Aku berjalan menyusuri padang pasir luas tanpa batas di
bawah teriknya matahari gurun. Tas yang kusandang di bahu terasa semakin
memberatkan. Tempat minumku tinggal berisi setengah. Entah sampai kapan aku
bisa bertahan. Padang pasir masih belum tentu ujungnya, sementara penderitaanku
pun tak kunjung reda.
Beberapa langkah
kemudian, tempat minumku sudah kosong. Aku sudah pasrah dengan keadaanku. Entah
siapa yang akan menemukanku terbujur kaku di padang pasir yang tak bersahabat
ini. Inikah Llano Estacado? Akankah
aku mati sia-sia di gurun ini?
Tiba-tiba terdengar
suara derap kaki kuda di kejauhan dari arah belakangku. Kuda..? Kalau ada kuda,
seharusnya ada penunggangnya. Semoga saja! Tapi dari mana datangnya? Tak mungkin
dia datang begitu saja tanpa asal. Tapi bagiku itu tak masalah. Yang penting
ada seseorang yang bisa membantuku, paling tidak untuk menambah persediaan
airku. Lagipula aku tidak berani menumpang dengan orang lain. Entah dia jahat
atau baik, siapa yang tahu.
Derap kaki kuda itu
semakin jelas terdengar. Debu mengepul di udara. Aku terus berjalan sambil
menutup hidung dan mulut agar tidak kemasukan debu. Akhirnya kuda itu berhenti
di sampingku. Masih sambil menutup hidung dan mulutku, aku memandang penunggangnya
dengan mata menyipit untuk menghindari masuknya debu. Seorang koboi bertampang
angkuh memandangku dari atas kudanya. Dengan kemeja polos berwarna coklat muda
plus rompi kulit berwarna coklat tua, dipadu jins coklat tua dilapisi kulit
pelindung kaki berwarna krem kumal, ditambah topi koboi berwana krem serta syal
merah, dan tentu saja sepatu koboi lengkap dengan tajinya, koboi itu tampak
begitu gagah. Selama beberapa saat kami hanya berpandangan. Matanya yang biru
kelam bersinar penuh pesona. Rambutnya yang coklat muda agak kepirangan hampir
tidak kelihatan di balik topi koboinya karena dipotong pendek.
Beberapa saat
kemudian, “Perlu bantuan?” dia bertanya dengan aksen barat daya yang kental. ‘Wow!’
batinku. “Kalau tak keberatan,” jawabku singkat. Aku tak bisa terlalu banyak
bicara, kerongkonganku sudah kering.
“Kenapa harus
keberatan?” balasnya sambil membentuk senyum manis di bibir tipisnya yang
justru malah menambah kesan gagah itu. Kemudian dia turun dari kudanya dan
berkata, “Naiklah!”
Dengan agak
ragu, aku menatapnya. Koboi-koboi seperi ini sulit dipercaya untuk mau membantu
orang lain di daerah barat liar ini. Mereka terlalu licik untuk dipercaya.
Melihatku yang tampak ragu, dia tertawa, “Kenapa? Takut? Kau tidak capek? Masih
sanggup melanjutkan perjalanan dengan matahari seterik ini? Aku tahu kau tidak
percaya padaku. Aku tahu kau takut disakiti. Tapi percaya sajalah... Aku takkan
menyakitimu. Naiklah sekarang! Kita tidak punya banyak waktu..”
Aku
masih berusaha mempertahankan diri. “Sebenarnya aku hanya ingin meminta sedikit
air untuk mengisi tempat minum ini,” ujarku menjelaskan.
Dia menghela nafas,
“Nona, kurasa kau takkan bisa bertahan hidup hanya dengan berbekal tempat minum
sekecil itu. Lagipula aku tak bisa memberimu air sekarang. Aku sendiri sudah
kehabisan air. Kalau mau air, bisa kau ambil di pondokku. Dan untuk itu kau
harus kuantar kesana. Sama saja kan?”
Karena merasa tak
punya pilihan lain, akhirnya aku mengalah. “Baiklah, aku akan ikut denganmu.”
Aku naik ke atas kuda, disusul olehnya yang duduk di belakangku. Sebelum
berjalan, dia masih memandangku dari samping. Aku bisa merasakannya karena
jarak wajah kami dekat sekali. Darahku serasa berhenti mengalir, atau mungkin
justru mengumpul di wajah.
Kami berjalan
lambat-lambat. Dengan beban dua orang seperti ini, kuda akan kelelahan jika
disuruh berlari. Koboi itu berusaha membuka percakapan, “Kau dari mana?”
“Dari selatan..”
“Bagaimana kau bisa
sampai kesini? Aku tak percaya gadis secantikmu berani mengembara di daerah
padang pasir yang buas ini. Terus terang, sebenarnya kau sangat beruntung
bertemu denganku. Kalau bertemu dengan yang lain, entahlah... Mungkin kau
takkan bisa menghirup debu padang pasir ini lagi. Oya, ngomong-ngomong siapa
namamu? Aku baru sadar kalau kita belum berkenalan.”
“Aku Dixie.”
“Hmm.., sesuai
dengan asalmu. Aku Drake. Senang berkenalan denganmu. Semoga kau menikmati
perjalanan ini.”
“Sama-sama. Kurasa
aku memang beruntung bertemu denganmu. Terima kasih atas bantuanmu.”
“Hei, jangan
terburu-buru, Nona! Kita belum sampai di pondokku. Kalau sudah sampai nanti, kau
akan lebih senang lagi. Aku yakin kau pasti akan tertarik dengan Red Wolf. Mungkin
dia agak kurang ramah, tapi sebenarnya dia baik.”
Red
Wolf? Kedengarannya seperti nama orang Indian. Benarkah? Asyik juga kalau benar
orang Indian! Sudah lama aku ingin berteman dengan orang Indian. Kata orang,
berteman dengan orang Indian berarti mendapat teman sejati seumur hidup,
bermusuhan dengan orang Indian berarti menggali kubur sendiri. Dan betapa
beruntungnya aku jika memang bisa berteman dengan orang Indian.
“...kau
juga boleh bermalam disana, kalau kau tak keberatan. Mau kan?” Aku terkejut.
Tak kusangka Drake masih terus bicara sementara aku termenung tadi. Aku tak
tahu apa yang dikatakannya.
“Mau kan, Dix?”
ulangnya lagi.
“Eh, mmm..., maaf!
Aku tak mendengarku. Kau bilang apa tadi?”
“Aku bilang,
sebentar lagi kita sampai di pondokku. Kau bisa mengambil air disana, bahkan
makanan juga bisa. Dan kalau kau kemalaman, kau bisa bermalam disana, walaupun
tempatnya agak sedikit menyedihkan. Sudah jelas kan?”
Aku tertawa,
“Ya..ya.., aku mengerti! Aku bahkan tak sabar lagi ingin cepat sampai disana.”
“Tenang, Nona
manis! Hanya tinggal beberapa meter lagi,” sahutnya.
Tak lama
kemudian mulai tampak pepohonan dan rerumputan. Kami pun memasuki hutan kecil
itu. Tak jauh dari hutan itu terlihat sebuah pondok dengan berukuran sedang, berdiri
di tengah padang rumput yang luas. Ahh...! Aku menarik nafas lega. Akhirnya
tiba juga kami di pondok surga. Bisa disebut begitu dengan keadaanku saat ini.
Lapar, haus, capek, ngantuk, gerah. Apalagi yang kubutuhkan saat ini selain
tempat beristirahat.
“Nah, itu
pondokku!” ujar Drake memecah keheningan kami selama ini. “Tidak terlalu
istimewa, tapi bisa memberimu cukup kepuasan.”
“Aku tak perlu yang
istimewa. Yang kubutuhkan sekarang hanya air, makanan, dan tempat tidur. Kalau
bisa mandi lebih bagus lagi.”
“Semuanya sudah
tersedia, Tuan Putri! Kami siap melayani Anda,” jawab Drake nakal. Aku tertawa
mendengar gurauannya. Jarang-jarang ada koboi bisa bercanda...
Akhirnya
kami benar-benar tiba di depan pondok itu. Di sampingnya, terpisah dari
bangunan pondok, terdapat kandang kuda dan tempat pengumpulan kuda dengan pagar
kayu di sekelilingnya. Lingkaran yang dibentuk dari pagar kayu itu terbilang cukup
besar, menandakan cukup banyaknya kuda yang ada, mungkin bisa memuat lebih dari
dua puluh ekor kuda, tergantung besarnya. Tapi walaupun tempat itu lebar, tak ada
satupun kuda di dalamnya. Mungkin mereka masih merumput, pikirku. Tapi dimana?
Dan siapa yang menjaga mereka?
“Ayo,
turun, Dix! Aku akan mengandangkan kuda ini dulu. Kalau kau ingin melihat-lihat
juga boleh. Kuda masih merumput bersama Red Wolf.”
Ternyata
dugaanku benar, kuda-kuda masih merumput, dan dijaga oleh Red Wolf. Seorang
Indian menjaga kuda..? Well.., apa
salahnya? Aku melihat-lihat sekeliling. Asyik juga tempat ini, jangan-jangan
aku malah betah disini!
“Dix,
kalau mau mandi ada tempat mandi di belakang. Tidak terlalu baik untukmu, tapi
aku janji tidak akan mengintip,” tiba-tiba Drake sudah muncul sambil
cengengesan.
Aku tertawa, “Coba
saja kalau berani, kau akan merasakan tinjuku...”
“Oya? Kurasa aku
malah ingin mencobanya...” balas Drake sambil tertawa juga.
Aku
masuk ke dalam pondok, disusul oleh Drake. Perabotan di dalam pondok itu tidak
banyak. Hanya ada sebuah meja makan sederhana dari kayu dengan lima kursi di
sekelilingnya. Juga ada sebuah dipan kecil untuk tempat istirahat. Selain ruang
depan yang mungkin bisa dianggap sebagai ruang tamu itu, ada dua ruangan lagi
yang kemungkinan kamar tidur.
“Dix,
kemarilah!” panggil Drake dari kamar yang terletak agak di belakang. “Kamar ini
memang kami khususkan untuk orang-orang yang ingin bermalam, jadi disinilah
tempatmu. Simpan perlengkapanmu disini!” Aku mengangguk. Tanpa bicara lagi,
Drake segera keluar entah kemana.
Aku terpaku sejenak
di dalam kamar itu. Disitu ada sebuah dipan kecil untuk tidur, sebuah lemari
kecil dengan cermin di pintunya yang hanya bisa menampakkan bagian kepala dan
leher saja. Lumayanlah, batinku. Kubuka pintu lemari itu. Ciiiit....! Bunyi engsel pintu lemari itu menandakan dia tidak
pernah dibuka. Dan..., puah...!
Debunya minta ampun. Kubatalkan niat ingin meletakkan tas di dalamnya.
Aku ke belakang,
mau mandi. Sudah berapa hari aku tak mandi, ya? Menjijikkan! Kamar mandi itu
pun juga darurat. Tapi lumayanlah sekedar untuk mengikis debu dan daki yang
sudah lengket di badanku. Selesai mandi, aku ke kamar. Sedikit mengemasi badan dengan
perlengkapan seadanya.
Menjelang sore, aku
menghabiskan waktu dengan makan dan beristirahat di kamar. Empuk juga kasurnya.
Aku sempat tertidur sampai kudengar ringkikan kuda di dekat jendela kamar. Kuintip
dari dalam. Kulihat sosok tegap berpakaian jumbai dari kulit, berambut lurus
sebahu, memakai ikat kepala merah, dan
pada ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit bison, terselip sebuah tomahawk, kapak khas orang Indian. Red
Wolf? Siapa lagi..? Seketika dia membalikkan badan. Segaris wajah asli Indian
terlukis disana. Dengan hidung seperti paruh burung, mata menjorok ke dalam dan
bersorot tajam, alis yang menonjol keluar, serta rahang persegi yang keras. Aku
terpaku memandangnya. Benar-benar Indian sejati!
“Sedang menikmati
sempurnanya sosok itu?” Aku dikejutkan oleh suara di belakangku. Drake! Aku
sampai tak menyadari kedatangannya karena terpesona melihat Red Wolf. Aku
berbalik dan menjawab, “Tidak juga. Hanya mencari kebaikan di wajah keras itu.”
“Kau tak perlu
meragukan itu. Dia orang paling baik dan tulus yang pernah kukenal. Aku tak
pernah percaya pada orang lain seperti rasa percayaku padanya. Percayalah,
kalau kau bersahabat dengannya, maka dia akan menjadi pelindungmu yang paling
setia.”
Begitukah?
Aku membalikkan badan lagi, kembali memandangi lelaki Indian itu. Drake keluar
menemuinya. Aku memperhatikan mereka berdua. Keduanya sama-sama berkharisma,
namun dengan tipe yang berbeda. Hmm.., pilihan yang sulit...
Tak lama
kemudian mereka menghilang, lalu terdengar ketukan di pintu kamarku. Kubuka
pintu dan kedua sosok yang membuatku bingung memilih itu kini berada di hadapanku.
Keduanya menatapku tajam. Aku jadi kikuk. Akhirnya, “Dix, ini Red Wolf! Red
Wolf, ini Dixie dari selatan!”
“Senang berkenalan
denganmu!” ujarku sambil mengulurkan tangan. Tapi Red Wolf tidak membalas
uluran tanganku. Aku jadi salah tingkah. Sementara Red Wolf hanya membalasnya
dengan anggukan kepala sambil masih menatap tajam. Kemudian dia meninggalkan
kami. Aku menatap kepergiannya dengan penuh tanda tanya dan beralih kepada
Drake.
“Maaf, Dix! Aku
lupa mengatakan kepadamu bahwa dia tidak ramah pada orang asing.”
“Ya, aku mengerti.
Memang sudah sifat Indian begitu kan..?”
Drake mengangkat
bahunya. “Well.., kau mau ikut mengandangkan
kuda?”
“Kalau kau dan Red
Wolf tidak keberatan.”
“Tentu saja tidak.
Aku malah senang.”
“Dan Red Wolf?”
Drake tersenyum, “Tenang
sajalah! Dia tidak akan marah. Dia hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri
dengan orang asing. Kalau kau ikut mengandangkan kuda, kurasa dia akan lebih
cepat menyesuaikan diri denganmu.”
“Baiklah!”
“Kau bisa
menunggang kuda kan?”
“Tentu saja!”
Drake
memberiku seekor kuda jantan berwarna coklat yang sangat gagah. Mulanya agak
susah menaikinya karena kuda itu begitu tinggi. Tapi akhirnya aku bisa
mengendalikannya karena kuda itu ternyata sangat jinak.
Kami
berkuda menuju padang rumput yang terletak di sebelah barat dari hutan yang
kami lewati tadi. Drake terkagum-kagum menyaksikan caraku menunggang kuda.
“Tak kusangka kau
sangat terampil menunggangi kuda,” teriaknya sambil terus memacu kuda.
Aku tertawa dan
menjawab, “Yuk, kita pacuan!” Drake menerima tantangan itu, kami pun balapan.
Tapi tentu saja Drake yang menang. Dia sudah mengenal kuda yang ditungganginya,
sedangkan aku masih asing dengan si coklat bernama Rih itu. Kami tertawa-tawa
sesampai di padang rumput. Seru juga balapan itu!
Ternyata
Red Wolf sedang memperhatikan kami dari kejauhan. Dia memang sudah lebih dulu
tiba di padang rumput itu. Drake menyusul Red Wolf. Sementara itu aku
mengelilingi padang rumput itu, menikmati pemandangan karpet hijau indah yang
masih perawan itu.
Drake bersuit dari
jauh. Aku menoleh ke arahnya. Dia memberi isyarat untuk mulai menggiring kuda.
Red Wolf sudah duluan menggiring kuda-kuda yang agak jauh merumputnya,
sementara Drake menyusul mengambil kuda yang lebih dekat. Aku membantu
mengembalikan kuda yang tercecer dari rombongannya. Tak lama kemudian, semua
kuda sudah berada dalam satu rombongan. Kami pun menggiringnya menuju pagar
melingkar tempat kuda dikumpulkan. Setelah itu, kuda-kuda itu kami bawa satu
per satu ke dalam kandang.
Ah.., senang sekali
rasanya! Sudah lama tidak melakukan pekerjaan ini. Dan enaknya kuda-kuda itu
sangat jinak, sehingga tidak terlalu repot menggiringnya. Saat matahari sudah
di ujung barat, semua kuda sudah dikandangkan.
Malam tiba. Kami
berkumpul di meja makan untuk menikmati kacang merah rebus dan daging bison
panggang sebagai makan malam. Selesai makan, kami bertiga duduk di teras
menikmati langit berbintang. “Bagaimana kesan-kesanmu setelah melewati satu
hari dengan kami?” tanya Drake padaku.
“Senang sekali!
Sudah lama aku tidak mengalami kejadian seperti ini,”jawabku girang.
“Dan bagaimana
kesan-kesanmu terhadap Red Wolf?”
Aku kaget mendengar
pertanyaan Drake. Sementara Red Wolf yang duduk di sebelah Drake hanya melirik
sekilas pada Drake, kemudian padaku. Setelah itu dia mengalihkan pandangannya
ke langit berbintang.
Aku memperbaiki
letak dudukku karena kikuk. Aku masih belum menemukan kembali pita suaraku. Aku
tak tahu mau jawab apa. Red Wolf masih duduk bersama kami, sungguh canggung
rasanya menilai seseorang di depan dirinya sendiri. Kulihat Drake masih
menunggu jawabanku dengan senyum nakalnya. Kualihkan pandangan pada Red Wolf.
Dia diam saja. Tapi kulihat kedua sudut bibirnya sedikit tertarik keatas. Dia
tersenyum...
“Sampai kapan aku
harus menunggu?” tanya Drake tak sabar.
“Baiklah!” Kuangkat
wajahku dan kutarik nafas dalam-dalam. “Menurutku, seperti kebanyakan orang
Indian, dia tidak ramah. Tapi aku yakin dia sebenarnya baik. Dia hanya bersikap
waspada dan itu wajar. Aku maklum kok...”
“Darimana kau tahu
dia baik? Karena aku bilang tadi kan..?” patah Drake.
“Tidak. Aku bisa lihat
dari matanya.”
“Well.., bagaimana tanggapanmu, Sobat?”
tanya Drake pada Red Wolf.
Red Wolf
memandangku sekilas, dan, “Terima kasih!”
“Sama-sama!”
Kemudian dia
bangkit dari duduknya dan berjalan ke dalam sambil berkata tanpa memandangku
dan Drake, “Aku duluan...” Sungguh angkuh! Tapi aku suka. Tipe Indian sejati.
Tinggallah aku
berdua dengan Drake. Aku tahu dia sedang menatapku tajam. Badanku panas dingin,
tapi kuberanikan diri memandangnya. Pandangan kami beradu.
“Kau takkan pulang
besok kan?” tanya Drake, tapi terdengar seperti perintah di telingaku.
“Aku harus pulang,
aku tak mungkin disini terus.”
“Kenapa? Aku tidak
ingin kau pergi. Tinggallah disini selama kau suka, atau...selamanya...”
Kucoba
menatap matanya, mencari kebenaran. Tapi aku tak sanggup dan tertunduk sendiri.
Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba Drake sudah mengangkat wajahku dengan
tangannya dan mendaratlah bibir itu di bibirku. Aku terlalu kaget untuk
menghindar. Dan lebih dari itu, aku memang tidak berniat menghindar...
“Kalau begitu kau
boleh pergi besok...” ujar Drake lagi, santai.
“Kalau begitu aku
istirahat sekarang..” balasku sambil berjalan ke kamarku.
Sesampai
di kamar, aku langsung merebahkan diri di kasur. Yang kukhawatirkan terjadi
juga. Di satu sisi aku menyukai Drake yang ceria dan penuh canda. Di sisi lain,
Red Wolf yang tenang dan angkuh juga menarik perhatianku. Tapi kurasa Red Wolf
tidak menyukaiku. Sikapnya terlalu dingin. Yang pasti aku benar-benar harus
berangkat besok, karena kalau tidak...
“Tok, tok, tok!”
Aku terkejut mendengar ketukan di pintu kamarku. Paling-paling Drake! Mau minta
apa lagi dia..? Tadi cium sudah! Kubuka pintu kamar dan yang kuhadapi lebih
membuatku terkejut lagi. Bukan Drake, tapi Red Wolf. Dia menatapku tajam. Aku
merasa ditelanjangi. Setelah mampu mengendalikan perasaan, aku bertanya, “Ada
apa, Red Wolf?”
Dia tidak menjawab,
namun dikeluarkannya sebuah kalung dari balik bajunya. Kalung itu terbuat dari
lima cakar serigala yang dirangkai menjadi satu. Dilepaskannya kalung itu dari
lehernya dan dikalunginya ke leherku. Aku terkejut. Mungkinkah kalung itu
jimatnya? Tapi tak seharusnya seorang Indian memberikan jimatnya kepada orang
lain. Jika seorang Indian telah kehilangan jimatnya, sengaja atau tidak, maka
berarti dia tidak punya harga diri lagi. Dan bagi mereka, dari pada hidup tanpa
harga diri, lebih baik mati bunuh diri. Begitulah kepercayaan mereka.
Seolah bisa membaca
pikiraanku, dia berkata, “Jangan khawatir! Itu bukan jimat. Jimatku ini...” Dia
menunjukkan gelang di tangan kirinya, berupa kulit serigala yang dihiasi dengan
dua taring serigala. Mungkin dia pernah berkelahi dengan serigala dan
mengalahkannya, dan karena itu dia dinamakan Red Wolf, si kulit merah penakluk
serigala.
“Untuk apa kau beri
aku kalung ini?”
“Aku ingin ada
sesuatu dari diriku yang menjadi kenangan bagimu.”
“Kenapa kau ingin
menjadi bagian dari kenanganku?”
“Karena aku ingin
menjadi bagian dari dirimu, tapi tak bisa.”
“Kenapa tidak?”
Entah kenapa aku jadi begitu cerewet.
“Karena Drake juga
menyukaimu dan aku tahu kau juga menyukainya. Aku tak mau menghancurkan itu.”
“Bagaimana mungkin
kau bisa langsung tertarik pada seorang wanita yang baru kau kenal? Bukankah
itu sifat yang tidak biasa dari diri seorang Indian?”
“Jadi kau
keberatan? Baiklah, bawa kemari lagi kalung itu...!”
“Tentu saja tidak!
Bukan itu maksudku... Aku menyukainya, terima kasih! Tapi...”
“Kalau begitu
simpan dan jadikan itu jimatmu untuk melanjutkan perjalanan besok. Selamat
malam!” Red Wolf berlalu.
Kututup
pintu. Sedikit menyesal telah membuatnya tersinggung tadi. Dengan gontai aku
berjalan ke dipan dan kembali merebahkan diri. Tak lama kemudian aku sudah
melayang ke alam mimpi.
Saat
membuka mata, di hadapanku terpampang seorang koboi sedang menunggang kuda,
dengan tulisan diatasnya: “COME TO WHERE THE
FLAVOR IS...” Di sampingnya terpampang pula sosok seorang Indian kepala suku Apache
hasil rekaan seorang pengarang besar, Karl May. Indian itu bernama WINNETOU.
Ah..., ini kan kamarku!
* * *
Febby
Fortinella Rusmoyo,
lahir di Pekanbaru, 14 Februari 1982; alumnus UIN Suska Riau, bekerja di UIN
Suska Riau, dan pernah belajar di Sekolah Menulis Paragraf, domisili Pekanbaru.
Karya-karyanya pernah dimuat di Riau Pos dan puisinya termuat dalam buku “Rahasia Hati: Antologi Penyair Muda Riau
2010” yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.