Minggu, 10 Juli 2011

“Stressku Hilang Kalau Ke Mal”

Itulah kalimat yang pernah terlontar dari mulut salah satu teman dekat saya saat kami jalan-jalan ke mal setelah beberapa bulan tidak melakukan aktivitas itu karena kesibukan masing-masing. Sebenarnya saya ingin tergelak mendengarnya waktu itu, namun saya tahan untuk menjaga perasaannya, karena dia mengatakannya dengan sangat serius. Kalimat inilah yang muncul kembali dalam benak saya setelah membaca tulisan Marhalim Zaini mengenai mal (Mall; Permainan Simbol Sosial, Pembentukan Identitas Kultural, Riau Pos Edisi Ahad, 26 Juni 2011). Sedikit koreksi untuk Marhalim Zaini, sejauh pengetahuan saya, ejaan kata mall dari Bahasa Inggris itu sudah diindonesiakan menjadi “mal” (dengan hanya satu huruf l). Jadi mungkin ada baiknya jika kita menggunakan istilah Bahasa Indonesianya saja.
Dalam tulisannya, Marhalim Zaini (selanjutnya disebut MZ) memaparkan keberadaan mal yang sangat menjamur saat ini dari sudut pandang budaya, sesuai bidang pengetahuan yang sedang beliau gali. Tak dapat kita pungkiri bahwa aktivitas pergi ke mal saat ini memang sudah menjadi bagian dari gaya hidup kota metropolitan atau kota-kota yang sedang beranjak menuju kesana. Dari segi budaya, inilah mungkin yang disebutkan oleh MZ sebagai permainan simbol sosial dan pembentukan identitas kultural. Kasarnya, jangan mengaku orang jaman sekarang jika tidak pernah menginjakkan kaki di mal dan tidak pernah belanja di mal. Bahkan masyarakat dari luar kota besar pun sengaja menyempatkan diri untuk mengunjungi mal di perkotaan pada akhir pekan dengan menyewa satu atau dua bus dari daerah mereka masing-masing sekedar untuk menginjakkan kaki di mal. Ini dapat kita lihat di Pekanbaru kota tercinta kita ini.
Penyimbolan hidup konsumerisme dari kebiasaan ke mal ini tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang budaya. Kita juga dapat menyelaminya dari sisi psikologis seseorang. Makna dari bepergian ke mal bagi orang yang “senang” melakukannya dengan orang yang “sekedar” melakukannya tentu saja berbeda. Contoh kasus adalah antara saya dan teman dekat saya tadi. Bagi teman saya itu, pergi ke mal dapat menghilangkan stressnya, menurut pendapatnya. Namun bagi saya pribadi, pergi ke mal jika tidak ada tujuan justru malah akan menimbulkan stress. Ke mal bagi saya adalah “sekedar” mencari apa yang saya anggap dapat saya temukan dan beli disana. Ini tentu terkait dengan “pemaknaan” mal itu sendiri bagi masing-masing pihak. Bagi teman saya itu, merasa dirinya menjadi bagian dari modernisasi adalah sebuah kebanggaan. Maka ke mal, sebagai bagian dari modernisasi, adalah juga sebuah tempat yang layak dikunjungi dan layak untuk memberikan kepuasan batin pada dirinya. Sementara bagi saya, keramaian – apapun bentuknya, tradisional ataupun modern – sesungguhnya tidaklah menjadi pilihan.
Pemaknaan yang berlebihan terhadap mal agaknya dapat disebabkan oleh semangat pragmatisme masif yang telah menjadi modal sentral sistem nilai masyarakat modern saat ini. Segala sesuatu cenderung dinilai dengan standar gengsi populer (popular prestige) yang diyakini sebagai hal yang impresif, bonafid dan signifikan (Widiyanto, 2008). Hal ini terjadi dalam segala sisi kehidupan seperti memilih pakaian, bahan makanan, bahkan sekolahan, atau kegiatan rekreasi yang kebanyakan lebih mengacu pada pendapat khalayak. Apakah pakaian yang fashionable, makanan yang well quality, sekolah yang high rating, atau jenis kegiatan rekreasi yang ’berkelas’ seperti mal. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, tanpa sadar kita akan mulai kehilangan identitas diri. Segala sesuatu harus sesuai dengan apa yang orang lain kenakan, apa yang orang lain makan, apa yang orang lain lakukan, sehingga kita terperangkap pada hal-hal yang sesungguhnya tidak kita butuhkan. Inilah yang disebut sebagai alienasi oleh Eric Fromm dalam bukunya Escape From Freedom (1961, dalam Widiyanto 2008). Orang yang teralienasi ditandai hilangnya otentitas diri, dan tidak bisa membedakan keinginan diri dengan keinginan orang lain. Model hidup orang yang teralienasi tidak memiliki konsep identitas yang jelas, karena terlalu banyak menyerahkan dirinya pada sesuatu di luar dirinya (other direct focus).
Teman saya ini misalnya, dia mendaftarkan diri menjadi anggota sebuah pusat kecantikan yang ada di sebuah mal di kota Pekanbaru ini dengan membayar sekian ratus ribu dan membeli produk dengan harga sekian ratus ribu pula hanya karena mengikuti teman kantornya yang juga menjadi anggota. Padahal menurut saya, wajahnya tidak memerlukan perawatan khusus yang harus sampai ditangani oleh ahlinya yang memang disediakan di pusat kecantikan itu. Namun sekali lagi, dia sudah terjebak dalam alienasi. Apa yang orang lain lakukan, dia lakukan juga tanpa dia mempertimbangkan lebih dahulu apakah dia benar-benar perlu melakukannya atau tidak. Dia sempat mengajak saya juga untuk mendaftarkan diri tapi saya tolak mentah-mentah. Saya tidak merasa butuh melakukan perawatan itu. Wajah saya “tidak kenapa-kenapa”.
Pemaknaan yang berlebihan terhadap mal juga dapat menimbulkan efek negatif sisi psikologis yang lain. Bisa jadi hal ini menimbulkan gangguan jiwa shopaholic bagi seseorang. Shopaholic menurut Oxford Expans (dalam Rizka, 2008; dalam Susilowati, 2008) adalah seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja dan berbelanja selalu sehingga menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya tidak selalu ia butuhkan. Gejalanya bisa berawal dari bepergian ke mal dengan tujuan agar tampak modern dan “gaul”, lalu tidaklah enak jika tidak membeli, maka dibelilah barang yang sesungguhnya tidak diperlukan. Sekali, dua kali, dan akhirnya menjadi kebiasaan, dan berkembang menjadi gangguan jiwa yang tak tertahankan.
Teman saya ini mungkin belum termasuk kategori shopaholic akut seperti kasus dalam film Confession of A Shopaholic. Namun saya menangkap beberapa kebiasaannya membeli barang – terutama pakaian – yang sesungguhnya tidak dia butuhkan dan memang kenyataannya tidak pernah dipakainya setelah dibeli. Ketika pergi ke mal dengan saya waktu itu, dia sempat hampir membeli sehelai pakaian berbentuk rompi (entah apalah nama trend-nya, saya kurang paham fashion), yang menurut saya modelnya tidak karuan dan sangatlah gampang dibuat oleh ibunya yang tukang jahit bahkan mungkin hanya bermodalkan kain perca saja. Sungguh tak karuan! Tapi menurutnya itu yang sedang tren saat ini. Saya sempat menegurnya dan berkata, “Kalau cuma begitu ibumu juga bisa membuatnya.” Entah karena kata-kata saya itu atau memang tiba-tiba “il-feel” (hilang feeling, atau kehilangan “rasa” untuk melakukan sesuatu), dia tidak jadi membeli kain itu, dan saya bernafas lega.
Kembali pada keberadaan mal tadi, hal ini tentu saja tidak sepenuhnya salah. Keberadaan mal di tengah-tengah masyarakat perkotaan tentu juga memberikan efek-efek positif, terutama dari segi ketenagakerjaan yang banyak terserap karenanya. Namun adalah perlu bagi kita sebagai individu untuk mewaspadai kecenderungan abnormal kita terhadap mal yang dapat menimbulkan efek-efek negatif seperti yang telah dipaparkan diatas. Kini segalanya kembali pada diri kita masing-masing. Mencegah arus modernisasi dan globalisasi tentu saja perkara yang sangat sulit – jika tak ingin menyebutnya tak mungkin – bagi kita sebagai individu, bagian dari masyarakat. Namun membentengi diri dengan pengetahuan, kekuatan jati diri dan karakter, serta tentunya agama, dapat mencegah kita dari pemaknaan yang berlebihan atas keberadaan mal pada khususnya dan modernisasi pada umumnya, sehingga kita terhindar dari alienasi, liminalisasi, homogenisasi, atau apapunlah namanya, yang pada ujungnya menghancurkan identitas diri kita yang sesungguhnya.
Semoga dapat direnungi.

Tidak ada komentar: