Rabu, 26 Maret 2014

A “Nekad” Travel To Singapore (Day 2)

Aku terbangun sedikit terperanjat. Aku mendengar suara “dahsyat” yang sangat mengganggu telingaku dan tidurku. Suara dengkuran yang lebih mirip dengkuran sapi. Aku mendengar dengan seksama, mencoba mencari tahu asal suara itu. Sepertinya dari bawah, tapi kok rasanya tidak mungkin Imel mendengkur sedahsyat itu. Sejenak suara itu hilang, tapi saat aku sudah mulai hampir tertidur lagi, suara itu terdengar lagi. Ingin rasanya aku turun ke bawah untuk mengetahui dengan pasti asal suara itu, tapi mataku begitu berat untuk dibawa kompromi. Akhirnya aku menutup telingaku dengan bantal dan menekannya kuat-kuat agar suara berisik itu tidak mengganggu tidurku. Aku masih berniat melanjutkan tidur karena hari masih menunjukkan pukul 4 kurang.
Aku terbangun lagi karena getar alarm di ponselku. Jam menunjukkan pukul 4.30 waktu setempat. Sengaja aku mengaturnya sesuai dengan masuknya waktu subuh di sana. Padahal rasanya mata ini masih mengantuk karena tidur yang terganggu beberapa jam sebelumnya. Namun karena harus sholat, segera aku bangunkan Imel. Kami langsung menyiapkan pakaian untuk mandi, langsung mandi sesubuh itu karena takut tidak kebagian kamar mandi mengingat ramainya penghuni hostel yang sama seperti kita menghuni kos-kosan. Siapa cepat dia dapat, yang tidak dapat tidak boleh ‘ngumpat’..
Setelah mandi seadanya dengan kamar mandi seadanya (hanya ada shower, tanpa bathtub dan kloset), aku kembali ke kamar, hamper bersamaan dengan Imel, lalu kami sholat subuh di kamar. Sebelumnya kami sudah diberitahu oleh Si ‘Seksi’ Cerewet tentang arah kiblat. Untung saja dia tahu dan mau memberi tahu. Selesai sholat, aku berbincang-bincang dengan Imel, karena kalau mau langsung mencari sarapan di luar tentu tidak bisa mengingat hari masih subuh, belum ada restoran yang buka. Aku bilang ke Imel, aku sudah dapat hostel terdekat yang bisa kami lacak apakah masih ada kamar kosong atau tidak. Karena aku katakana pada Imel, aku memang sangat tidak nyaman di sini, sejak awal kedatangan, ditambah dengan rekan sekamar yang tidak kooperatif.
Sedang asyik-asyik ngobrol dengan Imel (padahal setengah berbisik), tiba-tiba menyembul kepala dari balik ‘tirai’ yang menutupi tempat tidur Si Cerewet. Ternyata dia sudah pulang entah jam berapa. Dia berkata dengan ketusnya, “Can’t you keep silent and stop talking..?! I want to sleep..!” Lalu dia menutup kembali tirainya. Aku dan Imel terperangah. Imel masih sempat menjawab, “I’m sorry, Sis..” lalu menunduk. Aku tahu dia ketakutan. Aku memandangnya tanpa bersuara, lalu segera naik ke tempat tidurku. Hal pertama yang aku lakukan adalah menenangkan diri karena sebenarnya darahku sudah mencapai ubun-ubun. Aku ingin balas ‘menyemburnya’ tapi masih berpikir realistis untuk tidak mencari masalah di negeri orang.
Aku berbaring di atas sambil telungkup dan browsing di internet untuk menghilangkan kemarahan. Sejak sampai di sini, aku memanfaatkan wifi yang ada di hampir semua tempat terutama di fasilitas umum seperti ini, untuk bisa meng-update status, baik itu BBM maupun Facebook. Aku juga menggunakannya untuk berkomunikasi dengan keluargaku di rumah melalui BBM, karena menggunakan SMS atau telepon tentunya sangat mahal dan kena roaming.
Sekitar jam 7-an, aku dan Imel memutuskan untuk keluar dari kamar. Entah restoran sudah buka atau belum, yang penting kami keluar dulu supaya bisa berbincang-bincang, berhubung kamar ini “zona terlarang” untuk berbicara. Di luar, langsung aku muncratkan kekesalanku atas Si Cerewet itu pada Imel.
“Pokoknya kita memang harus pindah hostel, Mel.. Ndak ada cerita.., kakak sama sekali nggak nyaman lagi di situ. Daripada tertinju pula lama-lama perempuan tu..!” ujarku berapi-api.
“Astaghfirullahal’azhiim…, sabar kaak.. Iya nanti kita pindah, Imel juga pengen pindah kok..”
“Iya, sekalian aja kita cari sekarang, kakak dah dapat lokasinya. Kita tanya ada kamar apa nggak, kalau ada kita langsung pindah sesudah sarapan,” sambungku makin semangat.
“Oke kak..,” balas Imel.
Berbekal petunjuk dari Google Maps, ditambah peta Singapura yang kami dapat di Front Office ABC Backpackers Hostel kemarin, kami mencari hostel lain yang bernama “Feel At Home”. Letaknya di Jalan Pinang, menurut peta sekitar tiga blok dari ABC Backpackers Hostel. Karena memang tidak jauh, kami bisa menemukannya dengan cukup mudah. Ternyata hostel ini malah lebih dekat dengan Masjid Sultan, hanya tinggal menyeberang, dan berada di jalan yang di simpangnya terletak restoran “Al-Tasneem” tempat kami makan tadi malam.

Kami masuk ke bagian front office-nya yang dijaga oleh seorang wanita 40-an berparas India. Imel yang bertanya tentang kamar. Hanya ada sebuah kamar “mixed room” yang tersisa, “female room”-nya sudah penuh. Selain itu, kamar itu baru bisa diisi jam 2 siang nanti karena baru akan kosong jam segitu. Berhubung aku benar-benar sangat niat untuk pindah, ditambah kesan yang terasa dari hostel ini juga baik, maka kami pun langsung memesan kamar “mixed room” itu. Lagipula kamar itu sisanya hanya diisi oleh 2 orang dari 8 tempat tidur yang ada, dan mereka kebetulan wanita keduanya. Kami katakan pada petugas front office itu bahwa kami akan memindahkan tas setelah sarapan. Harga tempat tidur itu, 23 dolar Singapura per malam. Kami langsung memesan untuk 2 malam.
Selesai urusan pindah hostel, kami pun pergi sarapan. Aku memesan “Beef Murtabak” atau martabak isi daging sapi. Aku menyangka ukurannya kurang lebih sama saja dengan martabak mesir di Indonesia, ternyata jumbo..! Tapi meskipun begitu, entah kenapa aku sanggup menghabiskannya, hanya tersisa sedikit sekali. Untuk minuman di pagi hari, aku memesan segelas kopi panas, ditemani segelas air putih hangat. Nikmat sekali sarapan pagi pertama di Singapura.
Selesai sarapan, kami kembali ke ABC Backpackers Hostel dan langsung check out. Si “Sapi” masih ngorok.. Petugas front office kali ini seorang perempuan muda beretnis Tionghoa. Cukup ramah, dan dia berharap kami kembali lagi suatu saat nanti. No way..! batinku. Kami langsung menuju Feel At Home Hostel dan menitipkan tas sementara kami pergi jalan-jalan dulu pagi ini dan nanti sepulangnya baru masuk kamar.
Kami langsung menuju stasiun MRT (Mass Rapid Transportation) dan mencari stasiun terdekat dari Merlion Park, karena tujuan pertama kami memang berfoto di patung Merlion sebagai “bukti sah” telah ke Singapura. Stasiun MRT yang paling dekat dari Feel At Home Hostel adalah stasiun Bugis. Dari situ kami menaiki rute menuju stasiun Green Line, lanjut ke stasiun Marina Bay dan turun di stasiun Raffles Place. Sesampai di stasiun Raffles Place, kami keluar stasiun melalui Exit B dan tiba di kompleks perkantoran Chevron House.



Kami tiba di Chevron House pas tengah hari, saat semua karyawan perkantoran sedang istirahat makan siang. Hari itu hari Jum’at, dan tentu saja tidak ada aktivitas pergi Jum’atan ke masjid. Meskipun hari sudah siang, tapi kami memang belum terlalu lapar. Mungkin karena porsi sarapan kami tadi begitu jumbo. Karenanya kami hanya mengganjal perut dengan mencari makanan yang tidak terlalu berat. Karena kami sedang berada di kawasan non muslim, agak waswas mencari makanan. Karenanya kami mencari makanan yang “netral” saja. Akhirnya kami membeli sejenis kue bolu mangkuk yang ukurannya lebih besar daripada yang biasa ada di Indonesia. Sebagai minuman, aku membeli kopi susu, sedangkan Melgis membeli teh susu. Kami mencari tempat di taman perkantoran, di sebuah ayunan duduk. Sambil makan dan bercerita, kami memperhatikan karyawan yang lalu lalang. Beberapa orang juga tampak makan sambil duduk-duduk di meja dan bangku kayu yang ada.
Selesai makan dan istirahat, kami melanjutkan perjalanan menyeberangi jembatan penyeberangan menuju Singapore River. Jembatan penyeberangan itu menghubungkan kompleks perkantoran Chevron House dengan kompleks Hotel Fullerton. Jembatan penyeberangan itu bukan seperti jembatan penyeberangan biasa. Bentuknya lorong tertutup yang di dalamnya juga terdapat pertokoan dan kafe. Jadi sambil menyeberang kita bisa berbelanja, atau nongkrong di kafe. Tapi aku dan Melgis tidak mampir, karena harga-harga di toko dan kafe itu bukan ukuran kantong kami. Selain itu, kami juga ingin langsung sampai di seberang, menuju Merlion Park. Sesampai di seberang, kami beristirahat sejenak sambil berfoto di depan Fullerton Bay Hotel.

Dari kejauhan kami, sudah bisa melihat patung Merlion, tapi masih ragu jalan mana yang akan kami tempuh untuk menuju ke sana. Akhirnya kami berjalan ke arah selatan, tapi ternyata kami salah jalan karena penampakan Patung Merlion semakin jauh dari pandangan kami. Di papan petunjuk arah, kami malah membaca tulisan Marina Boulevard, arah yang sepertinya malah menuju Marina Bay Sands. Tentu saja kami tidak akan ke sana, karena sekali lagi biayanya tidak sesuai dengan isi kantong kami. Karena ternyata salah arah, kami istirahat saja sambil duduk-duduk di bangku-bangku yang tersedia di sepanjang Marina Boulevard. Setelah terkumpul sedikit tenaga lagi, kami berputar arah ke utara, kembali ke arah Fullerton Bay Hotel. Ternyata Merlion Park berada di utara hotel itu, karenanya kami menyusuri trotoar di sisi sungai itu, melewati kompleks gedung One Fullerton hingga mencapai Merlion Park. Jarak yang cukup lumayan jika ditempuh dengan berjalan kaki. Namun kami tidak merasa lelah karena antusiasme yang memenuhi hati kami.
Sebelum mencapai Patung Merlion, kami berfoto dengan latar Marina Bay Sands. Meski tak sanggup ke sana, setidaknya berfoto dengan latar hotel super mahal itu. Kami melanjutkan perjalanan menyusuri sisi sungai. Akhirnya tibalah kami di Patung Merlion. Cukup ramai juga, padahal bukan masa liburan, tapi tetap ramai juga. Tapi untungnya tetap bisa berfoto di sisi patung meskipun sedang tidak mengeluarkan air dari muncungnya.


 Selesai foto di patung besar, kami foto di patung kecil. Karena kami berdua hanya bisa bergantian foto sendiri-sendiri. Tapi kemudian ada seorang pemuda Cina yang minta tolong difotokan oleh Melgis. Kesempatan ini tidak kami sia-siakan untuk balas minta tolong difotokan berdua oleh si cowok Cina, jadi kami punya foto bareng. Selesai puas fotoan, kami menyusuri kembali sisi sungai menuju arah kompleks perkantoran Chevron House kembali. Kami langsung kembali ke daerah hostel tempat kami bermalam, daerah Kampung Bugis. kami langsung menuju Masjid Sultan untuk menjamak sholat Zuhur dan Ashar. Setelah itu, kami menghabiskan sisa sore dengan berjalan-jalan di sekitaran Masjid Sultan saja, hingga masuknya waktu Magrib. Begitu azan Magrib berkumandang, kami langsung ikut sholat Magrib berjamaah, sekaligus menjamak sholat Isya, agar nanti ketika pulang ke hostel tinggal tidur saja.


Setelah menjamak sholat Isya, kami pergi ke restoran tempat kami sarapan tadi pagi, restoran halal “Al-Tasneem”. Kali ini aku memesan nasi buryani yang terkenal dari India itu, segelas air putih hangat, dan segelas kopi panas. Selesai makan, kami keliling-keliling di sekitaran blok. Puas keliling, kami kembali ke kamar untuk mandi dan istirahat. (Bersambung ke “Day 3”)


Makan malam di Restoran Al-Tasneem
Nasi Buryani, menu makan malamku



Tidak ada komentar: