Aku terbangun sedikit terperanjat. Aku
mendengar suara “dahsyat” yang sangat mengganggu telingaku dan tidurku. Suara
dengkuran yang lebih mirip dengkuran sapi. Aku mendengar dengan seksama,
mencoba mencari tahu asal suara itu. Sepertinya dari bawah, tapi kok rasanya
tidak mungkin Imel mendengkur sedahsyat itu. Sejenak suara itu hilang, tapi
saat aku sudah mulai hampir tertidur lagi, suara itu terdengar lagi. Ingin
rasanya aku turun ke bawah untuk mengetahui dengan pasti asal suara itu, tapi
mataku begitu berat untuk dibawa kompromi. Akhirnya aku menutup telingaku
dengan bantal dan menekannya kuat-kuat agar suara berisik itu tidak mengganggu
tidurku. Aku masih berniat melanjutkan tidur karena hari masih menunjukkan
pukul 4 kurang.
Aku terbangun lagi karena getar alarm di
ponselku. Jam menunjukkan pukul 4.30 waktu setempat. Sengaja aku mengaturnya
sesuai dengan masuknya waktu subuh di sana. Padahal rasanya mata ini masih
mengantuk karena tidur yang terganggu beberapa jam sebelumnya. Namun karena
harus sholat, segera aku bangunkan Imel. Kami langsung menyiapkan pakaian untuk
mandi, langsung mandi sesubuh itu karena takut tidak kebagian kamar mandi
mengingat ramainya penghuni hostel yang sama seperti kita menghuni kos-kosan.
Siapa cepat dia dapat, yang tidak dapat tidak boleh ‘ngumpat’..
Setelah mandi seadanya dengan kamar mandi
seadanya (hanya ada shower, tanpa bathtub dan kloset), aku kembali ke kamar,
hamper bersamaan dengan Imel, lalu kami sholat subuh di kamar. Sebelumnya kami
sudah diberitahu oleh Si ‘Seksi’ Cerewet tentang arah kiblat. Untung saja dia
tahu dan mau memberi tahu. Selesai sholat, aku berbincang-bincang dengan Imel,
karena kalau mau langsung mencari sarapan di luar tentu tidak bisa mengingat
hari masih subuh, belum ada restoran yang buka. Aku bilang ke Imel, aku sudah
dapat hostel terdekat yang bisa kami lacak apakah masih ada kamar kosong atau
tidak. Karena aku katakana pada Imel, aku memang sangat tidak nyaman di sini,
sejak awal kedatangan, ditambah dengan rekan sekamar yang tidak kooperatif.
Sedang asyik-asyik ngobrol dengan Imel (padahal
setengah berbisik), tiba-tiba menyembul kepala dari balik ‘tirai’ yang menutupi
tempat tidur Si Cerewet. Ternyata dia sudah pulang entah jam berapa. Dia
berkata dengan ketusnya, “Can’t you keep silent and stop talking..?! I want to
sleep..!” Lalu dia menutup kembali tirainya. Aku dan Imel terperangah. Imel
masih sempat menjawab, “I’m sorry, Sis..” lalu menunduk. Aku tahu dia
ketakutan. Aku memandangnya tanpa bersuara, lalu segera naik ke tempat tidurku.
Hal pertama yang aku lakukan adalah menenangkan diri karena sebenarnya darahku
sudah mencapai ubun-ubun. Aku ingin balas ‘menyemburnya’ tapi masih berpikir
realistis untuk tidak mencari masalah di negeri orang.
Aku berbaring di atas sambil telungkup dan browsing di internet untuk menghilangkan
kemarahan. Sejak sampai di sini, aku memanfaatkan wifi yang ada di hampir semua
tempat terutama di fasilitas umum seperti ini, untuk bisa meng-update status, baik itu BBM maupun
Facebook. Aku juga menggunakannya untuk berkomunikasi dengan keluargaku di
rumah melalui BBM, karena menggunakan SMS atau telepon tentunya sangat mahal
dan kena roaming.
Sekitar jam 7-an, aku dan Imel memutuskan untuk
keluar dari kamar. Entah restoran sudah buka atau belum, yang penting kami
keluar dulu supaya bisa berbincang-bincang, berhubung kamar ini “zona
terlarang” untuk berbicara. Di luar, langsung aku muncratkan kekesalanku atas
Si Cerewet itu pada Imel.
“Pokoknya kita memang harus pindah hostel,
Mel.. Ndak ada cerita.., kakak sama sekali nggak nyaman lagi di situ. Daripada
tertinju pula lama-lama perempuan tu..!” ujarku berapi-api.
“Astaghfirullahal’azhiim…, sabar kaak.. Iya
nanti kita pindah, Imel juga pengen pindah kok..”
“Iya, sekalian aja kita cari sekarang, kakak
dah dapat lokasinya. Kita tanya ada kamar apa nggak, kalau ada kita langsung
pindah sesudah sarapan,” sambungku makin semangat.
“Oke kak..,” balas Imel.
Berbekal petunjuk dari Google Maps, ditambah
peta Singapura yang kami dapat di Front
Office ABC Backpackers Hostel kemarin, kami mencari hostel lain yang
bernama “Feel At Home”. Letaknya di
Jalan Pinang, menurut peta sekitar tiga blok dari ABC Backpackers Hostel. Karena memang tidak jauh, kami bisa
menemukannya dengan cukup mudah. Ternyata hostel ini malah lebih dekat dengan
Masjid Sultan, hanya tinggal menyeberang, dan berada di jalan yang di
simpangnya terletak restoran “Al-Tasneem”
tempat kami makan tadi malam.
Kami masuk ke bagian front office-nya yang dijaga oleh seorang wanita 40-an berparas
India. Imel yang bertanya tentang kamar. Hanya ada sebuah kamar “mixed room” yang tersisa, “female room”-nya sudah penuh. Selain
itu, kamar itu baru bisa diisi jam 2 siang nanti karena baru akan kosong jam
segitu. Berhubung aku benar-benar sangat niat untuk pindah, ditambah kesan yang
terasa dari hostel ini juga baik, maka kami pun langsung memesan kamar “mixed room” itu. Lagipula kamar itu
sisanya hanya diisi oleh 2 orang dari 8 tempat tidur yang ada, dan mereka
kebetulan wanita keduanya. Kami katakan pada petugas front office itu bahwa kami akan memindahkan tas setelah sarapan. Harga
tempat tidur itu, 23 dolar Singapura per malam. Kami langsung memesan untuk 2
malam.
Selesai urusan pindah hostel, kami pun pergi
sarapan. Aku memesan “Beef Murtabak”
atau martabak isi daging sapi. Aku menyangka ukurannya kurang lebih sama saja
dengan martabak mesir di Indonesia, ternyata jumbo..! Tapi meskipun begitu,
entah kenapa aku sanggup menghabiskannya, hanya tersisa sedikit sekali. Untuk
minuman di pagi hari, aku memesan segelas kopi panas, ditemani segelas air
putih hangat. Nikmat sekali sarapan pagi pertama di Singapura.
Selesai sarapan, kami kembali ke ABC Backpackers Hostel dan langsung check out. Si “Sapi” masih ngorok..
Petugas front office kali ini seorang perempuan muda beretnis Tionghoa. Cukup
ramah, dan dia berharap kami kembali lagi suatu saat nanti. No way..! batinku.
Kami langsung menuju Feel At Home Hostel
dan menitipkan tas sementara kami pergi jalan-jalan dulu pagi ini dan nanti
sepulangnya baru masuk kamar.
Kami langsung menuju stasiun MRT (Mass Rapid Transportation) dan mencari stasiun terdekat dari Merlion
Park, karena tujuan pertama kami memang berfoto di patung Merlion sebagai
“bukti sah” telah ke Singapura. Stasiun MRT yang paling dekat dari Feel At Home Hostel adalah stasiun Bugis. Dari situ
kami menaiki rute menuju stasiun Green Line, lanjut ke stasiun Marina
Bay dan turun di stasiun Raffles Place. Sesampai di stasiun Raffles
Place, kami keluar stasiun melalui Exit B dan tiba di kompleks perkantoran Chevron
House.
Kami tiba di Chevron
House pas tengah hari, saat semua karyawan perkantoran sedang istirahat
makan siang. Hari itu hari Jum’at, dan tentu saja tidak ada aktivitas pergi
Jum’atan ke masjid. Meskipun hari sudah siang, tapi kami memang belum terlalu
lapar. Mungkin karena porsi sarapan kami tadi begitu jumbo. Karenanya kami
hanya mengganjal perut dengan mencari makanan yang tidak terlalu berat. Karena
kami sedang berada di kawasan non muslim, agak waswas mencari makanan.
Karenanya kami mencari makanan yang “netral” saja. Akhirnya kami membeli
sejenis kue bolu mangkuk yang ukurannya lebih besar daripada yang biasa ada di
Indonesia. Sebagai minuman, aku membeli kopi susu, sedangkan Melgis membeli teh
susu. Kami mencari tempat di taman perkantoran, di sebuah ayunan duduk. Sambil
makan dan bercerita, kami memperhatikan karyawan yang lalu lalang. Beberapa
orang juga tampak makan sambil duduk-duduk di meja dan bangku kayu yang ada.
Selesai makan dan
istirahat, kami melanjutkan perjalanan menyeberangi jembatan penyeberangan menuju
Singapore River. Jembatan penyeberangan itu menghubungkan kompleks
perkantoran Chevron House dengan kompleks Hotel Fullerton. Jembatan
penyeberangan itu bukan seperti jembatan penyeberangan biasa. Bentuknya lorong
tertutup yang di dalamnya juga terdapat pertokoan dan kafe. Jadi sambil
menyeberang kita bisa berbelanja, atau nongkrong di kafe. Tapi aku dan Melgis
tidak mampir, karena harga-harga di toko dan kafe itu bukan ukuran kantong
kami. Selain itu, kami juga ingin langsung sampai di seberang, menuju Merlion
Park. Sesampai di seberang, kami beristirahat sejenak sambil berfoto di
depan Fullerton Bay Hotel.
Dari kejauhan kami, sudah
bisa melihat patung Merlion, tapi masih ragu jalan mana yang akan kami tempuh
untuk menuju ke sana. Akhirnya kami berjalan ke arah selatan, tapi ternyata
kami salah jalan karena penampakan Patung Merlion semakin jauh dari pandangan
kami. Di papan petunjuk arah, kami malah membaca tulisan Marina Boulevard,
arah yang sepertinya malah menuju Marina Bay Sands. Tentu saja kami
tidak akan ke sana, karena sekali lagi biayanya tidak sesuai dengan isi kantong
kami. Karena ternyata salah arah, kami istirahat saja sambil duduk-duduk di
bangku-bangku yang tersedia di sepanjang Marina Boulevard. Setelah
terkumpul sedikit tenaga lagi, kami berputar arah ke utara, kembali ke arah Fullerton
Bay Hotel. Ternyata Merlion Park berada di utara hotel itu,
karenanya kami menyusuri trotoar di sisi sungai itu, melewati kompleks gedung One
Fullerton hingga mencapai Merlion Park. Jarak yang cukup lumayan
jika ditempuh dengan berjalan kaki. Namun kami tidak merasa lelah karena
antusiasme yang memenuhi hati kami.
Sebelum mencapai Patung
Merlion, kami berfoto dengan latar Marina Bay Sands. Meski tak sanggup
ke sana, setidaknya berfoto dengan latar hotel super mahal itu. Kami
melanjutkan perjalanan menyusuri sisi sungai. Akhirnya tibalah kami di Patung
Merlion. Cukup ramai juga, padahal bukan masa liburan, tapi tetap ramai juga.
Tapi untungnya tetap bisa berfoto di sisi patung meskipun sedang tidak mengeluarkan
air dari muncungnya.
Selesai foto di patung
besar, kami foto di patung kecil. Karena kami berdua hanya bisa bergantian foto
sendiri-sendiri. Tapi kemudian ada seorang pemuda Cina yang minta tolong
difotokan oleh Melgis. Kesempatan ini tidak kami sia-siakan untuk balas minta
tolong difotokan berdua oleh si cowok Cina, jadi kami punya foto bareng.
Selesai puas fotoan, kami menyusuri kembali sisi sungai menuju arah kompleks
perkantoran Chevron House kembali. Kami langsung kembali ke daerah hostel
tempat kami bermalam, daerah Kampung Bugis. kami langsung menuju Masjid Sultan
untuk menjamak sholat Zuhur dan Ashar. Setelah itu, kami menghabiskan sisa sore
dengan berjalan-jalan di sekitaran Masjid Sultan saja, hingga masuknya waktu
Magrib. Begitu azan Magrib berkumandang, kami langsung ikut sholat Magrib
berjamaah, sekaligus menjamak sholat Isya, agar nanti ketika pulang ke hostel
tinggal tidur saja.
Setelah
menjamak sholat Isya, kami pergi ke restoran tempat kami sarapan tadi pagi,
restoran halal “Al-Tasneem”. Kali ini aku memesan nasi buryani yang terkenal
dari India itu, segelas air putih hangat, dan segelas kopi panas. Selesai
makan, kami keliling-keliling di sekitaran blok. Puas keliling, kami kembali ke kamar untuk mandi dan istirahat. (Bersambung ke “Day 3”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar