Sesungguhnya
tidak pernah terlintas di benakku akan mengadakan perjalanan liburan ke
Singapura tanpa keluarga. Semua ini berawal dari keinginan untuk refreshing
bersama dengan beberapa teman kuliahku, setelah selama 3 semester dicecar
dengan materi perkuliahan S2 yang memusingkan kepala, menyesakkan dada, dan
membengkakkan mata (karena sering kurang tidur). Maka aku, Melgis, Elfi, dan
Ike, merancang acara jalan-jalan itu dengan detail, mulai dari jenis
transportasi yang akan digunakan, rute keberangkatan, penginapan, estimasi
biaya, dan sebagainya.
Hampir sebulan setelah pemmbicaraan itu, barulah aku mengkonfirmasi ulang kepada teman-teman tentang jadi atau tidaknya rencana kepergian itu. Semua itu tertunda karena kami fokus untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan kantor terlebih dahulu. Tapi sayang, Elfi dan Ike pada akhirnya tidak bisa ikut bergabung karena mereka bekerja sebagai pengajar di sekolah, sementara saat ini adalah musim ulangan dan ujian yang tidak memungkinkan mereka untuk meminta izin dari kepala sekolah masing-masing. Maka dengan penuh tekad bulat dan sedikit “nekad” (karena tidak satupun dari kami – aku dan Melgis – yang mengenal Singapura, aku dulu pernah dengan keluarga saat berusia DUA TAHUN..).
Setelah mencoba mencari tiket pesawat Pekanbaru-Batam (PP) di internet dan tidak menemukan harga yang pas, aku bertanya kepada seorang teman, Eva. Beruntung, ternyata dia punya saudara, Afgan, yang bekerja di sebuah biro perjalanan di Batam, sehingga akhirnya aku memesan tiket pesawat Pekanbaru-Batam kepada saudaranya itu. Dan kami beruntung mendapat tiket promo seharga Rp. 730.000 PP. Rencananya dari Batam menuju Singapura, kami akan naik speedboat. Tiket speedboat bisa kami beli sesampainya di Batam saja.
Untuk mengetahui seluk-beluk perjalanan di Singapura nantinya, aku telah browsing di internet untuk mencari referensi yang kemudian aku buat seperti buku. Selain itu, aku juga banyak bertanya kepada Afgan tentang apa saja yang perlu kami persiapkan dan kira-kira apa saja yang diperlukan nantinya. Tidak puas hanya dari satu sumber, aku bertanya kepada seorang teman yang juga dosen di salah satu Fakultas di UIN Suska Riau, yang kebetulan juga seorang backpacker. Dari Jully, namanya, aku juga mendapat lebih banyak informasi tentang “tata cara” bepergian ala backpacker. Berapa duit yang harus dipersiapkan, dimana harus menginap, dimana bisa makan (yang halal tentunya), dan sebagainya. Dan berkat dukungannya juga, meski aku sempat agak khawatir dengan tidak berpengalamannya kami berdua untuk masalah jalan-jalan, aku menjadi lebih berani dan percaya diri untuk pergi meski kami sama-sama masih “nol”. Yang jelas modal utama kami hanyalah penguasaan Bahasa Inggris yang tentunya sangat diperlukan untuk berkomunikasi di sana nantinya.
Akhirnya tibalah hari keberangkatan. Kamis, 20 Maret 2014, aku dan Melgis terbang dengan pesawat Lion Air menuju Batam. Diatas pesawat, kami bahkan belum tahu akan menginap dimana. Kami pun menghabiskan perjalanan dengan membaca referensi yang sudah aku siapkan dan mencari tahu dimana daerah yang kira-kira aman, nyaman, dan “ramah kantong” bagi kami untuk menginap. Semula aku berencana untuk menginap di daerah Geylang. Tapi dari Afgan dan seorang kakak laki-lakiku, aku mendengar bahwa daerah itu kurang “aman”, cenderung lebih terkenal sebagai “daerah malam”. Setelah membaca kembali referensi, mendadak hatiku langsung yakin untuk menginap di daerah Kampung Bugis. Daerah itu juga dekat dengan Kampung Arab (Arab Street), dan ada sebuah masjid besar dan bersejarah di sana. Lingkungannya juga lebih Islami daripada daerah lain, dan lebih mudah mencari tempat makan halal tentunya. Maka akhirnya kami sepakat untuk menginap di daerah Kampung Bugis.
Aku & Imel dalam kapal |
Aku dalam kapal |
Laut yang kami lewati |
Kami sampai di Harbour Front, Singapura sekitar jam 3. Dari pelabuhan, kami memberanikan diri menggunakan transportasi MRT (Mass Rapid Transportation), yaitu moda transportasi kereta cepat bawah tanah. Semula kami masih keliling-keliling terminal untuk mencari tahu bagaimana caranya bisa menggunakan kendaraan ini. Akhirnya kami menuju tiket dan membeli kartu Ez-Link, kartu tiket MRT yang bisa digunakan kapan saja dan kemana saja dengan syarat masih ada isi depositnya. Maka akhirnya kami naik MRT dengan kartu ini, bergabung dengan para penumpang lain yang tentu saja mayoritas warga Singapura sendiri. Karena saat itu jam sudah menunjukkan sekitar jam 4 sore, maka MRT sedang ramai-ramainya karena jam pulang kerja. Tapi meskipun ramai, tidak ada istilah berdesak-desakan dan dorong-dorongan sesama penumpang, karena semua naik dan turun dengan tertib dan teratur meski dengan langkah-langkah cepat.
Di Harbour Front, Singapore |
Di MRT (Mass Rapid Transportation) |
Masjid Sultan, Kampung Bugis, Singapura |
Karena hari juga sudah hampir magrib, aku dan Melgis memutuskan untuk tetap saja di masjid hingga tiba waktu magrib, untuk kemudian mencari penginapan setelah selesai sholat magrib. Ternyata waktu sholat masuk lebih lambat kurang lebih 45 menit dari daerah Pekanbaru, Riau, Indonesia. Waktu magrib disini masuk sekitar jam 19.15 waktu setempat. Setelah sholat magrib berjamaah, aku langsung melanjutkan dengan sholat jamak Isya, agar setiba di penginapan nanti sudah tenang, sehingga bisa langsung istirahat.
Shophouse The Social Hostel |
ABC Backpackers Hostels |
Setelah cukup lama menunggu (sejujurnya aku sudah mulai hampir kehilangan kesabaran dan nyaris mengajak Melgis untuk keluar dan mencari tempat lain), akhirnya sang resepsionis datang. Dia seorang keturunan India, tinggi, besar, hitam, dan seram, dan tidak ramah. Kami menanyakan female dorm, untungnya masih ada.
“How many nights
will you stay?” dia bertanya dengan nada dingin dan tatapan tajam.
“Three
nights..?” Melgis menjawab sambil bertanya ke arahku.
“No..no..no..,
just one night..”, jawabku cepat ke si India seram. Segera aku beralih ke
Melgis, “Satu aja dulu, Mel..” dengan tatapan yang kuharap menyiratkan
‘sesuatu’ pada Melgis. Melgis mengangguk. Untunglah kalau dia paham.
“Is it the first
time you come here..?” tanya si India dengan datar kepada Melgis.
“Yes.., this is
the first time..”, jawab Melgis mantap.
“You..?” tanya
si India kepadaku dengan sedikit mengangkat dagunya, mata sedikit melebar dan
alis yang juga sedikit terangkat, tapi tetap dengan nada dingin. Tatapan yang
mengingatkanku pada seseorang dengan postur yang sama..
“Yap..”, jawabku
ringan. Body language-nya agak meresahkan, tapi aku tepis saja.
Kamar dan tempat tidur kami di ABC Backpackers Hostel |
“Kakak takut
ketinggian nggak..?” tanya Melgis padaku.
“Ngapa? Imel
takut? Kk aja yg diatas kalo gitu..”, jawabku langsung paham maksud
pertanyaannya. Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan tempat tidur bertingkat
kok..
Maka jadilah aku tidur di tempat tidur bagian atas. Karena kami belum makan malam, maka setelah selesai membereskan seluruh barang-barang kami untuk diletakkan di tempatnya, kami pun pergi ke luar dari hostel untuk mencari restoran halal. Beruntung, kami memang sangat tidak sulit menemukannya karena ini memang daerah yang banyak muslimnya, maka restoran halal pun berjejer di sepenjang jalan di seberang masjid tempat kami sholat magrib tadi.
Al-Tasneem Halal Restaurant |
Sesampai di
hostel, ternyata dugaan kami benar, kami tidak sendiri (berdua lebih tepatnya),
karena memang ada seorang penghuni kamar di tempat tidur bertingkat di sebelah
kami yang tempat tidurnya diselubungi selimut. Saat kami masuk, tempat tidur
itu masih tertutup selimut, tapi terdengar suaranya sedang berbicara di
telepon. Dia berbicara dengan Bahasa Inggris, tapi dengan dialek setengah Arab
setengah India menurutku. Kami belum bisa melihat wajah dan bentuknya, karena
dia masih ‘bersembunyi’ di balik tirai.
Aku langsung naik ke tempat tidur bagian atas. Aku masih mendengar dia berbicara di telepon dan kali ini dia memakai speaker sehingga suara orang yang sedang berbicara dengannya di telepon bisa kami dengar. Ternyata lawan bicaranya adalah seorang pria. Karena Bahasa yang digunakannya campur-campur (terkadang terdengar seperti Arab), maka ada bagian yang tidak aku mengerti. Namun pada satu bagian pembicaraannya, aku mendengar dia berkata pada pria itu, “I’m not expecting anybody in my room tonight..!”
WHAAAAATTTT…??? Jadi dia tidak suka ada orang lain yang ikut menghuni kamar itu bersamanya. Hatiku mulai panas.. Ya kalau hanya ingin sendiri kenapa dia tidak menyewa kamar hotel saja..?! Jelas-jelas ini hostel, wajar dong kalau isinya lebih dari satu orang.. Semprull!! Aku mengutuk-ngutuk dalam hati.
Karena dia tidak lagi menggunakan speaker, aku tidak lagi bisa mendengar apa tanggapan dari lelaki di seberang telepon tentang kehadiran kami di kamar ini. Pembicaraan mereka berlanjut ke hal-hal lain yang kadang tidak aku perhatikan karena dalam hati aku sudah bertekad dengan bukat untuk segera angkat kaki keesokan hari dari hostel ini. Sungguh hatiku tidak bisa terima dengan ucapannya. Aku tidak enak jika nanti atau besok aku malah lepas kendali dan bertengkar dengannya. Ini negeri orang soalnya. Maka sambil berbaring di tempat tidur, aku mencari-cari referensi di internet tentang hostel lain di sekitar tempat kami saat ini.
Tak lama dia selesai teleponan. Karena Imel (panggilan Melgis) yang di bawah, maka dia duluan menegur Imel. Tampaknya dia sudah keluar dari ‘gua’nya. Dia bertanya-tanya pada Imel tentang kami, dari mana dan lain-lain. Lalu dia bertanya,
“Is it your sister?”, mungkin dia
menunjuk aku.
“Yes…”
“I think your sister is sleeping..”,
katanya lagi.
Hah..?? Apa urusannya aku tidur atau
tidak..?! Memang posisiku menelungkup dan tampak seperti tidur.
Lalu dia entah berbicara apa lagi ngalor-ngidul dengan Imel. Berhubung lampu di ruangan itu hanya lampu baca yang ada di setiap sisi tempat tidur, maka cahaya di dalam kamar itu tidak terlalu terang. Karenanya aku mencoba mengintip sedikit ke bawah, ingin melihat seperti apa tampang perempuan yang dari suara dan cara berbicaranya aku bisa menyimpulkan dia orang yang sangat cerewet dan arogan. Dan ternyata ‘penampakan’ yang kulihat sungguh membuatku terbelalak. Dia seorang wanita bertampang India, keling, namun dengan dandanan yang “na’uzubillah”.. Dia memakain terusan tanpa lengan dengan belahan dada SANGAT RENDAH! Maka dengan loyalnya ‘penampakan’ di dadanya mencuat. Langsung terbersit di kepalaku tentang pekerjaannya. Apalagi dengan pakaian dan sepatu-sepatu berhak tinggi berwarna-warni yang tadi kulihat. Rasa-rasanya, jelaskah bahwa dia seorang..., ahh…entahlah..
Aku memutuskan untuk tidur, dan saat aku terbangun, wanita itu sudah tidak ada lagi tapi Imel belum tidur. “Mana dia tadi, Mel?” tanyaku pada Imel.
“Katanya dia pergi kerja, Kak,”
jawab Imel.
Haahhh…?? Aku lihat jam, dan
tampaknya saat itu pukul satu dini hari. Jam segini baru pergi kerja..?
Dugaanku semakin menguat. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa pada Imel, dan
sebaliknya melanjutkan tidurku, namun hatiku sudah begitu bulat untuk pindah
hostel besoknya.
**Bersambung ke “Day 2”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar