Kamis, 24 Januari 2013

Kaidah-Kaidah Dakwah yang Harus Dimiliki Seorang Pendakwah


Perkembangan dakwah di Indonesia di satu sisi cukup membahagiakan karena geliatnya berkembang dengan cukup baik. Namun di sisi lain, terkadang hal ini juga menimbulkan fenomena baru yang kurang baik karena munculnya beberapa (kalau tidak ingin dikatakan banyak) penceramah muda dan baru yang berkesan ‘asal berdakwah’. Bahkan kecenderungannya adalah mereka berdakwah justru karena ingin mendapatkan popularitas karena setelah mereka terkenal sebagai pendakwah, lalu berdatanganlah tawaran untuk menjadi bintang iklan produk tertentu. Dengan model peci (kadang-kadang sorban), kata-kata Islami seperti “Insya Allah sembuh” atau “Alhamdulillah kini ada … (nama produknya)”, maka jadilah mereka ‘pendakwah produk’. Hal ini tentu menyedihkan bagi kita umat Islam, karena seharusnya seorang pendakwah yang baik tidaklah memuja ketenaran, bahkan sebaliknya seharusnya menghindari gaya hidup glamor dan berlebihan yang kenyataannya justru itu yang mereka praktekkan dalam kehidupan mereka sebagai pendakwah.
Tapi tak perlulah kita perpanjang ‘dosa’ para pendakwah muda kita itu (yang kita sebut saja sebagai “oknum”), namun hal yang lebih penting bagi kita adalah mengetahui apa saja kaidah-kaidah dakwah yang harus diketahui dan dimiliki seorang pendakwah, sebelum mereka berani menyebut diri mereka sebagai pendakwah. Berikut ini adalah beberapa diantaranya yang disebutkan oleh Abdul Aziz (2005 : 176-384) :

1.      MEMBERI KETELADANAN SEBELUM BERDAKWAH
Perjalanan hidup Rasulullah Saw (sirah nabawiyah) menceritakan kepada kita tentang kepribadian manusia yang telah dimuliakan oleh Allah SWT, dengan risalah sehingga beliau menjadi tauladan yang baik bagi orang-orang yang beriman bahkan menjadi tokoh idola bagi umat manusia dalam kehidupan baik sebagai pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Sungguh beliau merupakan contoh teladan yang sempurna bagi manusia bagi setiap mereka yang ingin meraih hidup bahagia dan terhormat bagi dirinya, keluarganya, dan lingkungannya. Sungguh beliau merupakan teladan dalam seluruh dimensi kemanusian di tengah-tengah masyarakat baliau adalah teladan bagi setiap dai, setiap pemimpin setiap bapak dari anak-anaknya, setiap suami dan  istrinya, setiap sahabat, setiap murabbi (pembina), setiap praktisi politik dan berbagai posisi sosial manusia yang lain. Al Abbas menceritakan kepada kita dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda, “Allah mencipatakan makhluk, dan menjadikanku sebaik-baik mereka, sebaik-baik golongan mereka kemudian dipilihlah kabilah-kabilah lalu dia menjadikanku dari sebaik-baik kabilah kemudian dipilihlah rumah-rumah dan dia menjadikanku dari sebaik-baik rumah saya adalah sebaik-baik mereka, jiwa maupun rumah (tangga) nya”. (H.R. Tirmidzi).
Nabi adalah tauladan bagi manusia dari segi nasabnya (garis keturunanannya) akhlaknya adalah Al Qur’an sehingga beliau juga merupakan sebaik-baik manusia dari segi akhlaknya. Rasulullah adalah seorang abid (ahli ibadah). Di waktu malam beliau adalah ahli politik yang telah berhasil menyatukan umat manusia dan menghindarkan mereka dari kehancuran. Beliau juga seorang ahli peperangan baik dalam perencanaan strategi maupun ketika memimpin pasukan di lapangan. Beliau seorang ayah penuh kasih sayang dan lemah lembut sekaligus seorang suami yang benar-benar mewujudkan mawadah warahmah dan ketenteraman dalam rumah tangganya.
Beliau juga seorang teman yang penuh pengertian seorang karib (anggota keluarga) yang mulai seorang tetangga yang senantiasa peduli sesama manusia disekitarnya. Seorang hakim dan penguasa yang hatinya selalu dipenuhi oleh kepentingan rakyatnya. Beliau menjenguk mereka ketika sakit dan membimbing mereka menuju hidayah dengan penuh kasih sayang itu pula yang membuat para sahabat rela mengorbankan segala sesuatu demi membela Rasulullah.
Selain itu nabi juga terus memperluas dakwahnya sebagaimana yang telah disaksikan oleh dunia. Dakwah yang mampu menegakkan eksistensi kemanusiaan secara utuh. MANUSIA TELAH MELIHAT SENDIRI BETAPA RASULULLAH MEMPUNYAI SIFAT DIATAS KESELURUHANNYA. MEREKA PERCAYA TERHADAP KEBENARAN PRINSIP-PRINSIP YANG KONKRIT YANG DIBAWAKAN OLEH BELIAU KARENA MEREKA LANGSUNG MELIHAT DENGAN MATA KEPALANYA SENDIRI.
Pelaksanaan dari prinsip-prinsip tersebut bukan sekedar membacanya dari buku tapi melihat manusianya sehingga jiwa mereka tergerak dan perasaan mereka bergelora untuk meneladani Rasulullah sesuai dengan kemampuan meraka masing-masing. Nabi adalah teladan paling mulia bagi manusia sepanjang sejarah belia adalah seorang murabbi (pembina) yang menuntun manusia dengan perilaku pribadinya sebelum ucapannya.
Semua itu tergambar baik dalam Al Qur’an yang turun kepadanya maupun melalui hadits-haditsnya dan prinsip menampilkan keteladanan sebelum menyeru ini masih tetap berlaku selama langit dan bumi masih ada. (Abdul Azizi, 2000: 205-206).

2.      MENGIKAT HATI SEBELUM MENJELASKAN
SESUNGGUHNYA DAKWAH ITU TEGAK DI ATAS HIKMAH, YANG SALAH SATU MAKNANYA ADALAH MUQTADHAL HAAL (MENYESUAIKAN KEADAAN). Ali bin Abi Tholib mengatakan : “Sesungguhnya hati manusia itu kadang-kadang menerima dan kadang-kadang menolak, maka apabila hati bawalah dia untuk melakukan nawafil (amalan-amalan sunnah) dan apabila hati itu sedang menolak, maka pusatkanlah (cukupkanlah) untuk melakukan faraidh (yang wajib-wajib)” (Abdul Aziz, 2003: 293).

3.      MENGENAL SEBELUM MEMBERI BEBAN
Abdul Aziz (2000: 294) menyatakan bahwa setiap dakwah harus melampaui tiga tahapan yaitu : (1) tahapan mengenal pola pikir, (2) tahapan pembentukan seleksi pendukung dan kaderisasi serta pembinaan anggota dakwah, (3) tahapan aksi dan aplikasi.
Apabila seorang dai tidak mengetahui tahapan yang sedang dilalui dan dimana dia sedang berinteraksi dengan mad’u niscaya dia akan mencampur-adukkan antara yang satu dengan yang lainnya karena setiap marhalah itu memiliki karakter dan tuntunan serta uslub dakwahnya tersendiri. Meski bisa saja ketiga marhalah tersebut berjalan secara bersamaan artinya saling mendukung. MEMANG SEORANG DAI ITU TUGAS POKOKNYA ADALAH MENGENALKAN DAKWAH KEPADA ORANG LAIN, TETAPI PADA SAAT YANG SAMA IA JUGA HARUS MEMILAH DAN MEMILIH MAD’U DAN YANG SAMA JUGA HARUS MAMPU MENTAKWIM DAN MENATA MERAKA DALAM LAPANGAN AMAL.

4.      Bertahap dalam pembebanan
Segala perintah dan larangan yang berkaitan dengan salah satu kaidah tashawwur imami masalah negatif aqidah sejak awal Islam bersikap dengan sikap tegas akan tetapi jika perintah dan larangn itu berkaitan dengan tradisi adab atau kondisi sosial yang sulit maka Islam bersikap lumak dan menyelesaikan masalah itu dengan mudah dan memudahkan.
Bertahap serta mempersiapkan situasi dan kondisi untuk menerapkannya seperti diharamkannya khamar dan minuman keras, perjudian, perbudakan dan yang lain-lainnya. Prinsip tadarruj (bertahap) ini merupakan prinsip-prinsip asasi dalam berdakwah hingga manusia memahami manusia itu sesuai degan kemampuan akalnya dan menerima dengan hatinya (Abdul Aziz, 2000: 295).

5.      Memudahkan bukan menyulitkan
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Nabi Saw bersabda :
Permudahkanlah, jangan dipersulit, besarkan hati jangan membuat orang lari.”(HR. Bukhari).

6.      Yang pokok sebelum yang cabang
Seorang dai dalam menyampaikan suatu ceramah hendaknya yang pokok-pokok dahulu atau ibadah-ibadah wajib dahulu sebelum menyampaikan ibadah sunah.

7.      MEMBESARKAN HATI SEBELUM MEMBERI ANCAMAN
Permudahkanlah, jangan dipersulit, besarkan hati jangan membuat orang lari.”(HR. Bukhari).

8.      MEMAHAMKAN BUKAN MENDIKTE (ASAL PERINTAH)
Inilah sebetulnya tugas utama seorang dai yaitu memahamkan umat tentang ajaran-ajaran Islam, bukan hanya mendekte (asal perintah).
9.      MENDIDIK BUKAN MENELANJANGI
Seorang dai mempunyai peran yang komplek, biasa sebagai seorang bapak, murobbi dan guru, sehingga dengan bebarapa peran tersebut seorang dai harus bisa mendidik mad’unya (umat), sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

10.  Belajar dari guru, bukan belajar dari buku
Dalam menyampaikan pesan seorang dai rujukan pertama bukanlah buku, tapi ilmu-ilmu yang ia dapatkan dari gurunya. Diantara kesalahan paling medasar yang dilakukan oleh sebagian dai muda adalah mengambil nash-nash Al Qur’an maupun hadits secara langsung dan berguru kepada buku tanpa merujuk pada orang alim yang membidangi hal itu atau kembali pada seorang dai yang ahli yang bisa menjelaskan kepadanya tentang kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi berupa pemahaman dan apa yang ia tidak mengetahuinya berupa fiqih dengan alasan Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al Qomar ayat 17:
Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Depag RI, 1987: 879).
Mengenai makna ayat di atas, Oemar Bakry (1996: 1059) menjelaskan bahwa memahami Al Qur’an tidak susah, tidak sulit mengambil pengertian, Al Qur’an enak dibaca, dapat menenangkan hati bagi yang mendengarkannya dan menjadi petunjuk serta rahmat yang dapat dinikmati bagi yang mempelajarinya.

Inilah beberapa hal atau kaidah yang patut diketahui dan dimiliki seorang pendakwah. Maka agar tidak terjebak menjadi “pendakwah karbitan” seperti yang banyak bermunculan sekarang ini, sungguh perlulah bagi kita yang mempunyai niat mulia sebagai pendakwah untuk mengetahui kaidah-kaidah diatas. Dan yang terpenting adalah sebelum mendakwahkan orang lain, dakwahkanlah diri sendiri terlebih dahulu. Karena omong kosong saja dakwah kita kepada orang jika apa yang kita sampaikan itu tidak terlihat oleh orang ada dalam diri kita. Wallahu a’lam.


Referensi:
“Dakwah Rasulullah SAW Menurut History Islam (Periode Mekah-Madinah)”, Skripsi Muhammad Haezan, Komunikasi Penyiaran Islam, Jurusan Dakwah Dan Komunikasi, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Surakarta, 2008