Di bulan suci Ramadhan ini semua orang mendadak
berlomba-lomba menjadi yang paling taqwa. Namun sesungguhnya apakah taqwa itu?
Apakah cukup hanya sekedar memperbanyak sholat, berzikir dan berdo'a paling
lama, atau mengkhatamkan Qur'an selama satu bulan?
Taqwa itu tidak dapat dinilai dari seberapa sering dan
lamanya kita bersujud, seberapa banyaknya zikir yang telah dilafazkan, seberapa
banyak do’a yang telah dipanjatkan, seberapa dalam jilbab yang dikenakan,
seberapa tinggi kaki celana diatas mata kaki, seberapa panjang jenggot yang
dipelihara, dan segala atribut yang kasat mata. Taqwa itu tidak dapat dilihat,
hanya Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui isi hati setiap hamba-Nya.
Ketaqwaan seseorang baru dapat teruji ketika dia
diberi musibah, cobaan, atau ujian berat oleh Allah Ta’ala, dan bagaimana sikap
dirinya menghadapi ujian itulah yang dapat dijadikan tolok ukur ketaqwaannya. Apakah
dia tawakkal dalam menghadapinya, dan menjadikannya orang yang memperbaiki diri
dalam menghadapinya, atau sebaliknya menganggap cobaan itu sebagai “ketidakadilan”
bagi dirinya, sehingga dia mencari-cari pembenaran atas ketidak-ikhlasannya
dengan menyalahkan orang lain, keadaan, waktu, bahkan Tuhan; atau sikap-sikap
negatif lainnya yang membuatnya justru semakin terpuruk dan bukannya bangkit
dengan jiwa positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar