Senin, 25 Juni 2012

LIE TO ME (dimuat dalam buku "Kopi Hujan Pagi: Kumpulan Puisi dan Cerpen Sekolah Menulis Paragraf")


If you don’t love me lie to me
Cause baby you’re the one thing I believe
Let it all fall down around us
If that’s what meant to be
Right now if you can’t love me baby
Lie to me...

Lagu Bon Jovi itu menggema di kamar Robby. Entah mengapa dia suka sekali dengan lagu itu. Dia memang sangat mengidolakan Bon Jovi. Lagu-lagu Bon Jovi pulalah yang selalu menemani hari-harinya yang sepi.

I wanna lay you down in the bed of roses
For tonight I sleep on the bed of nails
I wanna be just as close as the Holy Ghost is
And lay you down on the bed of roses...

            Bed of Roses menjadi pengantar tidurnya. Tak pernah ada ucapan “selamat tidur” dari orang tuanya karena memang mereka tidak pernah ada di rumah. Papa sedang di Los Angeles, mama di Perth. Dia hanya anak tunggal yang kesepian. Para gadis pun hanya numpang lewat dalam hidupnya. Numpang tidur di kamarnya satu malam, untuk malam berikutnya diganti dengan gadis lain. Terkadang di hotel, vila, atau tempat manapun yang dia mau. Sesukanya… Karena wanita baginya hanya untuk sekali pakai. Itu yang dia pelajari dari mamanya, dari sikap mamanya. Ditemani satu, dua, tiga atau bergelas-gelas Long Island, dia melewati setiap malam dalam kehampaan.
            Hanya ada satu orang yang peduli padanya. Bi Hasnah, pembantunya. Dialah yang merawat Robby sejak baru lahir. Robby pulalah yang membuat Bi Hasnah bertahan di rumah yang tak pernah dihiasi dengan kasih sayang itu. Bahkan berkumpul pun nyaris tak pernah. Robby juga menganggap wanita paruh baya berpenampilan sederhana itu sebagai ibunya, sedangkan mamanya hanya dia anggap tante girang yang kebetulan satu rumah dengannya.
“Kamu ndak boleh gitu, Nak... Bu Vera itu mamamu. Bibi tahu betul gimana dia dulu melahirkan kamu. Dia kesakitan, Nak.. Makanya dia harus dioperasi. Dan karena itu juga dia ndak berani lagi punya anak. Kamu dosa lho kalau durhaka sama beliau..” Dengan logat Jawanya yang kental, berulang kali Bi Hasnah menasihati Robby agar mau menghormati orang tuanya, terutama mamanya.
“Bi Hasnah mamaku, bukan dia...” Kecut nada suaranya.
Bi Hasnah merasa tak patut berkata banyak lagi. Dia hanya mengelus kepala Robby yang berbaring di lantai, tepat di sampingnya.
            Sudah seminggu lebih Bi Hasnah sakit parah. Tapi Bi Hasnah tidak mau dibawa ke rumah sakit. Dipanggilkan dokter ke rumah pun dia menolak. Dia takut melihat dokter. Hanya dikompres-kompres oleh Ipah, anaknya yang juga turut membantu-bantu di rumah itu. Robby menjadi cemas bukan main. Dia semakin kesepian sejak Bi Hasnah sakit. Dia tidak begitu dekat dengan Ipah. Mama, yang kebetulan sedang tidak keluar kota, juga cemas. Bukan apa-apa. Jika tidak ada Bi Hasnah, siapa yang kan mengurus segala keperluan di rumah. Ipah tidak terlalu bisa diharapkan seperti emaknya. Dia kurang rajin dan tidak secekatan Bi Hasnah. Masakan juga kurang enak.
            Bi Hasnah tidak dapat ditolong lagi. Terakhir kali saat dia sudah sangat parah dan tak sadarkan diri, mama memanggil dokter keluarga ke rumah untuk memeriksa Bi Hasnah. Kata dokter itu, Bi Hasnah kena demam berdarah namun sudah stadium tinggi sehingga kemungkinan tertolongnya sangat kecil. Dan memang esoknya, Bi Hasnah berpulang untuk selamanya.
Semua penghuni rumah tentu saja bersedih, bahkan papa pun pulang dari LA, meninggalkan urusan bisnisnya yang selama ini menjadi nomor satu melebihi istri dan anaknya. Namun yang paling sedih bukannya Ipah, anak Bi Hasnah, melainkan Robby. Berhari-hari Robby berkurung di dalam kamarnya, yang tentu saja juga bolos dari kuliahnya.
Setelah tiga hari tiga malam “bersemedi”, Robby mulai lapar dan bosan. Di rumah hanya ada mama dan Ipah. Robby muak melihat mereka. Dia berniat minggat. Mama melihatnya bersiap-siap dan bertanya, “Mau kemana, Robby?”
Robby bungkam. Mama mendekatinya, “Tadi malam mama ditelepon Tante Widya, Sekretaris Jurusanmu yang teman mama itu. Katanya kamu sering tidak masuk kuliah tanpa alasan, dan pernah ditemukan mesum di sanggar musik di kampusmu. Kamu jangan bikin malu mama dong, Sayang...”
“Apa peduli Anda? Bukannya pekerjaan itu yang juga Anda lakoni...? Menjual tubuh demi kehidupan mewah yang Anda cari..? Suami dan anak hanya pelepas status..”
Sebuah tamparan mendarat di pipi Robby. “Anak durhaka..!!”
Robby melotot ke mamanya, menaiki Ninja-nya, menyemburkan, “Pelacur!!”, dan melarikan Ninja-nya dengan kesetanan.
            Dia mengarahkan motornya menuju “Markas Besar”, tempat dia biasa nongkrong dengan teman-temannya untuk mabuk, nyandu, atau pesta orgy. Dua minggu dia tidak pulang dan selama itu pula dia tidak masuk kuliah. Tapi, di markas pun dia sudah mulai bosan, sering bertingkah, sehingga menimbulkan pertengkaran dengan teman-teman satu genk-nya. Puncaknya, dia cabut dari markas itu. Kini Robby benar-benar tidak tahu tujuannya. Dia berziarah ke pusara Bi Hasnah. Disana dia berdoa dan mencurahkan seluruh isi hatinya seolah-olah berbicara pada Bi Hasnah. Setelah itu dia berkeliling kota tanpa tujuan. Bahkan dia sudah melewati batas kota dan kini berada di pinggiran kota yang lebih sepi.
            Malam tiba, Robby merasa lelah. Tapi dia tak tahu mau kemana. Akhirnya dia tidur di emperan sebuah toko. Dia tidur di lantai, di samping Ninja-nya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Robby tertidur sampai pagi.
            Robby terbangun karena mendengar suara pintu toko dibuka. Dilihatnya seorang gadis sedang membuka pintu toko itu. Gadis itu memandangnya dengan cemas.
“Maaf..., saya harus membuka pintu ini...” ujar gadis itu takut-takut.
“Silahkan! Apa saya mengganggu?” Robby bertanya ramah.
“Tidak. Ini motor kamu?” Gadis itu tak setakut tadi.
“Iya. Ini toko kamu ya?”
“Ya, punya ayahku.”
“Toko apa ini?” Robby mengintip sedikit ke dalam.
“Toko makanan dan minuman ringan.”
“Oya, kita belum kenalan. Aku Robby. Kamu siapa?” Robby mengulurkan tangannya.
“Lily,” Gadis itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Dia sudah merasa sedikit aman sekarang. “Kalau boleh tahu, mengapa kamu bisa sampai disini?”
“Aku kabur dari rumah.”
“Oh..., maaf...”
“Tidak apa.” Robby tersenyum.
            Lily kasihan melihat keadaan Robby yang tidak punya tempat tinggal. Dia meminta kedua orang tuanya untuk mengizinkan Robby tinggal di toko mereka untuk beberapa saat hari. Kebetulan toko mereka juga sedang membutuhkan seorang penjaga karena penjaga yang lama sudah keluar. Robby dipekerjakan disana dan mendapat sebuah kamar kecil.
            Hubungan Robby dan Lily semakin akrab. Bagi Robby, hanya Lily dan kedua orang tuanya yang baik hati itu yang menjadi tempatnya mengadu kini. Hanya merekalah orang-orang yang dicintai dan dipercayainya. Rasa percayanya pada orang lain sudah hilang sejak Bi Hasnah meninggal dan pertengkarannya dengan teman-teman satu genk. Tak ada seorang pun yang dipercayainya. Tapi setelah bertemu Lily dan orang tuanya, rasa percayanya berangsur-angsur pulih. Dia tidak lagi menganggap semua orang sebagai setan yang akan menghancurkan hidupnya.
            Lama-kelamaan Robby merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Lily. Dia mencintai gadis ayu itu. Rasa yang tak pernah tumbuh pada gadis lain sebelumnya yang sudah belasan orang ditidurinya. Saat mendapat waktu yang tepat, dia mengutarakan perasaannya pada Lily.
“Li, aku mencintaimu. Aku ingin hubungan kita ini lebih dari sekarang. Maukah kamu jadi pacarku? Atau kalau kamu tidak mau pacaran, kita langsung nikah saja. Aku berani. Aku akan bicara langsung dengan ayah dan ibumu. Kamu mau kan, sayang?”
Lily tertegun. Apa yang selama ini ditakutinya teryata terjadi juga. Dia tahu dan bisa merasakan cinta Robby padanya. Sebenarnya dia tidak terlalu suka pada Robby. Dia memang menyayangi Robby, tapi rasa sayangnya hanya sebatas adik dan kakak. Dia tidak dapat membayangkan Robby menjadi suaminya. Tapi di sisi lain dia juga kasihan pada Robby dan tidak tega menolak cinta Robby. Dia tak tahu harus berbuat apa. Dia tak berani menatap wajah Robby.
“Bagaimana, Lily?” desak Robby.
Lily melirik Robby, kemudian tertunduk lagi.
“Aku tahu kamu bingung menghadapi ini. Aku tahu kamu tak memiliki perasaan yang sama dengan perasaanku padamu. Namun kumohon, tolonglah terima aku. Kalau kamu tak mencintaiku, berbohonglah... Katakan saja kamu mencintaiku. Kamu satu-satunya gadis yang bisa kupercaya. Aku mempercayaimu karena semua yang telah kamu lakukan padaku selama ini. Kamu telah memperlakukanku dengan baik, sangat baik. Perlakuan yang tak pernah aku terima dari orang lain, bahkan dari orang tuaku sendiri.” Wajah Robby sungguh memelas. Lily tak sanggup menahan air matanya.
“Kumohon, Li, tolonglah aku..! Belajarlah untuk mencintaiku...”
            Kali ini Lily  memberanikan diri menatap Robby. Akhirnya, “Robby, aku berjanji akan belajar mencintaimu, tapi dengan satu syarat...”
“Apa itu?”
“Berjanjilah untuk menepatinya!”
Robby diam sejenak, lalu, “Baik, aku berjanji..”
Lily menatapnya dan berkata, “Temui kedua orang tuamu dan minta maaflah pada mereka..”
            Robby tertegun. Sungguh berat syarat yang diajukan Lily, tapi dia sudah terlanjur berjanji. Dia bahkan sudah nyaris lupa dengan rumahnya. Dia sama sekali tidak pernah mendengar kabar tentang kedua orang tuanya. Tapi Lily memang benar. Dia harus mendatangi kedua orang tuanya. Bagaimanapun mereka mengabaikannya, tapi mereka tetap orang tua kandungnya.
            Begitu ada waktu luang, Robby pergi ke arah kota, menuju rumah yang dulu pernah ditempatinya. Dia juga tidak tahu apakah kedua orang tuanya dan Ipah, pembantunya yang anak Bi Hasnah itu, masih tinggal disitu. Hari menjelang sore saat dia tiba di rumah itu. Masih ada, masih seperti dulu, hanya saja sudah lebih lusuh, seperti rumah yang tidak berpenghuni. Tapi di depan rumah ada sebuah BMW terparkir. Mobil yang biasa dipakai papanya bepergian. Mungkinkah papanya sedang ada di rumah?
            Robby berjalan ke teras. Pintu depannya sedikit terbuka. Robby mengintip ke dalam. Dia mengucap salam, tidak ada yang menjawab. Tiga kali mengucap salam, tetap tidak ada sahutan. Dia memberanikan diri untuk masuk. Tidak ada yang berubah dari interior rumah itu, tapi Robby merasa asing. Robby terus masuk ke ruang tengah. Terdengar suara televisi yang sedang dinyalakan, tapi tidak ada seorang pun yang sedang menonton. Terdengar suara tawa manja seorang wanita dari arah kamar utama yang berada di dekat ruang televisi. Robby berjalan dengan ragu-ragu ke arah kamar itu. Dia tidak ingin menganggu apalagi dikira maling, tapi dia juga penasaran dengan orangnya. Siapa yang sedang bercengkerama di kamar orang tuanya itu? Suara wanita itu terlalu muda untuk ukuran suara mamanya. Mengendap-endap Robby mendekati kamar itu. Pintunya sama seperti pintu ruang tamu, terbuka sedikit. Suara wanita itu semakin jelas, dan tawa makin keras dan makin manja. Sekilas Robby melihat punggung lelaki setengah baya. Seperti sosok papanya. Lelaki itu nyaris tak berbusana. Sekilas tampak juga olehnya sosok wanita yang sedang terbaring diatas tempat tidur dengan tubuh yang juga nyaris tak berbusana dan hendak ditindih tubuh lelaki itu. Entah mengapa firasat Robby mengatakan itu bukan mamanya. Setengah tak sadar dia membuka pintu kamar itu lebar-lebar. Suara pintu yang terkuak membuyarkan konsentrasi dua insan yang hendak menuntaskan hasrat primitifnya. Lelaki itu membalikkan badan. Papanya ternganga menatapnya. Wanita itu pun mengangkat tubuhnya yang sudah terhampar itu dan memandang ke arah pintu. Mata mereka beradu. Dan seketika Robby merasa petir menyambar tubuhnya...
“ROBBY..!! Ya Tuhan..!” Lily menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Papa Robby terlalu kaget untuk bertanya apa yang terjadi. Robby langsung melesat keluar, menaiki Ninja-nya yang setia, hanya Ninja itu satu-satunya yang setia padanya, mengendarainya nyaris tanpa kesadaran, dan akhirnya benar-benar tak sadarkan diri setelah bunyi klakson mobil dan benturan keras.

(Suatu hari antara tahun 1996 – 1998)