Kadang-kadang aku merasa
diriku orang yang terlalu kaku. Dari dulu aku mempunyai tipe pasangan ideal
yang menurutku bisa membuatku nyaman. Namun sayangnya aku masih salah
menentukan tipe, karena yang selama ini menjadi fokusku adalah tampilan kasat
matanya. Karenanya suatu kali aku terjerumus...
Adalah seorang – katakanlah – muridku. Kebetulan aku
pernah mengajar di sebuah lembaga pendidikan non formal, sesuai latar belakang
pendidikanku di bidang pengajaran. Murid itu, sebutlah namanya Bara, sepertinya
memang tipe laki-laki “keukeuh” kalau
sudah punya mau. Aku sempat sedikit terganggu dengan metode pendekatannya yang
menurutku agak membabi buta. Mengantar jemputku adalah sebuah kewajiban
baginya. Padahal mulanya aku menolak mentah-mentah. Tapi dia tidak pernah kecil
hati sampai akhirnya hatiku luluh dan menerima tawaran itu. Maksudku hanya
sekali itu, untuk membuatnya senang saja. Tapi yang sekali itu malah membuatnya
menjadi berada diatas angin untuk kemudian selalu menawari jasa ojeknya setiap
pulang, bahkan mengantarku kemanapun aku ingin pergi.
Hal lain yang membuatku sedikit jengah adalah
kebiasaannya memujiku. Pujian itu kadang-kadang berlebihan. Aku sering
menanggapinya dingin, bahkan terkadang membantahnya. Karenanya suatu kali dia
bertanya kenapa sepetinya aku tidak senang kalau dia memujiku. Aku bilang bukannya
tidak suka, tapi kalau sering-sering jadi basi. Ternyata dia menyamaratakan
semua wanita. Dianggapnya semua wanita senang dipuji, apalagi yang agak
berlebih. Hmmm..., dia belum tahu siapa aku... Tapi selain semua sikap
kekanak-kanakan yang dimilikinya, ternyata aku menemukan satu sifat ngemong pada dirinya. Mungkin karena dia
anak sulung sedangkan aku anak bungsu, jadi klop lah....
Satu
hal yang harus kuakui tentang dirinya, dia adalah cowok yang punya tipe yang
selama ini aku hindari: tinggi, kurus, putih, tampang cute, gaya funky (memakai
rantai-rantai tak jelas, gelang cowok dan sebagainya), dan – ini dia yang
paling parah – lebih muda, 4 tahun pula. Yah.., memang yang namanya perasaan tidak
bisa berpatokan pada teori. Memang sih pada akhirnya hubungan kita tidak
berlanjut karena dia yang merasa “terlalu beda dan terlalu jauh” denganku. Tapi
dalam hidup, kita bisa saja bilang suka seseorang seperti ini-itu dan sebagainya,
tapi ketika hati sudah terpaut, kita bisa saja mendapat seseorang yang bertolak
belakang dari yang kita bilang.
Aku
jadi ingat cerita salah seorang dosenku dulu. Dia cerita, dulu sebelum menikah,
dia punya daftar yang sangat panjang untuk persyaratan bagi wanita yang akan
menjadi pasangan hidupnya nanti, harus begini, harus begitu, dan sebagainya.
Tapi sekarang setelah akhirnya mendapat jodoh, dari semua daftar itu, hanya
satu yang terpenuhi, dan itu adalah….WANITA… Kontan seluruh isi kelas tertawa
terbahak-bahak... Ternyata dalam daftarnya itu tertulis wanita, putih,
langsing, hidung bangir, bibir merah delima, rambut mayang terurai, suara
lembut, kulit halus, senyum indah, berlesung pipi, patuh, malu-malu kucing, dan
sebagainya, tapi nyatanya dia mendapat istri yang tipikalnya seperti ‘kucing
hitam betina yang sedang hamil’…, hahaha….
Namun
cerita konyol tapi nyata itu sangat memberiku inspirasi untuk sadar bahwa kita
boleh saja punya segudang daftar tipe pasangan ideal, tapi yang namanya hidup,
mati, rejeki dan jodoh, sudah ditetapkan dalam “kontrak hidup” kita dengan
Tuhan sebelum kita lahir, sehingga yang seperti apapun yang kita dapatkan,
berarti itulah yang kita sepakati dalam “kontrak hidup” itu.