Selasa, 18 Oktober 2011

The Interpreter



Ini bukan tentang film “The Interpreter” yang dibintangi Nicole Kidman dan Sean Penn. Tapi ini tentang satu pengalaman baruku menjadi interpreter dalam acara Diskusi Sastra Satellite Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 dengan tema “Sastra Multikultural”. Acara ini diselenggarakan pada hari Kamis tanggal 13 Oktober 2011, di Galeri Ibrahim Sattah, Kompleks Bandar Serai Pekanbaru. Yang hadir sebagai pembicara adalah penyair dari Australia bernama Sean M. Whelan, ditemani oleh Budy Utamy, penyair muda Riau dari Komunitas Paragraf Pekanbaru yang kebetulan juga turut serta dalam acara Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Ubud, Bali tanggal 5-9 Oktober 2011. Sebagai pembawa acara kali ini adalah Refila Yusra (Komunitas Paragraf Pekanbaru). Aku berperan sebagai moderator sekaligus interpreter untuk Sean M. Whelan.
Awalnya tentu saja sedikit nervous, apalagi sudah cukup lama aku tidak pernah berbincang-bincang dengan orang dari luar negeri. Apalagi jika harus menjadi perantara antara sang pembicara yang notabene orang luar dengan para peserta yang orang kita. Mungkin beberapa dari peserta cukup paham sedikit-sedikit Bahasa Inggris, tapi untuk menyampaikan apa yang ingin mereka tanyakan mungkin yang agak berat. Satu hal lagi, Sean adalah orang Australia, yang dialeknya tentu saja berbeda dengan orang Amerika Serikat atau Inggris. Dan sejujurnya aku sebenarnya lebih familiar dengan dialek Amerika karena sejak kecil memang sudah “dijejali” dengan film-film Amerika atau lagu-lagu Amerika yang sengaja dibiasakan almarhum Bapak supaya kami tidak asing dengan Bahasa Inggris. Dan karena Bapak juga bekerja di lingkungan yang lebih banyak orang Amerikanya (PT. CPI Rumbai), dan kebetulan pembimbing skripsi Bapak jaman kuliah dulu juga orang Amerika, jadinya Bapak juga membiasakan kami dengan dialek Amerika. Waktu kelas 2 SD saja lagu favoritku “It’s Now or Never”-nya Elvis Presley.. 



Untungnya Sean adalah orang yang sangat kooperatif dan cukup ramah. Jadi walaupun awalnya aku agak canggung, tapi pada akhirnya semua berjalan dengan lancar. Semua pertanyaan para peserta dijawab dengan memuaskan oleh Sean dan sepertinya para peserta juga puas dengan hasil terjemahan lisanku. Sean M. Whelan adalah seorang penyair asal Melbourne, Australia, yang telah menelurkan dua buku kumpulan puisinya yaitu Love is the New Hate dan Tattooing the Surface of the Moon. Sean juga memiliki latar belakang yang cukup unik karena selain sebagai penyair, beliau juga seorang DJ (Disc Jockey), bekerja di perusahaan rekaman, menulis skenario drama, dan juga mempunyai sebuah kelompok band bernama The Interim Lovers yang telah menelurkan satu album yaitu Softly and Suddenly pada bulan Oktober 2010. Beliau juga mengajarkan sastra di sekolah-sekolah, sebagai pengabdiannya terhadap bidang yang dicintainya ini. Beliau juga mempunyai sebuah program bernama Babble dan koordinator dari Liner Notes, yang keduanya merupakan program musikalisasi puisi yang rutin diselenggarakannya di kafe-kafe di daerah asalnya.



Para peserta Diskusi Sastra Satellite Event Ubud Writers and Readers Festival 2011 berasal dari berbagai kalangan seperti dari Balai Bahasa Riau, mahasiswa Universitas Riau, mahasiswa UIN Suska Riau, mahasiswa Universitas Abdurrab, perwakilan Forum Lingkar Pena (FLP) Pekanbaru, dan lain-lain, serta dari individu yang tertarik dengan bidang ini. Dalam diskusi ini, para peserta kebanyakan menanyakan tentang proses kreatif, bagaimana mengatasi kebuntuan dalam menulis, apa saja jenis-jenis puisi, bagaimana kesan-kesan para penulis dalam menghadiri acara Ubud Writers and Readers Festival 2011 di Bali itu sendiri, dan khusus kepada Sean, mereka juga menanyakan bagaimana perkembangan sastra terutama puisi di negeri asalnya, Australia. Ternyata di Australia, keberadaan sastra tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, yaitu juga masih belum terlalu akrab bagi masyarakatnya, meski tidak semengenaskan sastra di Indonesia. Di sekolah-sekolah di Australia, pengajaran sastra di sekolah juga masih bersifat umum, namun murid-murid yang tertarik mendalaminya dapat mengambil pelajaran tambahan diluar jam sekolah dalam bidang ini. Selain itu, yang mungkin patut membuat kita sedikit “iri” terhadap mereka adalah adanya perhatian dari Pemerintah berupa bantuan dana bagi warganya untuk menerbitkan sebuah buku, menyelenggarakan even-even sastra, dan sebagainya. Kita tinggal mengajukan proposal permintaan dananya, dan Pemerintah akan bersedia memberikannnya, dengan catatan benar-benar dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Di negeri kita, mungkin sah-sah saja kita mengajukan permohonan bantuan dana, tapi mungkin persetujuannya ditangguhkan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Sebagai langkah untuk lebih memasyarakatkan sastra dan menyastrakan masyarakatnya, Sean dan komunitasnya disana juga intens mengadakan musikalisasi puisi di kafe-kafe, bahkan telah mengalbumkan musikalisasi puisi bersama dengan bandnya. Sebuah totalitas profesi yang pantas ditiru. Meski beliau sendiri mengaku bahwa pilihannya sebagai seorang penyair adalah karena baginya puisi merupakan bentuk tulisan yang paling murni. Kita tidak bisa kaya dengan menulis puisi. Mungkin kita bisa kaya dengan menulis novel, atau skenario, dan yang lainnya, tapi tidak jika hanya menulis buku kumpulan puisi. Butuh kolaborasi pekerjaan untuk itu dan itulah yang dijalaninya saat ini.



Di akhir acara ini tentu saja ada sesi potret-memotret dan tanda tangan oleh Sean. Selain itu, karena ada sedikit wawancara dari koran “Haluan Riau”, maka sekali lagi aku menjadi perantara bahasa antara Sean dan wartawan media tersebut. Setelah acara Diskusi Sastra, kami para anggota Komunitas Paragraf Pekanbaru sebagai pihak penyelenggara pergi makan bersama dengan Sean di Rumah Makan “Poho” di Jl. A. Yani, Pekanbaru. Sesi bebas ini dimanfaatkan oleh teman-teman untuk mempraktekkan Bahasa Inggris mereka. Dan sekali lagi kami berfoto bersama. Sungguh pengalaman luar biasa... Dan yang lebih menyenangkan lagi, di wall FB-ku, Sean mengucapkan terima kasihnya padaku dengan mengatakan: “...and thanks to Febby Fortinella Rusmoyo for her mad interpreter skill.” Wooow..., your welcome Sean.., you’re great too.. 

Tidak ada komentar: