Selasa, 25 Maret 2014

A “Nekad” Travel To Singapore (Day 1)

Sesungguhnya tidak pernah terlintas di benakku akan mengadakan perjalanan liburan ke Singapura tanpa keluarga. Semua ini berawal dari keinginan untuk refreshing bersama dengan beberapa teman kuliahku, setelah selama 3 semester dicecar dengan materi perkuliahan S2 yang memusingkan kepala, menyesakkan dada, dan membengkakkan mata (karena sering kurang tidur). Maka aku, Melgis, Elfi, dan Ike, merancang acara jalan-jalan itu dengan detail, mulai dari jenis transportasi yang akan digunakan, rute keberangkatan, penginapan, estimasi biaya, dan sebagainya.

Hampir sebulan setelah pemmbicaraan itu, barulah aku mengkonfirmasi ulang kepada teman-teman tentang jadi atau tidaknya rencana kepergian itu. Semua itu tertunda karena kami fokus untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan kantor terlebih dahulu. Tapi sayang, Elfi dan Ike pada akhirnya tidak bisa ikut bergabung karena mereka bekerja sebagai pengajar di sekolah, sementara saat ini adalah musim ulangan dan ujian yang tidak memungkinkan mereka untuk meminta izin dari kepala sekolah masing-masing. Maka dengan penuh tekad bulat dan sedikit “nekad” (karena tidak satupun dari kami – aku dan Melgis – yang mengenal Singapura, aku dulu pernah dengan keluarga saat berusia DUA TAHUN..).

Setelah mencoba mencari tiket pesawat Pekanbaru-Batam (PP) di internet dan tidak menemukan harga yang pas, aku bertanya kepada seorang teman, Eva. Beruntung, ternyata dia punya saudara, Afgan, yang bekerja di sebuah biro perjalanan di Batam, sehingga akhirnya aku memesan tiket pesawat Pekanbaru-Batam kepada saudaranya itu. Dan kami beruntung mendapat tiket promo seharga Rp. 730.000 PP. Rencananya dari Batam menuju Singapura, kami akan naik speedboat. Tiket speedboat bisa kami beli sesampainya di Batam saja.

Untuk mengetahui seluk-beluk perjalanan di Singapura nantinya, aku telah browsing di internet untuk mencari referensi yang kemudian aku buat seperti buku. Selain itu, aku juga banyak bertanya kepada Afgan tentang apa saja yang perlu kami persiapkan dan kira-kira apa saja yang diperlukan nantinya. Tidak puas hanya dari satu sumber, aku bertanya kepada seorang teman yang juga dosen di salah satu Fakultas di UIN Suska Riau, yang kebetulan juga seorang backpacker. Dari Jully, namanya, aku juga mendapat lebih banyak informasi tentang “tata cara” bepergian ala backpacker. Berapa duit yang harus dipersiapkan, dimana harus menginap, dimana bisa makan (yang halal tentunya), dan sebagainya. Dan berkat dukungannya juga, meski aku sempat agak khawatir dengan tidak berpengalamannya kami berdua untuk masalah jalan-jalan, aku menjadi lebih berani dan percaya diri untuk pergi meski kami sama-sama masih “nol”. Yang jelas modal utama kami hanyalah penguasaan Bahasa Inggris yang tentunya sangat diperlukan untuk berkomunikasi di sana nantinya.

Akhirnya tibalah hari keberangkatan. Kamis, 20 Maret 2014, aku dan Melgis terbang dengan pesawat Lion Air menuju Batam. Diatas pesawat, kami bahkan belum tahu akan menginap dimana. Kami pun menghabiskan perjalanan dengan membaca referensi yang sudah aku siapkan dan mencari tahu dimana daerah yang kira-kira aman, nyaman, dan “ramah kantong” bagi kami untuk menginap. Semula aku berencana untuk menginap di daerah Geylang. Tapi dari Afgan dan seorang kakak laki-lakiku, aku mendengar bahwa daerah itu kurang “aman”, cenderung lebih terkenal sebagai “daerah malam”. Setelah membaca kembali referensi, mendadak hatiku langsung yakin untuk menginap di daerah Kampung Bugis. Daerah itu juga dekat dengan Kampung Arab (Arab Street), dan ada sebuah masjid besar dan bersejarah di sana. Lingkungannya juga lebih Islami daripada daerah lain, dan lebih mudah mencari tempat makan halal tentunya. Maka akhirnya kami sepakat untuk menginap di daerah Kampung Bugis.

Aku & Imel dalam kapal
Sekitar 45 menit berada di atas awan, akhirnya pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Hang Nadim Batam. Disana, Afgan sudah menunggu dengan mobilnya dan siap mengantar kami ke makan siang, lalu menukar uang di money changer, dan membelikan kami tiket speedboat, dan mengantarkan ke pelabuhan. Dia juga berjanji akan mengantar kami keliling Batam saat kembali nanti, dan berbelanja pakaian “second hand” yang terkenal di Batam.

Aku dalam kapal
Perjalanan laut menuju Singapura pun dimulai. Kami berangkat jam 14.40 dari Batam. Semula aku agak khawatir kalau-kalau aku akan mabuk laut, mengingat selama ini aku belum pernah melakukan perjalanan lewat laut. Tapi syukurlah ternyata tidak. Maka sudah bisa kusimpulkan aku memang bukan tipikal orang yang mabuk perjalanan karena baik lewat darat, udara, maupun laut, aku tidak pernah mabuk.
Laut yang kami lewati

Kami sampai di Harbour Front, Singapura sekitar jam 3. Dari pelabuhan, kami memberanikan diri menggunakan transportasi MRT (Mass Rapid Transportation), yaitu moda transportasi kereta cepat bawah tanah. Semula kami masih keliling-keliling terminal untuk mencari tahu bagaimana caranya bisa menggunakan kendaraan ini. Akhirnya kami menuju tiket dan membeli kartu Ez-Link, kartu tiket MRT yang bisa digunakan kapan saja dan kemana saja dengan syarat masih ada isi depositnya. Maka akhirnya kami naik MRT dengan kartu ini, bergabung dengan para penumpang lain yang tentu saja mayoritas warga Singapura sendiri. Karena saat itu jam sudah menunjukkan sekitar jam 4 sore, maka MRT sedang ramai-ramainya karena jam pulang kerja. Tapi meskipun ramai, tidak ada istilah berdesak-desakan dan dorong-dorongan sesama penumpang, karena semua naik dan turun dengan tertib dan teratur meski dengan langkah-langkah cepat.

Di Harbour Front, Singapore
Di MRT (Mass Rapid Transportation)
Satu hal yang tidak perlu kita khawatirkan jika berjalan-jalan ke Singapura adalah bahwa peta ada dimana-mana sehingga kita tidak perlu khawatir tersesat, yang penting adalah kita paham membaca peta. Dari pelabuhan, kami mengambil jurusan ke Kampung Bugis. Sesampai di terminal Bugis, kami sempat bingung lagi mau ke arah mana. Sekali lagi, kami tertolong dengan adanya peta di sudut terminal, sehingga kami tahu harus berjalan ke arah mana. Hal pertama yang ada di benak kami adalah mencari letak Masjid Sultan yang berada di daerah Kampung Bugis itu untuk melaksanakan sholar Zuhur dan Ashar yang belum sempat kami kerjakan di Batam. Alhamdulillah tidak terlalu sulit menemukannya karena masjid ini berada di tengah-tengah dan di dekat persimpangan jalan.
Masjid Sultan, Kampung Bugis, Singapura

Karena hari juga sudah hampir magrib, aku dan Melgis memutuskan untuk tetap saja di masjid hingga tiba waktu magrib, untuk kemudian mencari penginapan setelah selesai sholat magrib. Ternyata waktu sholat masuk lebih lambat kurang lebih 45 menit dari daerah Pekanbaru, Riau, Indonesia. Waktu magrib disini masuk sekitar jam 19.15 waktu setempat. Setelah sholat magrib berjamaah, aku langsung melanjutkan dengan sholat jamak Isya, agar setiba di penginapan nanti sudah tenang, sehingga bisa langsung istirahat.

Shophouse
The Social Hostel
Usai magrib, mulailah kami berkeliling mencari hostel. Kami menemukan sebuah hostel, “Shophouse The Social Hostel”, yang terletak di Arab Street, tapi tidak ada female dorm (kamar khusus wanita) yang masih tersedia, yang ada hanya mixed room (kamar campuran, laki-laki dan perempuan). Karenanya kami memutuskan untuk tidak mengambil tempat di sana. Kami melanjutkan perjalanan, entah ke arah mana, yang jelas kami hanya mencari-cari. Akhirnya kami menemukan sebuah hostel lagi, “ABC Backpackers Hostels”, terletak di Jalan Kubor.

ABC Backpackers Hostels
Kami masuk, namun meja resepsionisnya kosong. Seorang pria berparas Cina duduk di depan sebuah komputer yang terletak tak jauh dari meja resepsionis. “Excuse me..”, ujarku. Dia menoleh, lalu menunjuk ke bagian dalam, dan memberi isyarat “tunggu” dengan tangannya. Berarti dia bukan pemilik hostel, mungkin dia hanya tamu yang sedang memanfaatkan fasilitas komputer untuk tamu. Aku dan Melgis duduk menunggu datangnya resepsionis untuk melayani kami. Cukup lama kami menunggu, bahkan aku sempat mengumpulkan peta, brosur informasi untuk turis, brosur tour bus, dan beberapa brosur lagi yang mungkin akan bermanfaat bagi kami selama perjalanan kami di sini.

Setelah cukup lama menunggu (sejujurnya aku sudah mulai hampir kehilangan kesabaran dan nyaris mengajak Melgis untuk keluar dan mencari tempat lain), akhirnya sang resepsionis datang. Dia seorang keturunan India, tinggi, besar, hitam, dan seram, dan tidak ramah. Kami menanyakan female dorm, untungnya masih ada.
“How many nights will you stay?” dia bertanya dengan nada dingin dan tatapan tajam.
“Three nights..?” Melgis menjawab sambil bertanya ke arahku.
“No..no..no.., just one night..”, jawabku cepat ke si India seram. Segera aku beralih ke Melgis, “Satu aja dulu, Mel..” dengan tatapan yang kuharap menyiratkan ‘sesuatu’ pada Melgis. Melgis mengangguk. Untunglah kalau dia paham.
“Is it the first time you come here..?” tanya si India dengan datar kepada Melgis.
“Yes.., this is the first time..”, jawab Melgis mantap.
“You..?” tanya si India kepadaku dengan sedikit mengangkat dagunya, mata sedikit melebar dan alis yang juga sedikit terangkat, tapi tetap dengan nada dingin. Tatapan yang mengingatkanku pada seseorang dengan postur yang sama..
“Yap..”, jawabku ringan. Body language-nya agak meresahkan, tapi aku tepis saja.

Kamar dan tempat tidur kami di
ABC Backpackers Hostel
Setelah kami membayar deposit, akhirnya si India mengantarkan kami ke kamar yang dimaksud. Kamar itu berisi dua tempat tidur bertingkat, sehingga bisa memuat 4 orang. Kamar itu kecil sekali, memang secukup untuk memuat dua tempat tidur bertingkat itu, sedikit ruang diantara kedua tempat tidur yang berseberangan itu, sedikit ruang di pojokan, tempat sebuah kulkas dan sebuah koper besar telah bertengger disitu. Tempat tidur bertingkat yang kami tempati masih kosong. Tapi tempat tidur bertingkat satunya lagi sepertinya sudah diisi. Hanya saja aku heran, tempat tidur yang bagian bawah ditutupi oleh beberapa selimut yang sepertinya memang sengaja disusun begitu untuk menutupi tempat tidur itu. Di ujung tempat tidur, di tempat sepatu, berjejer beberapa pasang sepatu hak tinggi berbagai warna. Jelas sekali tempat tidur itu diisi seseorang, tapi kenapa si India tidak bilang apa-apa pada kami, tidak mengatakan bahwa kamar itu sudah terisi. Tidak masalah memang, karena memang begitu kondisinya di sebuah hostel, kita akan bercampur dengan tamu lain. Tapi setidaknya kalau dia memberi tahu, kami bisa lebih siap.
“Kakak takut ketinggian nggak..?” tanya Melgis padaku.
“Ngapa? Imel takut? Kk aja yg diatas kalo gitu..”, jawabku langsung paham maksud pertanyaannya. Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan tempat tidur bertingkat kok..

Maka jadilah aku tidur di tempat tidur bagian atas. Karena kami belum makan malam, maka setelah selesai membereskan seluruh barang-barang kami untuk diletakkan di tempatnya, kami pun pergi ke luar dari hostel untuk mencari restoran halal. Beruntung, kami memang sangat tidak sulit menemukannya karena ini memang daerah yang banyak muslimnya, maka restoran halal pun berjejer di sepenjang jalan di seberang masjid tempat kami sholat magrib tadi.

Al-Tasneem Halal Restaurant
Akhirnya kami makan malam di salah satu restoran yang bernama “Al-Tasneem”. Model masakan di situ adalah ala restoran India muslim, dan memang salah satu juru masaknya adalah lelaki dengan paras India. Selesai makan, kami duduk sebentar sambil mengobrol, barulah kembali ke hostel.
Sesampai di hostel, ternyata dugaan kami benar, kami tidak sendiri (berdua lebih tepatnya), karena memang ada seorang penghuni kamar di tempat tidur bertingkat di sebelah kami yang tempat tidurnya diselubungi selimut. Saat kami masuk, tempat tidur itu masih tertutup selimut, tapi terdengar suaranya sedang berbicara di telepon. Dia berbicara dengan Bahasa Inggris, tapi dengan dialek setengah Arab setengah India menurutku. Kami belum bisa melihat wajah dan bentuknya, karena dia masih ‘bersembunyi’ di balik tirai.

Aku langsung naik ke tempat tidur bagian atas. Aku masih mendengar dia berbicara di telepon dan kali ini dia memakai speaker sehingga suara orang yang sedang berbicara dengannya di telepon bisa kami dengar. Ternyata lawan bicaranya adalah seorang pria. Karena Bahasa yang digunakannya campur-campur (terkadang terdengar seperti Arab), maka ada bagian yang tidak aku mengerti. Namun pada satu bagian pembicaraannya, aku mendengar dia berkata pada pria itu, “I’m not expecting anybody in my room tonight..!”

WHAAAAATTTT…??? Jadi dia tidak suka ada orang lain yang ikut menghuni kamar itu bersamanya. Hatiku mulai panas.. Ya kalau hanya ingin sendiri kenapa dia tidak menyewa kamar hotel saja..?! Jelas-jelas ini hostel, wajar dong kalau isinya lebih dari satu orang.. Semprull!! Aku mengutuk-ngutuk dalam hati.

Karena dia tidak lagi menggunakan speaker, aku tidak lagi bisa mendengar apa tanggapan dari lelaki di seberang telepon tentang kehadiran kami di kamar ini. Pembicaraan mereka berlanjut ke hal-hal lain yang kadang tidak aku perhatikan karena dalam hati aku sudah bertekad dengan bukat untuk segera angkat kaki keesokan hari dari hostel ini. Sungguh hatiku tidak bisa terima dengan ucapannya. Aku tidak enak jika nanti atau besok aku malah lepas kendali dan bertengkar dengannya. Ini negeri orang soalnya. Maka sambil berbaring di tempat tidur, aku mencari-cari referensi di internet tentang hostel lain di sekitar tempat kami saat ini.

Tak lama dia selesai teleponan. Karena Imel (panggilan Melgis) yang di bawah, maka dia duluan menegur Imel. Tampaknya dia sudah keluar dari ‘gua’nya. Dia bertanya-tanya pada Imel tentang kami, dari mana dan lain-lain. Lalu dia bertanya,
“Is it your sister?”, mungkin dia menunjuk aku.
“Yes…”
“I think your sister is sleeping..”, katanya lagi.
Hah..?? Apa urusannya aku tidur atau tidak..?! Memang posisiku menelungkup dan tampak seperti tidur.

Lalu dia entah berbicara apa lagi ngalor-ngidul dengan Imel. Berhubung lampu di ruangan itu hanya lampu baca yang ada di setiap sisi tempat tidur, maka cahaya di dalam kamar itu tidak terlalu terang. Karenanya aku mencoba mengintip sedikit ke bawah, ingin melihat seperti apa tampang perempuan yang dari suara dan cara berbicaranya aku bisa menyimpulkan dia orang yang sangat cerewet dan arogan. Dan ternyata ‘penampakan’ yang kulihat sungguh membuatku terbelalak. Dia seorang wanita bertampang India, keling, namun dengan dandanan yang “na’uzubillah”.. Dia memakain terusan tanpa lengan dengan belahan dada SANGAT RENDAH! Maka dengan loyalnya ‘penampakan’ di dadanya mencuat. Langsung terbersit di kepalaku tentang pekerjaannya. Apalagi dengan pakaian dan sepatu-sepatu berhak tinggi berwarna-warni yang tadi kulihat. Rasa-rasanya, jelaskah bahwa dia seorang..., ahh…entahlah..

Aku memutuskan untuk tidur, dan saat aku terbangun, wanita itu sudah tidak ada lagi tapi Imel belum tidur. “Mana dia tadi, Mel?” tanyaku pada Imel.
“Katanya dia pergi kerja, Kak,” jawab Imel.
Haahhh…?? Aku lihat jam, dan tampaknya saat itu pukul satu dini hari. Jam segini baru pergi kerja..? Dugaanku semakin menguat. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa pada Imel, dan sebaliknya melanjutkan tidurku, namun hatiku sudah begitu bulat untuk pindah hostel besoknya.


**Bersambung ke “Day 2”

Tidak ada komentar: