendapat undangan dari keluarga Smith untuk menghadiri makan malam setiap minggunya, dan apa lagi yang bisa kami katakan? Joe bahkan terpeleset satu kali ke sebuah sekolah menengah, dan tanpa sepengetahuan kami, mereka menyuruhnya mengajar di Sekolah Minggu.
“Brengsek! Ini sudah keterlaluan!” umpat Joe. “Kita harus segera pindah.”
“Tak bisa,” jawab Harry. “Akan terlihat mencurigakan.”
Dialah orang pertama diantara kami yang mempunyai rumah. Laura membantu kami pindah. Dia adalah putri Tillie, dengan rambut pirang yang dikepang, rok dari kain genggam, dan tungkai kaki yang seolah dapat menjangkau ruang bawah tanah kalau saja tidak ada lantai. Kadang-kadang dia membawakan kami kue pai jika kami sedang di halaman. Setiap panen tiba, keluarganya mengundang kami untuk makan malam Thanksgiving. Aku duduk dengan tenang menanti makanan seperti anak kecil yang menunggu diberi biskuit. Dua puluh lima percakapan terjadi bersamaan di sekitar meja makan. Mereka berbaur dalam kebisingan tak menentu yang bercampur dengan denting sendok dan piring porselin. Aku bisa mendengar dengan jelas gema keras di dadaku, suara itu masih ada. Saat kubuka mataku, aku melihat Tillie sedang memandangiku dan hatiku ingin meledak.
Dia memalingkan wajahnya.
Dan saat itulah aku sadar bahwa dia tahu.
Dia berujar, “Makan, Willie, kau belum makan sedikit pun!” dan semua tertawa, namun dia sedang berpura-pura. Dibalik tawa besar itu dia dingin dan tenang, dengan pandangan tajam.
“Permisi,” ujarku. “Kurasa aku kekenyangan.” Aku meninggalkan kursiku, meluncur pulang.
Kedua temanku yang lain menyusulku beberapa menit kemudian. “Tillie tahu,” ujarku.
Aku ingin seseorang mengatakan padaku bahwa aku hanya mengimajinasikan sesuatu, tapi Harry justru mendukungku, “Aku juga merasakannya.”
Aku merasakan sakit yang lain. “Apa yang harus kita lakukan?”
“Cabut!” jawab Harry.
“Kabur!” imbuh Joe. “Inilah saatnya, Bung.”
“Tapi kau punya rumah, Harry! Aku punya Laura. Bagaimana kita bisa pergi?”
“Jika ini antara penjara dan sesuatu yang lain,” kata Harry. “Aku memilih kejahatan yang lebih kecil.”
Sebelum aku bisa membantah, seseorang mengetuk pintu.
Wajah Tillie Brown muncul di pintu terpantul dari cahaya obor. “Nah, disini kalian rupanya,” dia terkekeh, tapi sesaat setelah tawanya itu, aku mendengar desing masam kebohongan. “Kalian tak berpikir untuk melarikan diri, bukan?”
Joe menjadi pucat.
“Aku ada satu dua hal yang ingin kukatakan pada kalian, anak-anak. Jika kalian tahu apa yang kumaksud.” Tillie mengedipkan mata. “Aku sudah lama memperhatikan kalian. Aku mengawasi kalian.” Karena kami tetap tak bersuara, dia melanjutkan. “Kau begitu manis pada putriku, benar kan, Willie? Kau pikir dia siap untuk pria sepertimu? Siapkah?”
Dia meraih telepon. Aku tak bisa berkata atas kengerian ini. Kami telah menunggu lama. Dia sedang menghubungi melalui telepon. Saat itulah Joe memukulnya dengan tongkat yang terletak di dekat perapian. Dia memukulkan kait tumpul itu tepat di tengkoraknya. Ujungnya menancap di dahinya. Aku tak pernah sekaget ini. Bukan berarti karena aku buronan maka aku sudah berubah. Jauh di dalam hatiku, bagaimanapun, bersamaan dengan rasa kagetku, kurasa aku merasa lega.
Paling tidak keraguan itu sudah berakhir. Kami tahu apa yang akan kami lakukan selanjutnya. Aku bergegas ke kamar tidur dan menjejalkan pakaian secukupnya untuk kami bertiga ke dalam tas. Namun saat aku baru saja meraih gagang pintu depan, bel pintu berbunyi dan seketika aku berhadapan dengan petugas UPS.
“Paket untuk Tillie Brown,” katanya.
“Dia tidak tinggal disini.”
“Aku tahu,” jawabnya sambil tertawa, “tapi aku melihatnya masuk kesini tapi dia tidak keluar.”
“Akan kusampaikan paketnya.”
“Maaf, Nak. Pesanan khusus. Harus diserahkan langsung ke tangan yang bersangkutan.”
“Mmm.., dia sedang di kamar mandi saat ini, jadi...”
Di belakangku, entah bagaimana, pada saat yang sama, Harry nyeplos, “Dia di rumah sekarang, dia di rumah sekarang!”
“Lho, jadi mana yang benar,” tanya petugas UPS sambil menyipitkan matanya curiga. “Dia sedang di kamar mandi atau di rumah? Katakan, apa yang sebenarnya terjadi disini? Sebaiknya aku masuk dan melihat ke dalam.”
Petugas UPS itu mulai masuk ke dalam. Sumpah aku sudah melupakan senjata. Tapi entah bagaimana tiba-tiba benda itu sudah ada dalam genggamanku. Pada jarak sedekat itu, dia praktis menjadi hancur. Aku bersumpah pada Tuhan, aku tidak bermaksud melakukan itu. Aku bersumpah pada Tuhan, aku merasa sakit jiwa saat darahnya terciprat ke obor.
Saat berikutnya, aku duduk disana dengan pistol panas di tanganku dan teman-temanku mencengkeram lenganku. “Sekarang kita berdua telah melakukannya dan habislah kita,” ujar Joe serak. “Klub Pembunuh.”
“Dan aku sepertinya akan bergabung,” balas Harry. Tetangga kami baru keluar dari rumahnya. Dia pasti telah melihat semuanya, karena kini dia berdiri disana mematung dengan ketakutan dan menyesal, berharap dia tidak pernah datang melihat semuanya. Dia berbalik namun sudah terlambat.
“Memang seharusnya begitu.” Harry meniup asap bekas letusan pistolnya dan berkata, “Ayo bergegas! Jika kita beruntung, tak seorang pun bisa menemukan mayat-mayat ini hingga kita sudah lima puluh mil jauhnya.”
Satu hal yang harus kujelaskan. Kami bertiga sudah berkomitmen menjadi pembunuh, namun Harry memang yang terburuk diantara kami. Aku membunuhnya karena itulah hal terbaik yang dilakukan. Tak seorangpun mengharapkan dirinya. Aku menembaknya langsung ke jantung dan dia mati tanpa mengerang sedikitpun. Itulah yang terbaik.
“Panggil polisi!” bentakku. “Nanti kita katakan Harry ngamuk dan menembak mereka semua. Untung kita bisa menghentikannya sebelum dia membunuh lebih banyak lagi. Benar kan, Joe? Benar? Kau berada di pihakku, kan? Joe?”
Joe tertawa miring. “Aku hanya ingin bertahan hidup,” jawabnya.
“Betul sekali! Ini akan membuat kita berdua bertahan hidup. Kau akan lihat nanti, oke?”
Dia tak punya pilihan lain. Kami adalah tim, dia dan aku. Itu terjadi sudah lama sekali, tentu saja. Aku akhirnya menikahi Laura pada tahun yang sama. Dia mencintaiku karena telah membalas kematian ibunya. Joe juga menikah, dan mereka tinggal di pinggir kota. Kami tidak lagi saling mengunjungi. Semuanya berjalan dengan baik, kurasa. Namun setiap malam, aku masih mendengar gonggongan anjing-anjing polisi berlari melewati rawa, tapi hanya aku yang dapat mendengarnya. Aku berdoa di gereja, dan ikut dansa Jumat malam di alun-alun. Aku harap Laura dapat memahaminya. Semua yang kulakukan adalah yang terbaik untuk kami. Aku selalu mencoba menekan kejahatanku, mengingat keadaan. Tak seorang pun dari kita bisa memilih keadaan. Asal tahu saja, dia bisa menerima cerita tentang apa yang kami katakan pada polisi, tapi itu tak cukup. Tak cukup bagiku dia mencintaiku dan tidak menyalahkanku. Aku ingin dia memaafkanku. Tapi bagaimana dia bisa memaafkanku jika aku tidak mengakui apa yang tidak aku lakukan? Setiap kali kami duduk sambil sarapan, aku nyaris tak bisa membayangkan apa yang akan dikatakannya atas detak jantungku. Aku sering berpikir kami memang hidup bersama saat ini, namun jika aku memandangnya aku sadar aku salah. Kami sesungguhnya hidup sendiri-sendiri.

* * *
Judul Asli : “Town of Strangers”
Sumber : http://www.identitytheory.com

Tamim Ansary adalah penulis dan pembicara publik asal Amerika Serikat berdarah Afganistan. Dia menulis buku West of Kabul, East of New York, sebuah buku yang diterbitkan beberapa saat setelah peristiwa serangan teroris 11 September 2001. Dia juga seorang kolumnis untuk ensiklopedia situs Encarta, dan penulis buku Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes. Dia juga merupakan fasilitator dari San Francisco Writers Workshop, pertemuan penulis lepas tertua yang masih terus dilaksanakan sampai saat ini di Amerika Serikat. Novelnya The Widow's Husband (terbit pada musim semi 2009 oleh penerbit Public Affairs Books) memenangkan Penghargaan 2010 Northern California untuk kategori non-fiksi umum.

Febby Fortinella Rusmoyo, lahir di Pekanbaru, 14 Februari 1982; alumnus UIN Suska Riau, bekerja di UIN Suska Riau, dan pernah belajar di Sekolah Menulis Paragraf, domisili Pekanbaru. Karya-karyanya pernah dimuat di Riau Pos dan puisinya termuat dalam buku “Rahasia Hati: Antologi Penyair Muda Riau 2010” yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.

Minggu, 10 Juli 2011

“Stressku Hilang Kalau Ke Mal”

Itulah kalimat yang pernah terlontar dari mulut salah satu teman dekat saya saat kami jalan-jalan ke mal setelah beberapa bulan tidak melakukan aktivitas itu karena kesibukan masing-masing. Sebenarnya saya ingin tergelak mendengarnya waktu itu, namun saya tahan untuk menjaga perasaannya, karena dia mengatakannya dengan sangat serius. Kalimat inilah yang muncul kembali dalam benak saya setelah membaca tulisan Marhalim Zaini mengenai mal (Mall; Permainan Simbol Sosial, Pembentukan Identitas Kultural, Riau Pos Edisi Ahad, 26 Juni 2011). Sedikit koreksi untuk Marhalim Zaini, sejauh pengetahuan saya, ejaan kata mall dari Bahasa Inggris itu sudah diindonesiakan menjadi “mal” (dengan hanya satu huruf l). Jadi mungkin ada baiknya jika kita menggunakan istilah Bahasa Indonesianya saja.
Dalam tulisannya, Marhalim Zaini (selanjutnya disebut MZ) memaparkan keberadaan mal yang sangat menjamur saat ini dari sudut pandang budaya, sesuai bidang pengetahuan yang sedang beliau gali. Tak dapat kita pungkiri bahwa aktivitas pergi ke mal saat ini memang sudah menjadi bagian dari gaya hidup kota metropolitan atau kota-kota yang sedang beranjak menuju kesana. Dari segi budaya, inilah mungkin yang disebutkan oleh MZ sebagai permainan simbol sosial dan pembentukan identitas kultural. Kasarnya, jangan mengaku orang jaman sekarang jika tidak pernah menginjakkan kaki di mal dan tidak pernah belanja di mal. Bahkan masyarakat dari luar kota besar pun sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi mal di perkotaan pada akhir pekan dengan menyewa satu atau dua bus dari daerah mereka masing-masing sekedar untuk menginjakkan kaki di mal. Ini dapat kita lihat di Pekanbaru kota tercinta kita ini.
Penyimbolan hidup konsumerisme dari kebiasaan ke mal ini tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang budaya. Kita juga dapat menyelaminya dari sisi psikologis seseorang. Makna dari bepergian ke mal bagi orang yang “senang” melakukannya dengan orang yang “sekedar” melakukannya tentu saja berbeda. Contoh kasus adalah antara saya dan teman dekat saya tadi. Bagi teman saya itu, pergi ke mal dapat menghilangkan stressnya, menurut pendapatnya. Namun bagi saya pribadi, pergi ke mal jika tidak ada tujuan justru malah akan menimbulkan stress. Ke mal bagi saya adalah “sekedar” mencari apa yang saya anggap dapat saya temukan dan beli disana. Ini tentu terkait dengan “pemaknaan” mal itu sendiri bagi masing-masing pihak. Bagi teman saya itu, merasa dirinya menjadi bagian dari modernisasi adalah sebuah kebanggaan. Maka ke mal, sebagai bagian dari modernisasi, adalah juga sebuah tempat yang layak dikunjungi dan layak untuk memberikan kepuasan batin pada dirinya. Sementara bagi saya, keramaian – apapun bentuknya, tradisional ataupun modern – sesungguhnya tidaklah menjadi pilihan.
Pemaknaan yang berlebihan terhadap mal agaknya dapat disebabkan oleh semangat pragmatisme masif yang telah menjadi modal sentral sistem nilai masyarakat modern saat ini. Segala sesuatu cenderung dinilai dengan standar gengsi populer (popular prestige) yang diyakini sebagai hal yang impresif, bonafid dan signifikan (Widiyanto, 2008). Hal ini terjadi dalam segala sisi kehidupan seperti memilih pakaian, bahan makanan, bahkan sekolahan, atau kegiatan rekreasi yang kebanyakan lebih mengacu pada pendapat khalayak. Apakah pakaian yang fashionable, makanan yang well quality, sekolah yang high rating, atau jenis kegiatan rekreasi yang ’berkelas’ seperti mal. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, tanpa sadar kita akan mulai kehilangan identitas diri. Segala sesuatu harus sesuai dengan apa yang orang lain kenakan, apa yang orang lain makan, apa yang orang lain lakukan, sehingga kita terperangkap pada hal-hal yang sesungguhnya tidak kita butuhkan. Inilah yang disebut sebagai alienasi oleh Eric Fromm dalam bukunya Escape From Freedom (1961, dalam Widiyanto 2008). Orang yang teralienasi ditandai hilangnya otentitas diri, dan tidak bisa membedakan keinginan diri dengan keinginan orang lain. Model hidup orang yang teralienasi tidak memiliki konsep identitas yang jelas, karena terlalu banyak menyerahkan dirinya pada sesuatu di luar dirinya (other direct focus).
Teman saya ini misalnya, dia mendaftarkan diri menjadi anggota sebuah pusat kecantikan yang ada di sebuah mal di kota Pekanbaru ini dengan membayar sekian ratus ribu dan membeli produk dengan harga sekian ratus ribu pula hanya karena mengikuti teman kantornya yang juga menjadi anggota. Padahal menurut saya, wajahnya tidak memerlukan perawatan khusus yang harus sampai ditangani oleh ahlinya yang memang disediakan di pusat kecantikan itu. Namun sekali lagi, dia sudah terjebak dalam alienasi. Apa yang orang lain lakukan, dia lakukan juga tanpa dia mempertimbangkan lebih dahulu apakah dia benar-benar perlu melakukannya atau tidak. Dia sempat mengajak saya juga untuk mendaftarkan diri tapi saya tolak mentah-mentah. Saya tidak merasa butuh melakukan perawatan itu. Wajah saya “tidak kenapa-kenapa”.
Pemaknaan yang berlebihan terhadap mal juga dapat menimbulkan efek negatif sisi psikologis yang lain. Bisa jadi hal ini menimbulkan gangguan jiwa shopaholic bagi seseorang. Shopaholic menurut Oxford Expans (dalam Rizka, 2008; dalam Susilowati, 2008) adalah seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja dan berbelanja selalu sehingga menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya tidak selalu ia butuhkan. Gejalanya bisa berawal dari bepergian ke mal dengan tujuan agar tampak modern dan “gaul”, lalu tidaklah enak jika tidak membeli, maka dibelilah barang yang sesungguhnya tidak diperlukan. Sekali, dua kali, dan akhirnya menjadi kebiasaan, dan berkembang menjadi gangguan jiwa yang tak tertahankan.
Teman saya ini mungkin belum termasuk kategori shopaholic akut seperti kasus dalam film Confession of A Shopaholic. Namun saya menangkap beberapa kebiasaannya membeli barang – terutama pakaian – yang sesungguhnya tidak dia butuhkan dan memang kenyataannya tidak pernah dipakainya setelah dibeli. Ketika pergi ke mal dengan saya waktu itu, dia sempat hampir membeli sehelai pakaian berbentuk rompi (entah apalah nama trend-nya, saya kurang paham fashion), yang menurut saya modelnya tidak karuan dan sangatlah gampang dibuat oleh ibunya yang tukang jahit bahkan mungkin hanya bermodalkan kain perca saja. Sungguh tak karuan! Tapi menurutnya itu yang sedang tren saat ini. Saya sempat menegurnya dan berkata, “Kalau cuma begitu ibumu juga bisa membuatnya.” Entah karena kata-kata saya itu atau memang tiba-tiba “il-feel” (hilang feeling, atau kehilangan “rasa” untuk melakukan sesuatu), dia tidak jadi membeli kain itu, dan saya bernafas lega.
Kembali pada keberadaan mal tadi, hal ini tentu saja tidak sepenuhnya salah. Keberadaan mal di tengah-tengah masyarakat perkotaan tentu juga memberikan efek-efek positif, terutama dari segi ketenagakerjaan yang banyak terserap karenanya. Namun adalah perlu bagi kita sebagai individu untuk mewaspadai kecenderungan abnormal kita terhadap mal yang dapat menimbulkan efek-efek negatif seperti yang telah dipaparkan diatas. Kini segalanya kembali pada diri kita masing-masing. Mencegah arus modernisasi dan globalisasi tentu saja perkara yang sangat sulit – jika tak ingin menyebutnya tak mungkin – bagi kita sebagai individu, bagian dari masyarakat. Namun membentengi diri dengan pengetahuan, kekuatan jati diri dan karakter, serta tentunya agama, dapat mencegah kita dari pemaknaan yang berlebihan atas keberadaan mal pada khususnya dan modernisasi pada umumnya, sehingga kita terhindar dari alienasi, liminalisasi, homogenisasi, atau apapunlah namanya, yang pada ujungnya menghancurkan identitas diri kita yang sesungguhnya.
Semoga dapat direnungi.