Perkembangan dakwah
di Indonesia di satu sisi cukup membahagiakan karena geliatnya berkembang
dengan cukup baik. Namun di sisi lain, terkadang hal ini juga menimbulkan
fenomena baru yang kurang baik karena munculnya beberapa (kalau tidak ingin
dikatakan banyak) penceramah muda dan baru yang berkesan ‘asal berdakwah’.
Bahkan kecenderungannya adalah mereka berdakwah justru karena ingin mendapatkan
popularitas karena setelah mereka terkenal sebagai pendakwah, lalu
berdatanganlah tawaran untuk menjadi bintang iklan produk tertentu. Dengan
model peci (kadang-kadang sorban), kata-kata Islami seperti “Insya Allah
sembuh” atau “Alhamdulillah kini ada … (nama produknya)”, maka jadilah mereka
‘pendakwah produk’. Hal ini tentu menyedihkan bagi kita umat Islam, karena
seharusnya seorang pendakwah yang baik tidaklah memuja ketenaran, bahkan
sebaliknya seharusnya menghindari gaya hidup glamor dan berlebihan yang
kenyataannya justru itu yang mereka praktekkan dalam kehidupan mereka sebagai
pendakwah.
Tapi tak perlulah
kita perpanjang ‘dosa’ para pendakwah muda kita itu (yang kita sebut saja
sebagai “oknum”), namun hal yang lebih penting bagi kita adalah mengetahui apa
saja kaidah-kaidah dakwah yang harus diketahui dan dimiliki seorang pendakwah,
sebelum mereka berani menyebut diri mereka sebagai pendakwah. Berikut ini
adalah beberapa diantaranya yang disebutkan oleh Abdul Aziz (2005 : 176-384) :
1.
MEMBERI KETELADANAN SEBELUM BERDAKWAH
Perjalanan hidup Rasulullah Saw (sirah nabawiyah)
menceritakan kepada kita tentang kepribadian manusia yang telah dimuliakan oleh
Allah SWT, dengan risalah sehingga beliau menjadi tauladan yang baik bagi
orang-orang yang beriman bahkan menjadi tokoh idola bagi umat manusia dalam
kehidupan baik sebagai pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Sungguh
beliau merupakan contoh teladan yang sempurna bagi manusia bagi setiap mereka
yang ingin meraih hidup bahagia dan terhormat bagi dirinya, keluarganya, dan
lingkungannya. Sungguh beliau merupakan teladan dalam seluruh dimensi
kemanusian di tengah-tengah masyarakat baliau adalah teladan bagi setiap dai,
setiap pemimpin setiap bapak dari anak-anaknya, setiap suami dan istrinya, setiap sahabat, setiap murabbi
(pembina), setiap praktisi politik dan berbagai posisi sosial manusia yang
lain. Al Abbas menceritakan kepada kita dari Rasulullah Saw bahwa beliau
bersabda, “Allah mencipatakan makhluk, dan menjadikanku sebaik-baik mereka,
sebaik-baik golongan mereka kemudian dipilihlah kabilah-kabilah lalu dia menjadikanku
dari sebaik-baik kabilah kemudian dipilihlah rumah-rumah dan dia menjadikanku
dari sebaik-baik rumah saya adalah sebaik-baik mereka, jiwa maupun rumah
(tangga) nya”. (H.R. Tirmidzi).
Nabi adalah tauladan bagi manusia dari segi nasabnya (garis
keturunanannya) akhlaknya adalah Al Qur’an sehingga beliau juga merupakan
sebaik-baik manusia dari segi akhlaknya. Rasulullah adalah seorang abid (ahli ibadah). Di waktu malam
beliau adalah ahli politik yang telah berhasil menyatukan umat manusia dan
menghindarkan mereka dari kehancuran. Beliau juga seorang ahli peperangan baik dalam perencanaan strategi maupun ketika
memimpin pasukan di lapangan. Beliau seorang ayah penuh kasih sayang dan lemah lembut sekaligus seorang suami yang benar-benar
mewujudkan mawadah warahmah dan ketenteraman dalam rumah tangganya.
Beliau juga seorang teman
yang penuh pengertian seorang karib (anggota keluarga) yang mulai seorang
tetangga yang senantiasa peduli sesama manusia disekitarnya. Seorang hakim dan
penguasa yang hatinya selalu dipenuhi oleh kepentingan rakyatnya. Beliau
menjenguk mereka ketika sakit dan membimbing mereka menuju hidayah dengan penuh
kasih sayang itu pula yang membuat para sahabat rela mengorbankan segala sesuatu
demi membela Rasulullah.
Selain itu nabi juga terus memperluas dakwahnya
sebagaimana yang telah disaksikan oleh dunia. Dakwah yang mampu menegakkan eksistensi
kemanusiaan secara utuh. MANUSIA TELAH MELIHAT SENDIRI BETAPA RASULULLAH
MEMPUNYAI SIFAT DIATAS KESELURUHANNYA. MEREKA PERCAYA TERHADAP KEBENARAN
PRINSIP-PRINSIP YANG KONKRIT YANG DIBAWAKAN OLEH BELIAU KARENA MEREKA LANGSUNG MELIHAT DENGAN MATA
KEPALANYA SENDIRI.
Pelaksanaan dari prinsip-prinsip tersebut bukan sekedar
membacanya dari buku tapi melihat manusianya sehingga jiwa mereka tergerak dan perasaan
mereka bergelora untuk meneladani Rasulullah sesuai dengan kemampuan meraka
masing-masing. Nabi adalah teladan paling mulia bagi manusia sepanjang sejarah
belia adalah seorang murabbi (pembina) yang menuntun manusia dengan perilaku
pribadinya sebelum ucapannya.
Semua itu tergambar baik dalam Al Qur’an yang turun
kepadanya maupun melalui hadits-haditsnya dan prinsip menampilkan keteladanan
sebelum menyeru ini masih tetap berlaku selama langit dan bumi masih ada.
(Abdul Azizi, 2000: 205-206).
2.
MENGIKAT HATI SEBELUM MENJELASKAN
SESUNGGUHNYA DAKWAH ITU TEGAK DI ATAS HIKMAH, YANG SALAH
SATU MAKNANYA ADALAH MUQTADHAL HAAL (MENYESUAIKAN KEADAAN). Ali bin Abi Tholib
mengatakan : “Sesungguhnya hati manusia itu kadang-kadang menerima dan
kadang-kadang menolak, maka apabila hati bawalah dia untuk melakukan nawafil
(amalan-amalan sunnah) dan apabila hati itu sedang menolak, maka
pusatkanlah (cukupkanlah) untuk melakukan faraidh (yang wajib-wajib)” (Abdul
Aziz, 2003: 293).
3.
MENGENAL SEBELUM MEMBERI BEBAN
Abdul Aziz (2000: 294) menyatakan bahwa setiap dakwah
harus melampaui tiga tahapan yaitu : (1) tahapan mengenal pola pikir, (2) tahapan
pembentukan seleksi pendukung dan kaderisasi serta pembinaan anggota dakwah,
(3) tahapan aksi dan aplikasi.
Apabila seorang dai tidak mengetahui tahapan yang sedang
dilalui dan dimana dia sedang berinteraksi dengan mad’u niscaya dia akan mencampur-adukkan
antara yang satu dengan yang lainnya karena setiap marhalah itu memiliki
karakter dan tuntunan serta uslub dakwahnya tersendiri. Meski bisa saja ketiga
marhalah tersebut berjalan secara bersamaan artinya saling mendukung. MEMANG SEORANG
DAI ITU TUGAS POKOKNYA ADALAH MENGENALKAN DAKWAH KEPADA ORANG LAIN, TETAPI PADA
SAAT YANG SAMA IA JUGA HARUS MEMILAH DAN MEMILIH MAD’U DAN YANG SAMA JUGA HARUS
MAMPU MENTAKWIM DAN MENATA MERAKA DALAM LAPANGAN AMAL.
4.
Bertahap dalam pembebanan
Segala perintah dan larangan yang berkaitan dengan salah
satu kaidah tashawwur imami masalah negatif aqidah sejak awal Islam bersikap dengan
sikap tegas akan tetapi jika perintah dan larangn itu berkaitan dengan tradisi
adab atau kondisi sosial yang sulit maka Islam bersikap lumak dan menyelesaikan
masalah itu dengan mudah dan memudahkan.
Bertahap serta mempersiapkan situasi dan kondisi untuk
menerapkannya seperti diharamkannya khamar dan minuman keras, perjudian,
perbudakan dan yang lain-lainnya. Prinsip tadarruj (bertahap) ini merupakan
prinsip-prinsip asasi dalam berdakwah hingga manusia memahami manusia itu sesuai
degan kemampuan akalnya dan menerima dengan hatinya (Abdul Aziz, 2000: 295).
5.
Memudahkan bukan menyulitkan
Diriwayatkan dari
Anas bin Malik, dari Nabi Saw bersabda :
“Permudahkanlah, jangan dipersulit, besarkan hati jangan membuat orang
lari.”(HR. Bukhari).
6. Yang
pokok sebelum yang cabang
Seorang dai
dalam menyampaikan suatu ceramah hendaknya yang pokok-pokok dahulu atau
ibadah-ibadah wajib dahulu sebelum menyampaikan ibadah sunah.
7. MEMBESARKAN
HATI SEBELUM MEMBERI ANCAMAN
“Permudahkanlah, jangan dipersulit, besarkan hati jangan membuat orang lari.”(HR.
Bukhari).
8. MEMAHAMKAN
BUKAN MENDIKTE (ASAL PERINTAH)
Inilah sebetulnya tugas utama seorang dai yaitu
memahamkan umat tentang ajaran-ajaran Islam, bukan hanya mendekte (asal
perintah).
9.
MENDIDIK BUKAN MENELANJANGI
Seorang dai mempunyai peran yang komplek, biasa sebagai
seorang bapak, murobbi dan guru, sehingga dengan bebarapa peran tersebut seorang
dai harus bisa mendidik mad’unya (umat), sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi.
10.
Belajar dari guru, bukan belajar dari buku
Dalam menyampaikan pesan seorang dai rujukan pertama
bukanlah buku, tapi ilmu-ilmu yang ia dapatkan dari gurunya. Diantara kesalahan
paling medasar yang dilakukan oleh sebagian dai muda adalah mengambil nash-nash
Al Qur’an maupun hadits secara langsung dan berguru kepada buku tanpa merujuk
pada orang alim yang membidangi hal itu atau kembali pada seorang dai yang ahli
yang bisa menjelaskan kepadanya tentang kesulitan-kesulitan yang sedang
dihadapi berupa pemahaman dan apa yang ia tidak mengetahuinya berupa fiqih dengan
alasan Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al Qomar ayat 17:
Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran,
Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Depag RI, 1987: 879).
Mengenai makna ayat di atas, Oemar Bakry (1996: 1059) menjelaskan
bahwa memahami Al Qur’an tidak susah, tidak sulit mengambil pengertian, Al Qur’an
enak dibaca, dapat menenangkan hati bagi yang mendengarkannya dan menjadi
petunjuk serta rahmat yang dapat dinikmati bagi yang mempelajarinya.
Inilah
beberapa hal atau kaidah yang patut diketahui dan dimiliki seorang pendakwah.
Maka agar tidak terjebak menjadi “pendakwah karbitan” seperti yang banyak
bermunculan sekarang ini, sungguh perlulah bagi kita yang mempunyai niat mulia
sebagai pendakwah untuk mengetahui kaidah-kaidah diatas. Dan yang terpenting
adalah sebelum mendakwahkan orang lain, dakwahkanlah diri sendiri terlebih
dahulu. Karena omong kosong saja dakwah kita kepada orang jika apa yang kita
sampaikan itu tidak terlihat oleh orang ada dalam diri kita. Wallahu a’lam.
Referensi:
“Dakwah Rasulullah SAW Menurut
History Islam (Periode Mekah-Madinah)”, Skripsi Muhammad Haezan,
Komunikasi Penyiaran Islam, Jurusan Dakwah Dan Komunikasi, Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri, Surakarta, 2008