Jumat, 28 Oktober 2005

Pasangan Ideal



Kadang-kadang aku merasa diriku orang yang terlalu kaku. Dari dulu aku mempunyai tipe pasangan ideal yang menurutku bisa membuatku nyaman. Namun sayangnya aku masih salah menentukan tipe, karena yang selama ini menjadi fokusku adalah tampilan kasat matanya. Karenanya suatu kali aku terjerumus...
            Adalah seorang – katakanlah – muridku. Kebetulan aku pernah mengajar di sebuah lembaga pendidikan non formal, sesuai latar belakang pendidikanku di bidang pengajaran. Murid itu, sebutlah namanya Bara, sepertinya memang tipe laki-laki “keukeuh” kalau sudah punya mau. Aku sempat sedikit terganggu dengan metode pendekatannya yang menurutku agak membabi buta. Mengantar jemputku adalah sebuah kewajiban baginya. Padahal mulanya aku menolak mentah-mentah. Tapi dia tidak pernah kecil hati sampai akhirnya hatiku luluh dan menerima tawaran itu. Maksudku hanya sekali itu, untuk membuatnya senang saja. Tapi yang sekali itu malah membuatnya menjadi berada diatas angin untuk kemudian selalu menawari jasa ojeknya setiap pulang, bahkan mengantarku kemanapun aku ingin pergi.
            Hal lain yang membuatku sedikit jengah adalah kebiasaannya memujiku. Pujian itu kadang-kadang berlebihan. Aku sering menanggapinya dingin, bahkan terkadang membantahnya. Karenanya suatu kali dia bertanya kenapa sepetinya aku tidak senang kalau dia memujiku. Aku bilang bukannya tidak suka, tapi kalau sering-sering jadi basi. Ternyata dia menyamaratakan semua wanita. Dianggapnya semua wanita senang dipuji, apalagi yang agak berlebih. Hmmm..., dia belum tahu siapa aku... Tapi selain semua sikap kekanak-kanakan yang dimilikinya, ternyata aku menemukan satu sifat ngemong pada dirinya. Mungkin karena dia anak sulung sedangkan aku anak bungsu, jadi klop lah....
Satu hal yang harus kuakui tentang dirinya, dia adalah cowok yang punya tipe yang selama ini aku hindari: tinggi, kurus, putih, tampang cute, gaya funky (memakai rantai-rantai tak jelas, gelang cowok dan sebagainya), dan – ini dia yang paling parah – lebih muda, 4 tahun pula. Yah.., memang yang namanya perasaan tidak bisa berpatokan pada teori. Memang sih pada akhirnya hubungan kita tidak berlanjut karena dia yang merasa “terlalu beda dan terlalu jauh” denganku. Tapi dalam hidup, kita bisa saja bilang suka seseorang seperti ini-itu dan sebagainya, tapi ketika hati sudah terpaut, kita bisa saja mendapat seseorang yang bertolak belakang dari yang kita bilang.
Aku jadi ingat cerita salah seorang dosenku dulu. Dia cerita, dulu sebelum menikah, dia punya daftar yang sangat panjang untuk persyaratan bagi wanita yang akan menjadi pasangan hidupnya nanti, harus begini, harus begitu, dan sebagainya. Tapi sekarang setelah akhirnya mendapat jodoh, dari semua daftar itu, hanya satu yang terpenuhi, dan itu adalah….WANITA… Kontan seluruh isi kelas tertawa terbahak-bahak... Ternyata dalam daftarnya itu tertulis wanita, putih, langsing, hidung bangir, bibir merah delima, rambut mayang terurai, suara lembut, kulit halus, senyum indah, berlesung pipi, patuh, malu-malu kucing, dan sebagainya, tapi nyatanya dia mendapat istri yang tipikalnya seperti ‘kucing hitam betina yang sedang hamil’…, hahaha….
Namun cerita konyol tapi nyata itu sangat memberiku inspirasi untuk sadar bahwa kita boleh saja punya segudang daftar tipe pasangan ideal, tapi yang namanya hidup, mati, rejeki dan jodoh, sudah ditetapkan dalam “kontrak hidup” kita dengan Tuhan sebelum kita lahir, sehingga yang seperti apapun yang kita dapatkan, berarti itulah yang kita sepakati dalam “kontrak hidup” itu.

Jangan terlalu berpatokan pada tipe pasangan ideal yang kita dambakan. Cinta itu tanpa teori. Dia tidak peduli kepada siapa akan tertambat. Bahkan pada orang yang memiliki tipe yang selama ini kita hindari (terinspirasi pada September 2005).