Senin, 24 Oktober 2011

Cerpen Terjemahan di Riau Pos Edisi Ahad, 23 Oktober 2011

JENDELA YANG TERBUKA

“Bibi saya akan segera turun, Tuan Nuttel,” ujar seorang remaja lima belas tahun yang sangat tenang. “Sementara menunggu, Anda akan saya temani.”

Framton Nuttel berusaha keras untuk mengungkapkan pujian kepada sang keponakan itu tanpa terlalu mengabaikan bibinya yang hampir tiba. Secara pribadi dia meragukan lebih dari apapun apakah kunjungan formal sebagai orang asing ini dapat sedikit berguna untuk membantu pengobatan syaraf yang sedang dijalaninya.

“Aku tahu apa yang akan terjadi,” kakaknya pernah mengatakan ini saat dia bersiap untuk pindah ke tempat pengasingannya di desa. “Kau akan menimbun dirimu sendiri di sana dan tidak bisa berbicara pada jiwa-jiwa yang hidup, dan syarafmu akan lebih parah dari sebelumnya karena selalu muram. Aku hanya bisa mengirimkan surat perkenalan atas dirimu kepada orang-orang yang kukenal di sana. Beberapa dari mereka, seingatku, cukup baik.”

Framton bertanya-tanya apakah Nyonya Sappleton, salah satu wanita yang juga dikirimi surat perkenalan atas dirinya, termasuk yang baik juga.

“Apakah anda mengenal banyak orang di sekitar sini?” tanya gadis itu lagi, setelah beberapa lama mereka berdiam diri.

“Sangat sedikit,” jawab Framton. “Kakakku pernah tinggal di sini, di rumah pendeta, kau tahu kan… sekitar empat tahun yang lalu, dan dia mengirimkan surat perkenalan atas diriku pada beberapa orang di sini.”

Dia mengucapkan kalimat terakhir dengan tekanan yang agak mengandung penyesalan.

“Dan Anda tidak mengenal bibi saya dengan baik ya?” desak gadis yang tenang itu.

“Hanya nama dan alamatnya,” akunya. Dia bertanya-tanya apakah Nyonya Sappleton ini berstatus menikah atau janda. Ada sesuatu yang tak dapat dijelaskan mengenai ruangan yang lebih memiliki sentuhan maskulin ini.

“Tragedi terbesarnya terjadi di sini tiga tahun yang lalu,” ujar gadis itu, “Waktu kakak Anda di sini.”

“Tragedinya?” tanya Framton, bagaimanapun di desa yang tenang seperti ini sebuah tragedi tampak tak mungkin terjadi.

“Anda mungkin heran mengapa kami tetap membiarkan jendela terbuka pada sore bulan Oktober,” jawab ponakan itu sambil menunjuk sebuah jendela Prancis yang terbuka lebar menghadap halaman rumput.

“Mungkin karena ini waktu yang sedikit hangat sepanjang tahun,” balas Framton. “Tapi apakah ada hubungannya dengan tragedi itu?”

“Di luar jendela itu, di suatu hari pada tiga tahun yang lalu, suami dan dua adik laki-lakinya pergi berburu. Mereka tak pernah kembali. Saat mencari-cari tempat yang tepat sebagai persembunyian dalam perburuan mereka saat itu, mereka bertiga tertelan lumpur hisap. Saat itu sudah memasuki musim panas yang mengerikan, Anda tahu, dan tempat-tempat yang biasanya aman pada waktu lain di sepanjang tahun, saat itu menjadi sangat berbahaya tanpa ada tanda-tanda. Tubuh mereka tak pernah ditemukan kembali. Itu hal yang paling mengerikan.”

Pada saat itu, suara gadis itu kehilangan ketenangannya dan menjadi tergagap-gagap. “Bibi yang malang selalu berharap mereka akan kembali suatu hari nanti. Mereka, dan seekor anjing spaniel kecil mereka yang berwarna coklat yang juga ikut hilang bersama mereka. Dan berjalan memasuki jendela itu sebagaimana biasa mereka lakukan. Itulah mengapa jendela itu tetap dibiarkan terbuka setiap hari hingga menjelang malam. Bibi sayang yang malang… Dia masih sering menceritakan padaku bagaimana mereka keluar. Suaminya mengenakan mantel hujannya yang berwarna putih, dan Ronnie, adik laki-lakinya yang paling kecil, menyanyikan ‘Bertie, why do you bound?’ seperti yang sering dilakukannya jika sedang menggoda Bibi, dan karena cerita-cerita itu Bibi mendapatkan penyakit syarafnya ini.
Tahukah Anda, kadang dalam kesunyian, malam-malam tenang seperti ini, aku mendapat perasaan aneh bahwa mereka akan berjalan memasuki jendela itu…”

Dia terdiam sambil bergidik. Framton lega saat sang bibi bergegas memasuki ruangan dengan penuh penyesalan karena terlambat tiba.

“Kuharap Vera telah menghiburmu,” ujarnya.

“Dia sangat menarik,” balas Framton.

“Kuharap Anda tidak keberatan jendelanya tetap terbuka,” ujar Nyonya Sappleton segera, “Suami dan adik-adikku akan segera pulang dari berburu, dan mereka selalu masuk dari sini. Mereka pergi berburu, jadi mereka akan membuat karpet saya sangat kotor. Namanya juga pria, ya kan?”

Dia mengoceh dengan riang tentang perburuan dan kelangkaan burung, dan prospek bagi bebek-bebek di musim dingin. Bagi Framton, ini sangat mengerikan. Dia putus asa dan hanya sedikit sekali mampu berusaha untuk memotong pembicaraan Nyonya Sappleton yang terdengar horor. Dia sadar bahwa nyonya rumah itu tidak terlalu memperhatikannya, dan matanya tak pernah lepas dari memandang jendela dan lapangan rumput yang terbuka di belakang Framton. Sungguh ketidaksengajaan yang tidak menyenangkan bahwa dia harus membayar kunjungan ini pada sebuah peringatan tragis.

“Para dokter setuju untuk memberikanku istirahat total, menjauhi rangsangan kejiwaaan, dan mencegah apapun yang bersifat kekerasan fisik,” ungkap Framton, yang bersusah-payah berbicara atas delusi panjang bahwa keterasingan total dan kesempatan berkenalan sesungguhnya membutuhkan detil yang paling minim atas penyakit dan kelemahan seseorang, baik penyebab maupun obatnya. “Tentang masalah diet, mereka tidak terlalu sepakat,” lanjutnya.

“Tidak?” tanya Nyonya Sappleton setelah menguap lebar. Lalu dia mendadak sangat perhatian, namun tidak pada apa yang Framton katakan.

“Akhirnya mereka datang!” teriaknya. “Tepat pada saat minum teh, dan mereka tidak tampak seperti sudah tenggelam dalam lumpur hingga ke mata!”

Framton sedikit gemetar dan berpaling pada gadis keponakan Nyonya Sappleton dengan pandangan yang ingin menunjukkan pemahaman simpati yang dalam. Gadis itu menatap jendela yang terbuka dengan mata terbelalak. Dengan kengerian yang tak terungkapkan, Framton membalikkan badannya dan memandang ke arah yang sama.

Dalam temaram yang pekat, tiga sosok berjalan melintasi halaman rumput memasuki jendela. Mereka masing-masing membawa senapan, dan salah satu dari mereka tenggelam dalam mantel putih panjangnya. Seekor anjing spaniel coklat yang tampak sangat lelah berjalan di dekat kakinya. Tanpa suara mereka mendekati rumah, dan suara serak seorang pemuda memecah kelam, “Aku bilang, ‘Bertie, why do you bound?’”

Framton merampas tongkat dan topinya serabutan, meraih gagang pintu dengan kasar, menghantam jalanan kerikil, membuka paksa gerbang depan dan kabur dengan tergesa-gesa. Dia memacu sepeda menghantam tanaman untuk menghindari tabrakan yang nyaris terjadi.

“Kami datang, Sayang,” ujar pemburu dengan mantel putih, memasuki jendela. “Agak berlumpur, tapi masih kering. Siapa yang meloncat keluar saat kami datang?”
“Pria paling aneh, Tuan Nuttel namanya,” jawab Nyonya Sappleton, “yang hanya bisa berbicara tentang penyakitnya, dan tergagap-gagap tanpa mengucapkan selamat tinggal atau minta maaf karena pergi saat kau tiba. Orang akan mengira dia telah melihat hantu.”

“Kuharap yang dimaksudnya anjing ini,” ujar gadis kecil keponakan itu dengan tenang. “Dia mengatakan dia takut pada anjing. Dia pernah dikejar segerombolan anjing liar sampai ke kuburan di suatu tempat di pinggiran Ganges, dan harus melewati malam itu di sebuah lubang kuburan yang baru digali dengan makhluk-makhluk itu menggonggong dan menyeringai dengan mulut berbusa diatasnya. Cukup untuk membuat siapa saja terganggu syarafnya.”

Nuansa romantis pun memenuhi ruangan itu.

***

Hector Hugh Munro (18 Desember 1870-13 November 1916), dikenal dengan nama pena Saki, dan juga sering disebut H H Munro, adalah seorang penulis berkebangsaan Inggris. Mengawali karir kepenulisan sebagai jurnalis di Westminster Gazette, Daily Express, Bystander, Morning Post, and Outlook. Buku pertamanya terbit di tahun 1900, The Rise of the Russian Empire, sebuah buku sejarah. Novel-novelnya antara lain The Unbearable Bassington, seri The Westminster Alice (sebuah parodi Alice in Wonderland), dan When William Came, subtitle dari A Story of London Under the Hohenzollerns, sebuah novel fantasi tentang masa depan invasi Jerman ke Inggris Raya. Cerpen ini diterjemahkan dari judul aslinya, “The Open Window”, yang termuat dalam situs www.classicshorts.com.

Febby Fortinella Rusmoyo, lahir di Pekanbaru, 14 Februari 1982; alumnus UIN Suska Riau, bekerja di UIN Suska Riau, dan pernah belajar di Sekolah Menulis Paragraf, domisili Pekanbaru. Karya-karyanya pernah dimuat di Riau Pos, Padang Ekspres, Haluan Riau, Sumut Pos; dan puisinya termuat dalam buku Rahasia Hati: Antologi Penyair Muda Riau 2010 yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.

Selasa, 18 Oktober 2011

The Interpreter



Ini bukan tentang film “The Interpreter” yang dibintangi Nicole Kidman dan Sean Penn. Tapi ini tentang satu pengalaman baruku menjadi interpreter dalam acara Diskusi Sastra Satellite Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 dengan tema “Sastra Multikultural”. Acara ini diselenggarakan pada hari Kamis tanggal 13 Oktober 2011, di Galeri Ibrahim Sattah, Kompleks Bandar Serai Pekanbaru. Yang hadir sebagai pembicara adalah penyair dari Australia bernama Sean M. Whelan, ditemani oleh Budy Utamy, penyair muda Riau dari Komunitas Paragraf Pekanbaru yang kebetulan juga turut serta dalam acara Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali tanggal 5-9 Oktober 2011. Sebagai pembawa acara kali ini adalah Refila Yusra (Komunitas Paragraf Pekanbaru). Aku berperan sebagai moderator sekaligus interpreter untuk Sean M. Whelan.
Awalnya tentu saja sedikit nervous, apalagi sudah cukup lama aku tidak pernah berbincang-bincang dengan orang dari luar negeri. Apalagi jika harus menjadi perantara antara sang pembicara yang notabene orang luar dengan para peserta yang orang kita. Mungkin beberapa dari peserta cukup paham sedikit-sedikit Bahasa Inggris, tapi untuk menyampaikan apa yang ingin mereka tanyakan mungkin yang agak berat. Satu hal lagi, Sean adalah orang Australia, yang dialeknya tentu saja berbeda dengan orang Amerika Serikat atau Inggris. Dan sejujurnya aku sebenarnya lebih familiar dengan dialek Amerika karena sejak kecil memang sudah “dijejali” dengan film-film Amerika atau lagu-lagu Amerika yang sengaja dibiasakan almarhum Bapak supaya kami tidak asing dengan Bahasa Inggris. Dan karena Bapak juga bekerja di lingkungan yang lebih banyak orang Amerikanya (PT. CPI Rumbai), dan kebetulan pembimbing skripsi Bapak jaman kuliah dulu juga orang Amerika, jadinya Bapak juga membiasakan kami dengan dialek Amerika. Waktu kelas 2 SD saja lagu favoritku “It’s Now or Never”-nya Elvis Presley.. 



Untungnya Sean adalah orang yang sangat kooperatif dan cukup ramah. Jadi walaupun awalnya aku agak canggung, tapi pada akhirnya semua berjalan dengan lancar. Semua pertanyaan para peserta dijawab dengan memuaskan oleh Sean dan sepertinya para peserta juga puas dengan hasil terjemahan lisanku. Sean M. Whelan adalah seorang penyair asal Melbourne, Australia, yang telah menelurkan dua buku kumpulan puisinya yaitu Love is the New Hate dan Tattooing the Surface of the Moon. Sean juga memiliki latar belakang yang cukup unik karena selain sebagai penyair, beliau juga seorang DJ (Disc Jockey), bekerja di perusahaan rekaman, menulis skenario drama, dan juga mempunyai sebuah kelompok band bernama The Interim Lovers yang telah menelurkan satu album yaitu Softly and Suddenly pada bulan Oktober 2010. Beliau juga mengajarkan sastra di sekolah-sekolah, sebagai pengabdiannya terhadap bidang yang dicintainya ini. Beliau juga mempunyai sebuah program bernama Babble dan koordinator dari Liner Notes, yang keduanya merupakan program musikalisasi puisi yang rutin diselenggarakannya di kafe-kafe di daerah asalnya.



Para peserta Diskusi Sastra Satellite Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 berasal dari berbagai kalangan seperti dari Balai Bahasa Riau, mahasiswa Universitas Riau, mahasiswa UIN Suska Riau, mahasiswa Universitas Abdurrab, perwakilan Forum Lingkar Pena (FLP) Pekanbaru, dan lain-lain, serta dari individu yang tertarik dengan bidang ini. Dalam diskusi ini, para peserta kebanyakan menanyakan tentang proses kreatif, bagaimana mengatasi kebuntuan dalam menulis, apa saja jenis-jenis puisi, bagaimana kesan-kesan para penulis dalam menghadiri acara Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Bali itu sendiri, dan khusus kepada Sean, mereka juga menanyakan bagaimana perkembangan sastra terutama puisi di negeri asalnya, Australia. Ternyata di Australia, keberadaan sastra tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, yaitu juga masih belum terlalu akrab bagi masyarakatnya, meski tidak semengenaskan sastra di Indonesia. Di sekolah-sekolah di Australia, pengajaran sastra di sekolah juga masih bersifat umum, namun murid-murid yang tertarik mendalaminya dapat mengambil pelajaran tambahan diluar jam sekolah dalam bidang ini. Selain itu, yang mungkin patut membuat kita sedikit “iri” terhadap mereka adalah adanya perhatian dari Pemerintah berupa bantuan dana bagi warganya untuk menerbitkan sebuah buku, menyelenggarakan even-even sastra, dan sebagainya. Kita tinggal mengajukan proposal permintaan dananya, dan Pemerintah akan bersedia memberikannnya, dengan catatan benar-benar dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Di negeri kita, mungkin sah-sah saja kita mengajukan permohonan bantuan dana, tapi mungkin persetujuannya ditangguhkan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Sebagai langkah untuk lebih memasyarakatkan sastra dan menyastrakan masyarakatnya, Sean dan komunitasnya disana juga intens mengadakan musikalisasi puisi di kafe-kafe, bahkan telah mengalbumkan musikalisasi puisi bersama dengan bandnya. Sebuah totalitas profesi yang pantas ditiru. Meski beliau sendiri mengaku bahwa pilihannya sebagai seorang penyair adalah karena baginya puisi merupakan bentuk tulisan yang paling murni. Kita tidak bisa kaya dengan menulis puisi. Mungkin kita bisa kaya dengan menulis novel, atau skenario, dan yang lainnya, tapi tidak jika hanya menulis buku kumpulan puisi. Butuh kolaborasi pekerjaan untuk itu dan itulah yang dijalaninya saat ini.



Di akhir acara ini tentu saja ada sesi potret-memotret dan tanda tangan oleh Sean. Selain itu, karena ada sedikit wawancara dari koran “Haluan Riau”, maka sekali lagi aku menjadi perantara bahasa antara Sean dan wartawan media tersebut. Setelah acara Diskusi Sastra, kami para anggota Komunitas Paragraf Pekanbaru sebagai pihak penyelenggara pergi makan bersama dengan Sean di Rumah Makan “Poho” di Jl. A. Yani, Pekanbaru. Sesi bebas ini dimanfaatkan oleh teman-teman untuk mempraktekkan Bahasa Inggris mereka. Dan sekali lagi kami berfoto bersama. Sungguh pengalaman luar biasa... Dan yang lebih menyenangkan lagi, di wall FB-ku, Sean mengucapkan terima kasihnya padaku dengan mengatakan: “...and thanks to Febby Fortinella Rusmoyo for her mad interpreter skill.” Wooow..., your welcome Sean.., you’re great too.. 

Minggu, 25 September 2011

Resensi Novel "Sebelas Patriot" Karya Andrea Hirata oleh Febby Fortinella Rusmoyo [Riau Pos Edisi Ahad, 25 September 2011]

SEPAKBOLA : FANATISME DAN CINTA SEJATI

Judul novel : Sebelas Patriot
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Juni 2011
Tebal : 101 halaman

Resensi:
Kembali kita disuguhi oleh kisah seorang anak berambut ikal dengan nama Ikal juga, yang berasal dari sebuah pulau kecil di bagian selatan Pulau Sumatera, Belitong. Pulau yang sekitar 5 tahun lalu mungkin belum pernah terdengar namanya, namun saat ini menjadi salah satu tujuan wisata “terpanas” di Republik ini berkat tetralogi “Laskar Pelangi” oleh penulis yang sama.
Kali ini Ikal mengungkap sisi lain dari kehidupannya, yakni kecintaannya terhadap sepakbola. Di tetralogi Laskar Pelangi, kecintaannya terhadap sepakbola nyaris tidak pernah disinggung. Dia – Si Ikal maksudnya – malah “mengaku” begitu mencintai bulutangkis. Namun di novel yang tergolong tipis untuk ukuran Andrea Hirata ini, diungkap tuntas kecintaan Ikal terhadap sepakbola, sebelum akhirnya rasa cinta yang berbuah keinginan besar untuk menjadi pemain PSSI itu kandas dan hal inilah yang membuatnya “ke lain hati” menjadi mencintai bulutangkis.
Ternyata kecintaannya terhadap sepakbola ini bukan tanpa sebab. Berawal dari sebuah foto yang terlarang baginya untuk dilihat, apalagi ditanya, Ikal secara tidak sengaja, atau lebih tepatnya sembunyi-sembunyi, menemukan sejarah bahwa ayahnya yang amat sangat dicintai dan dikaguminya itu pernah menjadi salah seorang pahlawan sepakbola di kampungnya ketika jaman penjajahan Belanda, yang membuat ayahnya tersebut harus mengalami kehancuran tempurung lutut kiri akibat siksaan Belanda yang tidak senang kesebelasan kumpeni dikalahkan kesebelasan jajahan dengan gol semata wayang ayahnya ini.
Mengetahui begitu besar peran ayahnya pada masa itu, Ikal bertekad untuk meneruskan jejak ayahnya sebagai pahlawan sepakbola, dan dengan semangat yang membuncah-buncah, berkali-kali mencoba menjadi pemain sepakbola junior PSSI, namun selalu gagal. Rasa sedih, kecewa, dan merasa bersalah pada ayahnya, sangat memukul jiwa Ikal. Namun kata-kata motivasi dari ayahnya membuatnya kembali bangkit, “Prestasi tertinggi seseorang, medali emasnya, adalah jiwa besarnya.” Sungguh kalimat motivasi terhebat yang pernah keluar dari seorang ayah yang sangat pendiam dan bahkan tak pandai baca tulis itu.
Menyadari ketidakmungkinannya menjadi pemain sepakbola, membuat Ikal puas sekedar menjadi pendukung sepakbola terutama PSSI dengan menyebut dirinya dan para pendukung PSSI sebagai Patriot PSSI. Atas kecintaan yang besar terhadap sepakbola pada umumnya, dan terhadap ayahnya pada khususnya itu pulalah yang membuat Ikal dengan penuh perjuangan mendapatkan baju seragam sepakbola milik Luis Figo – langsung dari markas Real Madrid di Santiago Bernabeu di Kota Madrid, Spanyol, dan lengkap dengan tanda tangan asli Figo – dengan bekerja serabutan siang malam seperti yang biasa dilakoni seorang backpacker, agar uangnya mencukupi harga kaos itu sejumlah dua ratus lima puluh euro. Dan dia berhasil mendapatkannya, tentu saja. Bahkan setelah itu dia berhasil juga menonton pertanding antara Real Madrid vs Valencia, langsung dari tribun di stadion Santiago Bernabeu.
Novel ini memang mengupas kisah haru biru yang menyelimuti para penggila bola di seluruh dunia. Bahwa setiap orang, penggemar fanatik sepakbola, mempunyai kisah dan alasan tersendiri tentang mengapa mereka bisa begitu menggilai sepakbola, yang bahkan di beberapa negara di Eropa dan Amerika Latin, sepakbola telah menjadi “agama” bagi mereka. Di dalam sepakbola pula, Andrea Hirata mengupas begitu banyak aspek kehidupan yang dapat dipelajari. Sepakbola sebagai life style, sepakbola sebagai seni, sepakbola sebagai psikologi, sepakbola sebagai sejarah, sepakbola sebagai bisnis, sepakbola sebagai politik, sepakbola sebagai budaya, sepakbola sebagai keikhlasan, sepakbola sebagai cinta, dan sepakbola sebagai agama.
Novel singkat yang dari segi sastra sangat sederhana, ringan, dan sangat gampang dicerna orang awam ini, sangat bisa dijadikan pemompa semangat pendukung sepakbola Indonesia ditengah carut-marut kemelut PSSI dan liga-liga di Indonesia. Semoga dapat memberikan inspirasi.

***

Febby Fortinella Rusmoyo, penikmat buku, cerpenis muda, penerjemah cerpen, tinggal di Pekanbaru.

Kamis, 28 Juli 2011

Menyambut Bulan Ramadhan, Hati-Hati Ritual Anehnya

Tiba saatnya kaum muslimim menyambut tamu agung bulan Ramadhan, tamu yang dinanti-nanti dan dirindukan kedatangannya. Sebentar lagi tamu itu akan bertemu dengan kita. Tamu yang membawa berkah yang berlimpah ruah. Tamu bulan Ramadhan adalah tamu agung, yang semestinya kita bergembira dengan kedatangannya dan merpersiapkan untuk menyambutnya.

Sebagai rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pula hendaklah kita hidupkan bulan yang penuh barakah itu dengan amalan-amalan shalih, amalan-amalan yang ikhlash dan mencocoki sunnah Rasulullah. Kita menjauhkan dari amalan-amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah berwasiat :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang membuat-buat amalan baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Para ‘ulama berkata : “Bahwa hadits merupakan kaidah agung di antara kaidah-kaidah Islam. Ini merupakan salah satu bentuk jawami’ kalim (kalimat singkat namun bermakna luas) yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini sangat jelas dalam membatalkan semua bentuk bid’ah dan hal-hal baru yang dibuat dalam agama. Lafazh kedua lebih bersifat umum, karena mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah, walaupun pembuatnya orang lain.”

Termasuk perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan dengan amalan atau ritual tertentu, di antaranya :

1. Padusan atau Balimau Kasai, yaitu mandi bersama-sama dengan masih mengenakan busana, terkadang ada yang memimpin di suatu sungai, atau sumber air, atau telaga. Dengan niat mandi besar, dalam rangka membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Sampai-sampai ada di antara muslimin yang berkeyakinan kalau sekali saja terlewat dari ritual ini, rasanya ada yang kurang meski sudah menjalankan puasa. Jelas perbuatan ini tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga para shahabat, para salafus shalih, dan para ‘ulama yang mulia tidak ada yang mengamalkan atau menganjurkan amaliah tersebut. Sehingga kaum muslimin tidak boleh melakukan ritual ini. Belum lagi, dalam ritual Padusan ini, banyak terjadi kemungkaran. Ya, jelas-jelas mandi bersama antara laki-laki dan perempuan. Jelas ini merupakan kemungkaran yang sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam.

2. Nyekar di kuburan leluhur.
Tak jarang dari kaum muslimin, menjelang Ramadhan tiba datang ke pemakaman. Dalam Islam ada tuntunan ziarah kubur, yang disyari’atkan agar kaum muslimin ingat bahwa dirinya juga akan mati menyusul saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga dia pun harus mempersiapkan dirinya dengan iman dan amal shalih. Namun ziarah kubur, yang diistilahkan oleh orang jawa dengan nyekar, yang dikhususkan untuk menyambut Ramadhan tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam. Apalagi mengkhusukan nyekar di kuburan leluhur. Ini adalah perkara baru dalam agama. Tak jarang dalam ziarah kubur tercampur dengan kemungkaran. Yaitu sang peziarah malah berdoa kepada penghuni kubur, meminta-minta pada orang yang sudah mati, atau ngalap berkah dari tanah kuburan! Ini merupakan perbuatan syirik!

3. Minta maaf kepada sesama menjelang datangnya Ramadhan.
Dengan alasan agar menghadapi bulan Ramadhan dengan hati yang bersih, sudah terhapus beban dosa terhadap sesama. Bahkan di sebagian kalangan diyakini sebagai syarat agar puasanya sempurna. Tidak diragukan, bahwa meminta maaf kepada sesama adalah sesuatu yang dituntunkan dalam agama, meningat manusia adalah tempat salah dan lupa. Meminta ma’af di sini umum sifatnya, bahkan setiap saat harus kita lakukan jika kita berbuat salah kepada sesama, tidak terkait dengan waktu atau acara tertentu. Mengkaitkan permintaan ma’af dengan Ramadhan, atau dijadikan termasuk cara untuk menyambut Ramadhan, maka jelas ini membuat hal baru dalam agama. Amaliah ini bukan bagian dari tuntunan syari’at Islam.

Itulah beberapa contoh amalan yang tidak ada tuntunan dalam syari’at yang dijadikan acara dalam menyambut bulan ramadhan. Sayangnya, amaliah tersebut banyak tersebar di kalangan kaum muslimin.

Semestinya dalam menyambut Ramadhan Mubarak ini kita mempersiapkan iman dan niat ikhlas kita. Hendaknya kita berniat untuk benar-benar mengisi Ramadhan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih. Baik puasa itu sendiri, memperbaiki kualitas ibadah shalat kita, berjama’ah di masjid, qiyamul lail (shalat tarawih), tilawatul qur’an, memperbanyak dzikir, shadaqah, dan berbagai amal shalih lainnya.

Tentunya itu semua butuh iman dan niat yang ikhlas, disamping butuh ilmu tentang bagaimana tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam melaksanakan berbagai amal shalih tersebut. agar amal kita menjadi amal yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga perlu adanya kesiapan fisik, agar tubuh kita benar-benar sehat sehingga bisa menjalankan berbagai ibadah dan amal shalih pada bulan Ramadhan dengan lancar.

Puncak dari itu semua adalah semoga puasa dan semua amal ibadah kita pada bulan Ramadhan ini benar-benar bisa mengantarkan kita pada derajat taqwa di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang gagal dalam Ramadhan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر
“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar saja. Dan berapa banyak orang menegakkan ibadah malam hari, namun tidak ada yang ia dapatkan kecuali hanya begadang saja.” (HR. Ibu Majah)

Semoga kita termasuk orang yang mendapat keutamaan dan fadhilah dalam bulan Ramadhan ini. Semoga Allah menyatukan hati-hati kita di atas Islam dan Iman. Dan semoga Allah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai jembatan menuju keridhaan Allah ‘Azza wa Jallah dan meraih ketaqwaan kepada-Nya.

Wallähu a’lam..


Disarikan dari: Redaksi Assalafy.org (http://www.assalafy.org/mahad/?p=340&print=1)

Minggu, 17 Juli 2011

DI SEBUAH KOTA ASING (Cerpen Terjemahan - dimuat di Riau Pos Ahad, 17 Juli 2011)

Oleh : Tamim Ansary
Diterjemahkan oleh : Febby Fortinella Rusmoyo

Aku tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi di penjara, hanya bentuk dan perasaanku tentang tempat itu saja yang dapat kuingat. Langit-langit yang rendah, dengan bau lembab, mata-mata sendu para penghuni penjara yang perlahan-lahan menjadi buta karena terbiasa hidup di kegelapan. Aku juga ingat keributan di lorong-lorong: lima ratus percakapan terjadi dalam sekali waktu, denting sendok-sendok logam yang berbenturan dengan piring logam, racauan dan dentingan yang menyatu namun tak pernah berujung.
Dalam bilik sel, setiap siang dan malam, kau bisa mendengar suara dinding yang dikikis dengan sendok logam. Sebenarnya tembok kokoh itu tak bisa dilubangi dengan sendok aluminium, namun kami tetap saja berusaha mengikisnya. Cara itu sudah seperti ritual keagamaan bagi kami, cara untuk meyakini ada kehidupan setelah keluar dari penjara.
Para sipir tidak pernah menyita peralatan logam kami kecuali jika dapur kekurangan peralatan. Mereka hanya mondar-mandir di sepanjang lorong, menyeret-nyeret langkah mereka seperti bayi kurus.
Aku pasti telah ratusan kali membuat rencana melarikan diri dengan lusinan teman yang berbeda, dan aku tak ingat satu pun dari mereka. Suatu malam, aku sedang bersama dua pria yang tak kukenal ketika tiba-tiba satu dari sejuta tembakan itu terdengar, dan kami bertiga terlonjak kaget. Hal selanjutnya yang kami ketahui, kami berjalan terhuyung-huyung melintasi lapangan yang beku dibawah sinar purnama, sementara anjing-anjing polisi memimpin pengejaran di bagian jalan yang lain, mengikuti aroma yang salah sampai mereka melolong nyaring di kejauhan.
Untuk beberapa saat, kami berjalan terpincang-pincang bersisian, tak mendengar apapun selain dentingan rantai di kaki kami dan derak salju beku yang terinjak kaki kami. Aku ingat kemudian berhenti di sebuah rumah kosong dan menemukan peralatan toko di lantai bawah tanahnya, dan kami menangis tersedu-sedan setelah berhasil memecahkan rantai yang selama ini membelenggu kami. Kami mencuri beberapa pakaian, mengambil uang tunai yang tersimpan, dan melanjutkan perjalanan, berjalan hingga kami tersesat dan terus berjalan. Hari berganti menjadi malam dan setiap kota tampak serupa. Dari arah hutan, aku bisa mendengar gema derap kaki tiada henti saat sedang melarikan diri, dan mendengar detak jantung sendiri. Malam ketika kami tiba di kota ini, Joe bahkan tidak ingin berhenti untuk minum bir, tapi kami semua menginginkannya, sehingga dia tidak punya pilihan lain.
Di dalam bar, musik melantun dari kotak musik besar dari perak. Sekelompok koboi duduk di sebuah meja besar, minum dan tertawa. Kami tidak memilih duduk di pojok karena akan terlihat mencurigakan. Karenanya, kami tidak membuka kancing jaket dan duduk di sebelah meja para koboi, untuk menunjukkan bahwa kami tidak sedang menyembunyikan sesuatu. Ruangan itu beraroma bir yang menyengat dan pengap oleh asap rokok. Kotak musik itu mendentingkan, “Your cheating heart…”
Seorang wanita gemuk yang mengenakan pantalon nilon berwarna kuning mendatangi kami. Sebuah lampu gantung kuning merefleksikan bayangan setiap gumpalan pada wajahnya. “Pesan apa, anak-anak?”
“Beri mereka salah satu yang ada disini, Tillie,” teriak salah seorang koboi yang sudah mabuk, dan teman-temannya menyahut, “Yah!”
Wanita itu meletakkan gelas dengan kasar di meja kami, dan salah satu koboi meletakkan tangannya di pundak Joe yang kecil. “Tak seorang pun meninggalkan tempat ini tanpa mabuk, mengerti, teman?” Dia nyengir lebar.
“Harap…” Joe baru akan berbicara tapi Harry memelototinya. Kami tidak boleh menolak persahabatan dari orang lain disini, itu akan mencurigakan. Aku menahan Joe di tempat duduknya. “Minumlah, Joe, teman kita ini yang mentraktir!”
Joe tertawa dan menuang seluruh isi gelasnya ke tenggorokannya sementara para koboi berteriak-teriak, “Hajar! Hajar!” sambil memukul-mukul meja. Saat kami akan pergi, mereka berteriak,“Hei, pelayan. Kita biarkan saja anak-anak ini pergi? Gembok kunci itu!” Mabuk membuat mereka sejinak anak anjing. Hal terakhir yang kuingat pada malam itu adalah kami berdansa diatas meja dengan gelas di tangan masing-masing sambil bernyanyi,“Sonuva gun, gonna’ have some fun, in the bayou.” Sementara di dalam kepalaku, aku bisa mendengar suara anjing polisi datang.
Keesokan paginya mereka memberi kami sarapan bubur jagung dan melimpahi kami dengan keramahtamahan. Sial, mereka benar-benar menyukai kami! Tanpa kami ketahui, ternyata kami sudah dipesankan kamar hotel. Ketika beberapa penduduk kota ingin mengundang kami makan malam, Harry ingin menolaknya tapi Joe memberinya pengertian. “Memangnya kenapa?”
“Mereka tahu siapa kita,” gerutu Harry. “Mereka sedang mempermainkan kita.”
“Penahanan ini memang sangat buruk,” sahut Joe.
“Jika mereka tahu siapa kita,” sahutku, “lebih baik kita tidak membiarkan mereka tahu bahwa kita tahu akan hal itu.”
Karenanya kini kami tak ingin ambil pusing tentang masalah ini. Kami pergi ke alun-alun tempat berdansa setiap Jumat malam. Harry bahkan kini mulai diminta berdansa di depan. Kami sendiri tak sadar bahwa kami memiliki bakat ini. Keluarga Brown mengundang Harry untuk makan malam Thanksgiving. Lalu kami semua mendapat undangan dari keluarga Smith untuk menghadiri makan malam setiap minggunya, dan apa lagi yang bisa kami katakan? Joe bahkan terpeleset satu kali ke sebuah sekolah menengah, dan tanpa sepengetahuan kami, mereka menyuruhnya mengajar di Sekolah Minggu.
“Brengsek! Ini sudah keterlaluan!” umpat Joe. “Kita harus segera pindah.”
“Tak bisa,” jawab Harry. “Akan terlihat mencurigakan.”
Dialah orang pertama diantara kami yang mempunyai rumah. Laura membantu kami pindah. Dia adalah putri Tillie, dengan rambut pirang yang dikepang, rok dari kain genggam, dan tungkai kaki yang seolah dapat menjangkau ruang bawah tanah kalau saja tidak ada lantai. Kadang-kadang dia membawakan kami kue pai jika kami sedang di halaman. Setiap panen tiba, keluarganya mengundang kami untuk makan malam Thanksgiving. Aku duduk dengan tenang menanti makanan seperti anak kecil yang menunggu diberi biskuit. Dua puluh lima percakapan terjadi bersamaan di sekitar meja makan. Mereka berbaur dalam kebisingan tak menentu yang bercampur dengan denting sendok dan piring porselin. Aku bisa mendengar dengan jelas gema keras di dadaku, suara itu masih ada. Saat kubuka mataku, aku melihat Tillie sedang memandangiku dan hatiku ingin meledak.
Dia memalingkan wajahnya.
Dan saat itulah aku sadar bahwa dia tahu.
Dia berujar, “Makan, Willie, kau belum makan sedikit pun!” dan semua tertawa, namun dia sedang berpura-pura. Dibalik tawa besar itu dia dingin dan tenang, dengan pandangan tajam.
“Permisi,” ujarku. “Kurasa aku kekenyangan.” Aku meninggalkan kursiku, meluncur pulang.
Kedua temanku yang lain menyusulku beberapa menit kemudian. “Tillie tahu,” ujarku.
Aku ingin seseorang mengatakan padaku bahwa aku hanya mengimajinasikan sesuatu, tapi Harry justru mendukungku, “Aku juga merasakannya.”
Aku merasakan sakit yang lain. “Apa yang harus kita lakukan?”
“Cabut!” jawab Harry.
“Kabur!” imbuh Joe. “Inilah saatnya, Bung.”
“Tapi kau punya rumah, Harry! Aku punya Laura. Bagaimana kita bisa pergi?”
“Jika ini antara penjara dan sesuatu yang lain,” kata Harry. “Aku memilih kejahatan yang lebih kecil.”
Sebelum aku bisa membantah, seseorang mengetuk pintu.
Wajah Tillie Brown muncul di pintu terpantul dari cahaya obor. “Nah, disini kalian rupanya,” dia terkekeh, tapi sesaat setelah tawanya itu, aku mendengar desing masam kebohongan. “Kalian tak berpikir untuk melarikan diri, bukan?”
Joe menjadi pucat.
“Aku ada satu dua hal yang ingin kukatakan pada kalian, anak-anak. Jika kalian tahu apa yang kumaksud.” Tillie mengedipkan mata. “Aku sudah lama memperhatikan kalian. Aku mengawasi kalian.” Karena kami tetap tak bersuara, dia melanjutkan. “Kau begitu manis pada putriku, benar kan, Willie? Kau pikir dia siap untuk pria sepertimu? Siapkah?”
Dia meraih telepon. Aku tak bisa berkata atas kengerian ini. Kami telah menunggu lama. Dia sedang menghubungi melalui telepon. Saat itulah Joe memukulnya dengan tongkat yang terletak di dekat perapian. Dia memukulkan kait tumpul itu tepat di tengkoraknya. Ujungnya menancap di dahinya. Aku tak pernah sekaget ini. Bukan berarti karena aku buronan maka aku sudah berubah. Jauh di dalam hatiku, bagaimanapun, bersamaan dengan rasa kagetku, kurasa aku merasa lega.
Paling tidak keraguan itu sudah berakhir. Kami tahu apa yang akan kami lakukan selanjutnya. Aku bergegas ke kamar tidur dan menjejalkan pakaian secukupnya untuk kami bertiga ke dalam tas. Namun saat aku baru saja meraih gagang pintu depan, bel pintu berbunyi dan seketika aku berhadapan dengan petugas UPS.
“Paket untuk Tillie Brown,” katanya.
“Dia tidak tinggal disini.”
“Aku tahu,” jawabnya sambil tertawa, “tapi aku melihatnya masuk kesini tapi dia tidak keluar.”
“Akan kusampaikan paketnya.”
“Maaf, Nak. Pesanan khusus. Harus diserahkan langsung ke tangan yang bersangkutan.”
“Mmm.., dia sedang di kamar mandi saat ini, jadi...”
Di belakangku, entah bagaimana, pada saat yang sama, Harry nyeplos, “Dia di rumah sekarang, dia di rumah sekarang!”
“Lho, jadi mana yang benar,” tanya petugas UPS sambil menyipitkan matanya curiga. “Dia sedang di kamar mandi atau di rumah? Katakan, apa yang sebenarnya terjadi disini? Sebaiknya aku masuk dan melihat ke dalam.”
Petugas UPS itu mulai masuk ke dalam. Sumpah aku sudah melupakan senjata. Tapi entah bagaimana tiba-tiba benda itu sudah ada dalam genggamanku. Pada jarak sedekat itu, dia praktis menjadi hancur. Aku bersumpah pada Tuhan, aku tidak bermaksud melakukan itu. Aku bersumpah pada Tuhan, aku merasa sakit jiwa saat darahnya terciprat ke obor.
Saat berikutnya, aku duduk disana dengan pistol panas di tanganku dan teman-temanku mencengkeram lenganku. “Sekarang kita berdua telah melakukannya dan habislah kita,” ujar Joe serak. “Klub Pembunuh.”
“Dan aku sepertinya akan bergabung,” balas Harry. Tetangga kami baru keluar dari rumahnya. Dia pasti telah melihat semuanya, karena kini dia berdiri disana mematung dengan ketakutan dan menyesal, berharap dia tidak pernah datang melihat semuanya. Dia berbalik namun sudah terlambat.
“Memang seharusnya begitu.” Harry meniup asap bekas letusan pistolnya dan berkata, “Ayo bergegas! Jika kita beruntung, tak seorang pun bisa menemukan mayat-mayat ini hingga kita sudah lima puluh mil jauhnya.”
Satu hal yang harus kujelaskan. Kami bertiga sudah berkomitmen menjadi pembunuh, namun Harry memang yang terburuk diantara kami. Aku membunuhnya karena itulah hal terbaik yang dilakukan. Tak seorangpun mengharapkan dirinya. Aku menembaknya langsung ke jantung dan dia mati tanpa mengerang sedikitpun. Itulah yang terbaik.
“Panggil polisi!” bentakku. “Nanti kita katakan Harry ngamuk dan menembak mereka semua. Untung kita bisa menghentikannya sebelum dia membunuh lebih banyak lagi. Benar kan, Joe? Benar? Kau berada di pihakku, kan? Joe?”
Joe tertawa miring. “Aku hanya ingin bertahan hidup,” jawabnya.
“Betul sekali! Ini akan membuat kita berdua bertahan hidup. Kau akan lihat nanti, oke?”
Dia tak punya pilihan lain. Kami adalah tim, dia dan aku. Itu terjadi sudah lama sekali, tentu saja. Aku akhirnya menikahi Laura pada tahun yang sama. Dia mencintaiku karena telah membalas kematian ibunya. Joe juga menikah, dan mereka tinggal di pinggir kota. Kami tidak lagi saling mengunjungi. Semuanya berjalan dengan baik, kurasa. Namun setiap malam, aku masih mendengar gonggongan anjing-anjing polisi berlari melewati rawa, tapi hanya aku yang dapat mendengarnya. Aku berdoa di gereja, dan ikut dansa Jumat malam di alun-alun. Aku harap Laura dapat memahaminya. Semua yang kulakukan adalah yang terbaik untuk kami. Aku selalu mencoba menekan kejahatanku, mengingat keadaan. Tak seorang pun dari kita bisa memilih keadaan. Asal tahu saja, dia bisa menerima cerita tentang apa yang kami katakan pada polisi, tapi itu tak cukup. Tak cukup bagiku dia mencintaiku dan tidak menyalahkanku. Aku ingin dia memaafkanku. Tapi bagaimana dia bisa memaafkanku jika aku tidak mengakui apa yang tidak aku lakukan? Setiap kali kami duduk sambil sarapan, aku nyaris tak bisa membayangkan apa yang akan dikatakannya atas detak jantungku. Aku sering berpikir kami memang hidup bersama saat ini, namun jika aku memandangnya aku sadar aku salah. Kami sesungguhnya hidup sendiri-sendiri.

* * *
Judul Asli : “Town of Strangers”
Sumber : http://www.identitytheory.com

Tamim Ansary adalah penulis dan pembicara publik asal Amerika Serikat berdarah Afganistan. Dia menulis buku West of Kabul, East of New York, sebuah buku yang diterbitkan beberapa saat setelah peristiwa serangan teroris 11 September 2001. Dia juga seorang kolumnis untuk ensiklopedia situs Encarta, dan penulis buku Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes. Dia juga merupakan fasilitator dari San Francisco Writers Workshop, pertemuan penulis lepas tertua yang masih terus dilaksanakan sampai saat ini di Amerika Serikat. Novelnya The Widow's Husband (terbit pada musim semi 2009 oleh penerbit Public Affairs Books) memenangkan Penghargaan 2010 Northern California untuk kategori non-fiksi umum.

Febby Fortinella Rusmoyo, lahir di Pekanbaru, 14 Februari 1982; alumnus UIN Suska Riau, bekerja di UIN Suska Riau, dan pernah belajar di Sekolah Menulis Paragraf, domisili Pekanbaru. Karya-karyanya pernah dimuat di Riau Pos dan puisinya termuat dalam buku “Rahasia Hati: Antologi Penyair Muda Riau 2010” yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.

Minggu, 10 Juli 2011

“Stressku Hilang Kalau Ke Mal”

Itulah kalimat yang pernah terlontar dari mulut salah satu teman dekat saya saat kami jalan-jalan ke mal setelah beberapa bulan tidak melakukan aktivitas itu karena kesibukan masing-masing. Sebenarnya saya ingin tergelak mendengarnya waktu itu, namun saya tahan untuk menjaga perasaannya, karena dia mengatakannya dengan sangat serius. Kalimat inilah yang muncul kembali dalam benak saya setelah membaca tulisan Marhalim Zaini mengenai mal (Mall; Permainan Simbol Sosial, Pembentukan Identitas Kultural, Riau Pos Edisi Ahad, 26 Juni 2011). Sedikit koreksi untuk Marhalim Zaini, sejauh pengetahuan saya, ejaan kata mall dari Bahasa Inggris itu sudah diindonesiakan menjadi “mal” (dengan hanya satu huruf l). Jadi mungkin ada baiknya jika kita menggunakan istilah Bahasa Indonesianya saja.
Dalam tulisannya, Marhalim Zaini (selanjutnya disebut MZ) memaparkan keberadaan mal yang sangat menjamur saat ini dari sudut pandang budaya, sesuai bidang pengetahuan yang sedang beliau gali. Tak dapat kita pungkiri bahwa aktivitas pergi ke mal saat ini memang sudah menjadi bagian dari gaya hidup kota metropolitan atau kota-kota yang sedang beranjak menuju kesana. Dari segi budaya, inilah mungkin yang disebutkan oleh MZ sebagai permainan simbol sosial dan pembentukan identitas kultural. Kasarnya, jangan mengaku orang jaman sekarang jika tidak pernah menginjakkan kaki di mal dan tidak pernah belanja di mal. Bahkan masyarakat dari luar kota besar pun sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi mal di perkotaan pada akhir pekan dengan menyewa satu atau dua bus dari daerah mereka masing-masing sekedar untuk menginjakkan kaki di mal. Ini dapat kita lihat di Pekanbaru kota tercinta kita ini.
Penyimbolan hidup konsumerisme dari kebiasaan ke mal ini tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang budaya. Kita juga dapat menyelaminya dari sisi psikologis seseorang. Makna dari bepergian ke mal bagi orang yang “senang” melakukannya dengan orang yang “sekedar” melakukannya tentu saja berbeda. Contoh kasus adalah antara saya dan teman dekat saya tadi. Bagi teman saya itu, pergi ke mal dapat menghilangkan stressnya, menurut pendapatnya. Namun bagi saya pribadi, pergi ke mal jika tidak ada tujuan justru malah akan menimbulkan stress. Ke mal bagi saya adalah “sekedar” mencari apa yang saya anggap dapat saya temukan dan beli disana. Ini tentu terkait dengan “pemaknaan” mal itu sendiri bagi masing-masing pihak. Bagi teman saya itu, merasa dirinya menjadi bagian dari modernisasi adalah sebuah kebanggaan. Maka ke mal, sebagai bagian dari modernisasi, adalah juga sebuah tempat yang layak dikunjungi dan layak untuk memberikan kepuasan batin pada dirinya. Sementara bagi saya, keramaian – apapun bentuknya, tradisional ataupun modern – sesungguhnya tidaklah menjadi pilihan.
Pemaknaan yang berlebihan terhadap mal agaknya dapat disebabkan oleh semangat pragmatisme masif yang telah menjadi modal sentral sistem nilai masyarakat modern saat ini. Segala sesuatu cenderung dinilai dengan standar gengsi populer (popular prestige) yang diyakini sebagai hal yang impresif, bonafid dan signifikan (Widiyanto, 2008). Hal ini terjadi dalam segala sisi kehidupan seperti memilih pakaian, bahan makanan, bahkan sekolahan, atau kegiatan rekreasi yang kebanyakan lebih mengacu pada pendapat khalayak. Apakah pakaian yang fashionable, makanan yang well quality, sekolah yang high rating, atau jenis kegiatan rekreasi yang ’berkelas’ seperti mal. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, tanpa sadar kita akan mulai kehilangan identitas diri. Segala sesuatu harus sesuai dengan apa yang orang lain kenakan, apa yang orang lain makan, apa yang orang lain lakukan, sehingga kita terperangkap pada hal-hal yang sesungguhnya tidak kita butuhkan. Inilah yang disebut sebagai alienasi oleh Eric Fromm dalam bukunya Escape From Freedom (1961, dalam Widiyanto 2008). Orang yang teralienasi ditandai hilangnya otentitas diri, dan tidak bisa membedakan keinginan diri dengan keinginan orang lain. Model hidup orang yang teralienasi tidak memiliki konsep identitas yang jelas, karena terlalu banyak menyerahkan dirinya pada sesuatu di luar dirinya (other direct focus).
Teman saya ini misalnya, dia mendaftarkan diri menjadi anggota sebuah pusat kecantikan yang ada di sebuah mal di kota Pekanbaru ini dengan membayar sekian ratus ribu dan membeli produk dengan harga sekian ratus ribu pula hanya karena mengikuti teman kantornya yang juga menjadi anggota. Padahal menurut saya, wajahnya tidak memerlukan perawatan khusus yang harus sampai ditangani oleh ahlinya yang memang disediakan di pusat kecantikan itu. Namun sekali lagi, dia sudah terjebak dalam alienasi. Apa yang orang lain lakukan, dia lakukan juga tanpa dia mempertimbangkan lebih dahulu apakah dia benar-benar perlu melakukannya atau tidak. Dia sempat mengajak saya juga untuk mendaftarkan diri tapi saya tolak mentah-mentah. Saya tidak merasa butuh melakukan perawatan itu. Wajah saya “tidak kenapa-kenapa”.
Pemaknaan yang berlebihan terhadap mal juga dapat menimbulkan efek negatif sisi psikologis yang lain. Bisa jadi hal ini menimbulkan gangguan jiwa shopaholic bagi seseorang. Shopaholic menurut Oxford Expans (dalam Rizka, 2008; dalam Susilowati, 2008) adalah seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja dan berbelanja selalu sehingga menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya tidak selalu ia butuhkan. Gejalanya bisa berawal dari bepergian ke mal dengan tujuan agar tampak modern dan “gaul”, lalu tidaklah enak jika tidak membeli, maka dibelilah barang yang sesungguhnya tidak diperlukan. Sekali, dua kali, dan akhirnya menjadi kebiasaan, dan berkembang menjadi gangguan jiwa yang tak tertahankan.
Teman saya ini mungkin belum termasuk kategori shopaholic akut seperti kasus dalam film Confession of A Shopaholic. Namun saya menangkap beberapa kebiasaannya membeli barang – terutama pakaian – yang sesungguhnya tidak dia butuhkan dan memang kenyataannya tidak pernah dipakainya setelah dibeli. Ketika pergi ke mal dengan saya waktu itu, dia sempat hampir membeli sehelai pakaian berbentuk rompi (entah apalah nama trend-nya, saya kurang paham fashion), yang menurut saya modelnya tidak karuan dan sangatlah gampang dibuat oleh ibunya yang tukang jahit bahkan mungkin hanya bermodalkan kain perca saja. Sungguh tak karuan! Tapi menurutnya itu yang sedang tren saat ini. Saya sempat menegurnya dan berkata, “Kalau cuma begitu ibumu juga bisa membuatnya.” Entah karena kata-kata saya itu atau memang tiba-tiba “il-feel” (hilang feeling, atau kehilangan “rasa” untuk melakukan sesuatu), dia tidak jadi membeli kain itu, dan saya bernafas lega.
Kembali pada keberadaan mal tadi, hal ini tentu saja tidak sepenuhnya salah. Keberadaan mal di tengah-tengah masyarakat perkotaan tentu juga memberikan efek-efek positif, terutama dari segi ketenagakerjaan yang banyak terserap karenanya. Namun adalah perlu bagi kita sebagai individu untuk mewaspadai kecenderungan abnormal kita terhadap mal yang dapat menimbulkan efek-efek negatif seperti yang telah dipaparkan diatas. Kini segalanya kembali pada diri kita masing-masing. Mencegah arus modernisasi dan globalisasi tentu saja perkara yang sangat sulit – jika tak ingin menyebutnya tak mungkin – bagi kita sebagai individu, bagian dari masyarakat. Namun membentengi diri dengan pengetahuan, kekuatan jati diri dan karakter, serta tentunya agama, dapat mencegah kita dari pemaknaan yang berlebihan atas keberadaan mal pada khususnya dan modernisasi pada umumnya, sehingga kita terhindar dari alienasi, liminalisasi, homogenisasi, atau apapunlah namanya, yang pada ujungnya menghancurkan identitas diri kita yang sesungguhnya.
Semoga dapat direnungi.

Senin, 04 April 2011

"SHOCK THERAPY" AWAL TAHUN 2011...

Terlalu lama aku tak menulis. Mungkin karena itu kesehatan jiwaku agak kurang stabil, karena sesungguhnya menulis dapat membuat jiwa kita lebih stabil kan, karena ada pelampiasan positif atas tekanan yang kita rasakan. Tiga bulan pertama di tahun 2011 ini penuh “kejutan” bagiku. Nyaris seperti shock therapy, yang ujung-ujungnya adalah perenungan diri atas semua yang telah berlalu, semua dosa-dosaku dulu, dan semua yang selalu mengingatkanku agar tidak menjadi orang yang sombong. Terkadang kondisi ‘dicampakkan’ memang baik untuk menekan egoisme kita, agar kita tidak merasa bahwa kita orang yang SELALU hebat, SELALU baik, dan sempurna, karena sesungguhnya sempurna itu takkan pernah ada dalam diri manusia manapun.

Bulan pertama, Allah menegurku dengan mengambil seseorang yang telah ada dalam hidupku selama 10 tahun. Seseorang yang menjalani hubungan tak jelas denganku selama ini, namun sesungguhnya pengharapanku terlalu besar terhadapnya. Belum lagi keinginan orang tua yang berharap aku bisa bersamanya. Aku sudah berusaha mengungkapkan itu padanya, namun dia menolak mentah-mentah. Dia tidak yakin bisa menjadi pasangan yang setia pada pasangannya, karena itu dia tidak mau denganku, karena takutnya nanti mengecewakanku. Semua cerita tentangnya dan tentang harapan orang tuaku itu aku ungkapkan pada seorang teman (perempuan) yang selama ini cukup aku percayai walaupun sebenarnya aku tak terlalu dekat juga dengannya. Namun ternyata di belakangku mereka menjalin kedekatan yang saat ini sudah sampai pada tahap “serius”.. Padahal di awal si lelaki tidak mau karena si perempuan anak orang kaya dan ternama, dan sedari dulu, lelaki yang sangat kukenal luar dalam ini punya prinsip tidak ingin dengan anak orang kaya karena tak mau ada cap “cowok matre” di keningnya. Tapi kata-kata tinggal kata-kata.. Ternyata mungkin memang lebih enak naik mobil daripada panas-panasan diatas motor butut, ya tohh.... Apapun, dan bagaimanapun.., aku hanya menganggap semua ini sebagai jalan yang telah dibuat Allah untuk mengubur dalam-dalam harapan itu dan mencoba mencari yang lebih baik dan lebih baik dan jauh jauh jauh lebih baik...

Bulan kedua, aku tidak terlalu berharap. Namun ada sedikit rasa yang aku pendam padanya. Namun lelaki itu lebih memilih kedekatan dengan wanita bersuami tanpa memikirkan perkataan-perkataan miring semua orang terhadap hubungan mereka yang jelas-jelas amat sangat tidak sehat. Sudah sering aku melihat mereka, namun kali itu tak ada yang melebihi panas mendidih darahku.. Entah kenapa sekali itu amarahku yang dipicu oleh cemburu meledak tak alang-kepalang.., sehingga aku “mendepak” lelaki itu dari hidupku.. Aku tak ingin berurusan dengan orang yang terlalu “buta” yang tak pernah bisa menimbang-nimbang mana yang baik dan yang buruk. Lepas lagi satu harapanku.

Bulan ketiga, entah kenapa mendadak aku teringat dirinya. Seorang teman sekolah lama yang pernah sempat dekat beberapa tahun yang lalu setelah menginjak masa dewasa ini. Sempat berpengharapan padanya atas kedekatan itu, tapi mendadak dia “menghilang”. Mendadak juga aku terkenang dirinya saat itu, berniat untuk menanyakan keberadaannya pada teman yang lain, jikalau masih ada waktu untuk berhubungan, tapi yang aku temukan dari teman lain ternyata adalah UNDANGAN PERNIKAHAN-nya, dengan seorang wanita yang dulu juga teman sekolah, dan dulu adalah kembang sekolah, dan yang tak alang-kepalang cantiknya.... Yah..aku tahu.., aku memang “cuma begini”....

Tiga kali shock therapy, Tuhanku, dan dalam keadaan ini yang aku rasakan hanyalah bahwa sesungguhnya aku adalah makhluk kerdil hina-dina yang tak lebih dari sebutir pasir di pinggir samudra duniamu yang maha luas... Tak ada satu mili pun dari diriku yang patut aku sombongkan, karena bukanlah seseorang yang pantas sombong jika dalam hidupnya selalu dicampakkan... Terima kasih, Ya Robb, Engkau selalu mampu “mengingatkan”-ku sehingga aku benar-benar tak pernah mendapat kesempatan untuk menyombongkan diri.. Teruslah uji aku, sehingga aku menjadi hamba yang benar-benar “teruji”....

(Meja Kantor, 4 April 2011)