If you don’t love me lie to me
Cause baby you’re the one thing
I believe
Let it all fall down around us
If that’s what meant to be
Right now if you can’t love me
baby
Lie to me...
Lagu Bon Jovi itu
menggema di kamar Robby. Entah mengapa dia suka sekali dengan lagu itu. Dia
memang sangat mengidolakan Bon Jovi. Lagu-lagu Bon Jovi pulalah yang selalu
menemani hari-harinya yang sepi.
I wanna lay you down in the bed
of roses
For tonight I sleep on the bed
of nails
I wanna be just as close as the
Holy Ghost is
And lay you down on the bed of
roses...
Bed of Roses menjadi pengantar tidurnya.
Tak pernah ada ucapan “selamat tidur” dari orang tuanya karena memang mereka tidak
pernah ada di rumah. Papa sedang di Los Angeles, mama di Perth. Dia hanya anak
tunggal yang kesepian. Para gadis pun hanya numpang lewat dalam hidupnya.
Numpang tidur di kamarnya satu malam, untuk malam berikutnya diganti dengan
gadis lain. Terkadang di hotel, vila, atau tempat manapun yang dia mau.
Sesukanya… Karena wanita baginya hanya untuk sekali pakai. Itu yang dia
pelajari dari mamanya, dari sikap mamanya. Ditemani satu, dua, tiga atau
bergelas-gelas Long Island, dia
melewati setiap malam dalam kehampaan.
Hanya
ada satu orang yang peduli padanya. Bi Hasnah, pembantunya. Dialah yang merawat
Robby sejak baru lahir. Robby pulalah yang membuat Bi Hasnah bertahan di rumah
yang tak pernah dihiasi dengan kasih sayang itu. Bahkan berkumpul pun nyaris
tak pernah. Robby juga menganggap wanita paruh baya berpenampilan sederhana itu
sebagai ibunya, sedangkan mamanya hanya dia anggap tante girang yang kebetulan
satu rumah dengannya.
“Kamu ndak boleh gitu, Nak... Bu Vera itu mamamu. Bibi tahu betul gimana dia dulu
melahirkan kamu. Dia kesakitan, Nak.. Makanya dia harus dioperasi. Dan karena
itu juga dia ndak berani lagi punya
anak. Kamu dosa lho kalau durhaka
sama beliau..” Dengan logat Jawanya yang kental, berulang kali Bi Hasnah
menasihati Robby agar mau menghormati orang tuanya, terutama mamanya.
“Bi Hasnah mamaku,
bukan dia...” Kecut nada suaranya.
Bi Hasnah merasa
tak patut berkata banyak lagi. Dia hanya mengelus kepala Robby yang berbaring
di lantai, tepat di sampingnya.
Sudah
seminggu lebih Bi Hasnah sakit parah. Tapi Bi Hasnah tidak mau dibawa ke rumah
sakit. Dipanggilkan dokter ke rumah pun dia menolak. Dia takut melihat dokter.
Hanya dikompres-kompres oleh Ipah, anaknya yang juga turut membantu-bantu di
rumah itu. Robby menjadi cemas bukan main. Dia semakin kesepian sejak Bi Hasnah
sakit. Dia tidak begitu dekat dengan Ipah. Mama, yang kebetulan sedang tidak
keluar kota, juga cemas. Bukan apa-apa. Jika tidak ada Bi Hasnah, siapa yang
kan mengurus segala keperluan di rumah. Ipah tidak terlalu bisa diharapkan
seperti emaknya. Dia kurang rajin dan tidak secekatan Bi Hasnah. Masakan juga
kurang enak.
Bi
Hasnah tidak dapat ditolong lagi. Terakhir kali saat dia sudah sangat parah dan
tak sadarkan diri, mama memanggil dokter keluarga ke rumah untuk memeriksa Bi
Hasnah. Kata dokter itu, Bi Hasnah kena demam berdarah namun sudah stadium
tinggi sehingga kemungkinan tertolongnya sangat kecil. Dan memang esoknya, Bi
Hasnah berpulang untuk selamanya.
Semua penghuni
rumah tentu saja bersedih, bahkan papa pun pulang dari LA, meninggalkan urusan
bisnisnya yang selama ini menjadi nomor satu melebihi istri dan anaknya. Namun
yang paling sedih bukannya Ipah, anak Bi Hasnah, melainkan Robby. Berhari-hari
Robby berkurung di dalam kamarnya, yang tentu saja juga bolos dari kuliahnya.
Setelah tiga hari
tiga malam “bersemedi”, Robby mulai lapar dan bosan. Di rumah hanya ada mama
dan Ipah. Robby muak melihat mereka. Dia berniat minggat. Mama melihatnya
bersiap-siap dan bertanya, “Mau kemana, Robby?”
Robby bungkam. Mama
mendekatinya, “Tadi malam mama ditelepon Tante Widya, Sekretaris Jurusanmu yang
teman mama itu. Katanya kamu sering tidak masuk kuliah tanpa alasan, dan pernah
ditemukan mesum di sanggar musik di kampusmu. Kamu jangan bikin malu mama dong,
Sayang...”
“Apa peduli Anda? Bukannya
pekerjaan itu yang juga Anda lakoni...? Menjual tubuh demi kehidupan mewah yang
Anda cari..? Suami dan anak hanya pelepas status..”
Sebuah tamparan
mendarat di pipi Robby. “Anak durhaka..!!”
Robby melotot ke
mamanya, menaiki Ninja-nya,
menyemburkan, “Pelacur!!”, dan melarikan Ninja-nya dengan kesetanan.
Dia
mengarahkan motornya menuju “Markas Besar”, tempat dia biasa nongkrong dengan
teman-temannya untuk mabuk, nyandu,
atau pesta orgy. Dua minggu dia tidak
pulang dan selama itu pula dia tidak masuk kuliah. Tapi, di markas pun dia
sudah mulai bosan, sering bertingkah, sehingga menimbulkan pertengkaran dengan
teman-teman satu genk-nya. Puncaknya,
dia cabut dari markas itu. Kini Robby benar-benar tidak tahu tujuannya. Dia
berziarah ke pusara Bi Hasnah. Disana dia berdoa dan mencurahkan seluruh isi
hatinya seolah-olah berbicara pada Bi Hasnah. Setelah itu dia berkeliling kota
tanpa tujuan. Bahkan dia sudah melewati batas kota dan kini berada di pinggiran
kota yang lebih sepi.
Malam
tiba, Robby merasa lelah. Tapi dia tak tahu mau kemana. Akhirnya dia tidur di
emperan sebuah toko. Dia tidur di lantai, di samping Ninja-nya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi. Robby tertidur
sampai pagi.
Robby
terbangun karena mendengar suara pintu toko dibuka. Dilihatnya seorang gadis
sedang membuka pintu toko itu. Gadis itu memandangnya dengan cemas.
“Maaf..., saya
harus membuka pintu ini...” ujar gadis itu takut-takut.
“Silahkan! Apa saya
mengganggu?” Robby bertanya ramah.
“Tidak. Ini motor
kamu?” Gadis itu tak setakut tadi.
“Iya. Ini toko kamu
ya?”
“Ya, punya ayahku.”
“Toko apa ini?”
Robby mengintip sedikit ke dalam.
“Toko makanan dan
minuman ringan.”
“Oya, kita belum
kenalan. Aku Robby. Kamu siapa?” Robby mengulurkan tangannya.
“Lily,” Gadis itu
mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Dia sudah merasa sedikit aman sekarang.
“Kalau boleh tahu, mengapa kamu bisa sampai disini?”
“Aku kabur dari
rumah.”
“Oh..., maaf...”
“Tidak apa.” Robby
tersenyum.
Lily
kasihan melihat keadaan Robby yang tidak punya tempat tinggal. Dia meminta
kedua orang tuanya untuk mengizinkan Robby tinggal di toko mereka untuk
beberapa saat hari. Kebetulan toko mereka juga sedang membutuhkan seorang
penjaga karena penjaga yang lama sudah keluar. Robby dipekerjakan disana dan
mendapat sebuah kamar kecil.
Hubungan
Robby dan Lily semakin akrab. Bagi Robby, hanya Lily dan kedua orang tuanya
yang baik hati itu yang menjadi tempatnya mengadu kini. Hanya merekalah
orang-orang yang dicintai dan dipercayainya. Rasa percayanya pada orang lain
sudah hilang sejak Bi Hasnah meninggal dan pertengkarannya dengan teman-teman
satu genk. Tak ada seorang pun yang
dipercayainya. Tapi setelah bertemu Lily dan orang tuanya, rasa percayanya
berangsur-angsur pulih. Dia tidak lagi menganggap semua orang sebagai setan
yang akan menghancurkan hidupnya.
Lama-kelamaan
Robby merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Lily. Dia mencintai gadis ayu itu.
Rasa yang tak pernah tumbuh pada gadis lain sebelumnya yang sudah belasan orang
ditidurinya. Saat mendapat waktu yang tepat, dia mengutarakan perasaannya pada
Lily.
“Li, aku
mencintaimu. Aku ingin hubungan kita ini lebih dari sekarang. Maukah kamu jadi
pacarku? Atau kalau kamu tidak mau pacaran, kita langsung nikah saja. Aku
berani. Aku akan bicara langsung dengan ayah dan ibumu. Kamu mau kan, sayang?”
Lily tertegun. Apa
yang selama ini ditakutinya teryata terjadi juga. Dia tahu dan bisa merasakan
cinta Robby padanya. Sebenarnya dia tidak terlalu suka pada Robby. Dia memang
menyayangi Robby, tapi rasa sayangnya hanya sebatas adik dan kakak. Dia tidak
dapat membayangkan Robby menjadi suaminya. Tapi di sisi lain dia juga kasihan
pada Robby dan tidak tega menolak cinta Robby. Dia tak tahu harus berbuat apa.
Dia tak berani menatap wajah Robby.
“Bagaimana, Lily?”
desak Robby.
Lily melirik Robby,
kemudian tertunduk lagi.
“Aku tahu kamu
bingung menghadapi ini. Aku tahu kamu tak memiliki perasaan yang sama dengan
perasaanku padamu. Namun kumohon, tolonglah terima aku. Kalau kamu tak
mencintaiku, berbohonglah... Katakan saja kamu mencintaiku. Kamu satu-satunya
gadis yang bisa kupercaya. Aku mempercayaimu karena semua yang telah kamu
lakukan padaku selama ini. Kamu telah memperlakukanku dengan baik, sangat baik.
Perlakuan yang tak pernah aku terima dari orang lain, bahkan dari orang tuaku
sendiri.” Wajah Robby sungguh memelas. Lily tak sanggup menahan air matanya.
“Kumohon, Li,
tolonglah aku..! Belajarlah untuk mencintaiku...”
Kali ini
Lily memberanikan diri menatap Robby.
Akhirnya, “Robby, aku berjanji akan belajar mencintaimu, tapi dengan satu
syarat...”
“Apa itu?”
“Berjanjilah untuk
menepatinya!”
Robby diam sejenak,
lalu, “Baik, aku berjanji..”
Lily menatapnya dan
berkata, “Temui kedua orang tuamu dan minta maaflah pada mereka..”
Robby
tertegun. Sungguh berat syarat yang diajukan Lily, tapi dia sudah terlanjur
berjanji. Dia bahkan sudah nyaris lupa dengan rumahnya. Dia sama sekali tidak
pernah mendengar kabar tentang kedua orang tuanya. Tapi Lily memang benar. Dia
harus mendatangi kedua orang tuanya. Bagaimanapun mereka mengabaikannya, tapi
mereka tetap orang tua kandungnya.
Begitu ada
waktu luang, Robby pergi ke arah kota, menuju rumah yang dulu pernah
ditempatinya. Dia juga tidak tahu apakah kedua orang tuanya dan Ipah,
pembantunya yang anak Bi Hasnah itu, masih tinggal disitu. Hari menjelang sore
saat dia tiba di rumah itu. Masih ada, masih seperti dulu, hanya saja sudah
lebih lusuh, seperti rumah yang tidak berpenghuni. Tapi di depan rumah ada
sebuah BMW terparkir. Mobil yang biasa dipakai papanya bepergian. Mungkinkah
papanya sedang ada di rumah?
Robby
berjalan ke teras. Pintu depannya sedikit terbuka. Robby mengintip ke dalam. Dia
mengucap salam, tidak ada yang menjawab. Tiga kali mengucap salam, tetap tidak
ada sahutan. Dia memberanikan diri untuk masuk. Tidak ada yang berubah dari
interior rumah itu, tapi Robby merasa asing. Robby terus masuk ke ruang tengah.
Terdengar suara televisi yang sedang dinyalakan, tapi tidak ada seorang pun
yang sedang menonton. Terdengar suara tawa manja seorang wanita dari arah kamar
utama yang berada di dekat ruang televisi. Robby berjalan dengan ragu-ragu ke
arah kamar itu. Dia tidak ingin menganggu apalagi dikira maling, tapi dia juga
penasaran dengan orangnya. Siapa yang sedang bercengkerama di kamar orang
tuanya itu? Suara wanita itu terlalu muda untuk ukuran suara mamanya. Mengendap-endap
Robby mendekati kamar itu. Pintunya sama seperti pintu ruang tamu, terbuka
sedikit. Suara wanita itu semakin jelas, dan tawa makin keras dan makin manja. Sekilas
Robby melihat punggung lelaki setengah baya. Seperti sosok papanya. Lelaki itu
nyaris tak berbusana. Sekilas tampak juga olehnya sosok wanita yang sedang
terbaring diatas tempat tidur dengan tubuh yang juga nyaris tak berbusana dan
hendak ditindih tubuh lelaki itu. Entah mengapa firasat Robby mengatakan itu
bukan mamanya. Setengah tak sadar dia membuka pintu kamar itu lebar-lebar.
Suara pintu yang terkuak membuyarkan konsentrasi dua insan yang hendak
menuntaskan hasrat primitifnya. Lelaki itu membalikkan badan. Papanya ternganga
menatapnya. Wanita itu pun mengangkat tubuhnya yang sudah terhampar itu dan
memandang ke arah pintu. Mata mereka beradu. Dan seketika Robby merasa petir
menyambar tubuhnya...
“ROBBY..!! Ya
Tuhan..!” Lily menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Papa Robby terlalu
kaget untuk bertanya apa yang terjadi. Robby langsung melesat keluar, menaiki Ninja-nya yang setia, hanya Ninja itu satu-satunya yang setia
padanya, mengendarainya nyaris tanpa kesadaran, dan akhirnya benar-benar tak
sadarkan diri setelah bunyi klakson mobil dan benturan keras.